Perundingan Rusia-NATO Hadapi Jalanan Bergelombang dan Curam
Upaya Amerika Serikat dan Rusia serta NATO untuk meredakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina akan menghadapi jalan bergelombang dan curam. Masing-masing bertahan dengan argumennya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
GENEVA, SENIN — Upaya Amerika Serikat dan Rusia serta NATO untuk meredakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina akan menghadapi jalan bergelombang dan curam. Pada pertemuan awal di Geneva, Rusia menyatakan tidak akan membuat konsesi di bawah tekanan AS dan memperingatkan bahwa perundingan yang dilakukan melalui tiga jalur akan berakhir lebih awal, menandai rapuhnya situasi.
Pertemuan antara Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov dan Wamenlu AS Wendy Sherman di sela-sela Konferensi Perlucutan Senjata di Geneva, Swiss, Minggu (9/1/2022), mengawali serangkaian upaya para pihak berseteru untuk meredakan ketegangan. Sepanjang pekan ini, para pejabat Rusia akan bertemu dengan perwakilan NATO di Brussels dan pertemuan para pihak di Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) di Vienna.
Pertemuan dua jam antara Ryabkov dan Sherman, yang diawali dengan makan malam itu, membahas substansi masalah, yaitu soal pengerahan kekuatan militer Rusia ke dekat perbatasan Rusia-Ukraina. Selain itu mereka juga membicarakan—di sisi AS dan NATO—upaya terus-menerus untuk mengajak Ukraina menjadi anggota aliansi militer negara-negara Atlantik Utara.
”Kami terjun ke substansi masalah yang akan dibahas nanti. Tapi, pembicaraan akan sangat sulit. Ini tidak akan mudah,” kata Ryabkov.
Sementara, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price menjelaskan, pada pertemuan pertama antara Rusia dan AS, Wamenlu Sherman menekankan komitmen AS terhadap prinsip kedaulatan internasional, integritas teritorial dan kebebasan negara-negara berdaulat untuk memilih aliansi serta perkawanan mereka sendiri. Pernyataan Sherman, yang disampaikan Price, merujuk pada Ukraina dan keinginannya bergabung dengan NATO.
Pernyataan kedua pejabat senior dari masing-masing negara memperlihatkan prospek yang tidak menggembirakan dalam upaya meredakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina. Sebelum pertemuan dengan Sherman, Ryabkov sempat menyatakan pesimismenya soal keberlanjutan perundingan yang akan dimulai Senin (10/1).
”Kami tidak akan membuat konsesi di bawah tekanan atau di tengah ancaman terus-menerus dari para peserta pembicaraan,” kata Ryabkov, dikutip dari kantor berita Interfax.
Sebaliknya, Amerika Serikat mengingatkan Rusia jika negara itu memiliki jalur konfrontasi, menghindari jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah yang tengah mereka hadapi.
”Konsekuensi besar bagi Rusia jika Rusia memperbarui agresinya terhadap Ukraina. Kami akan menguji proposisi tentang jalan mana yang siap diambil oleh Presiden Vladimir Putin,” kata Blinken dalam kesempatan terpisah.
Blinken mengingatkan setiap hasil positif pembicaraan bergantung pada kesediaan Rusia untuk mundur dari sikap agresifnya, yang digambarkannya sebagai atmosfer eskalasi dengan senjata ke kepala Ukraina. ”Jika kita ingin benar-benar membuat kemajuan, kita harus melihat de-eskalasi,” ujar Blinken.
Dia juga menambahkan, jika sikap agresif terus diperlihatkan oleh Rusia, negara berjuluk ”Negeri Beruang Merah” itu harus bersiap atas konsekuensi ekonomi dan keuangan yang parah. Blinken juga menegaskan, NATO dipastikan akan terus memperkuat posisinya di dekat Rusia dan terus memberikan bantuan ke Ukraina.
Langkah-langkah yang dipertimbangkan AS dan negara sekutunya adalah sanksi terhadap orang-orang yang berada di lingkaran terdekat Presiden Putin, pembatalan jalur pipa gas Nord Stream 2 yang menghubungkan Rusia dengan Jerman dan Eropa. Skenario yang paling drastis adalah memutuskan hubungan Rusia dengan sistem perbankan dunia.
”Pertanyaannya sekarang adalah apakah Presiden Putin akan mengambil jalur diplomasi dan dialog atau mencari konfrontasi? Jika Rusia melakukan agresi baru terhadap Ukraina, saya pikir itu adalah prospek yang sangat adil bahwa NATO akan memperkuat posisinya di sepanjang sisi timurnya, negara-negara yang berbatasan dengan Rusia,” katanya, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi ABC.
Melewati batas
Sejak bubarnya Uni Soviet, Rusia telah menyaksikan beberapa kali upaya NATO atau negara-negara Eropa merayu negara-negara eks Uni Soviet untuk bergabung dengan mereka. Hasilnya, di tahun 2004, NATO menambah tujuh anggota baru, termasuk bekas negara satelit Uni Soviet, yaitu Estonia, Latvia, dan Lituania. Tahun 2008, ketika NATO berniat membawa Ukraina dan Georgia untuk bergabung dengan NATO, menyusul lainnya, Putin menyatakan, langkah membawa Ukraina ke dalam aliansi akan dipandang sebagai tindakan permusuhan terhadap Rusia.
Bulan lalu, Rusia mengajukan sejumlah tuntutan, termasuk melarang lebih lanjut ekspansi NATO dan diakhirinya aliansi atas negara-negera Eropa tengah dan timur yang bergabung setelah 1997. Hal itu ditolak AS dan NATO, yang menyebut proposal itu sebagai non-starter.
AS tidak bersedia membahas penarikan pasukan AS dari Eropa timur atau mengesampingkan perluasan NATO, termasuk mengajak Ukraina bergabung di dalamnya.
Presiden Putin mengatakan, setelah gelombang ekspansi NATO berturut-turut, inilah saatnya bagi Rusia menegakkan garis merah, garis pembatas, dan memastikan NATO tidak mengakui Ukraina sebagai anggotanya. Atau, menempatkan sistem persenjataan di sana yang akan dengan mudah menjadikan Rusia sebagai target.
NATO mengatakan itu adalah aliansi pertahanan dan Moskwa tidak perlu takut akan hal itu. NATO menilai pandangan Putin sebagai sebuah kesalahan, terutama yang menyebutkan Rusia sebagai musuh NATO. NATO juga mengatakan, pernyataan Putin yang menyebutkan bahwa aliansi itu tidak akan melebarkan sayap keanggotannya ke timur, kepada negara-negara eks Uni Soviet, adalah tidak benar. NATO membantah telah menjanjikan hal itu.
Walau masing-masing pihak telah menyatakan pesimismenya menghadapi pertemuan nanti, sejumlah pejabat AS menyatakan peluang untuk mendiskusikan kemungkinan pembatasan penyebaran rudal ofensif NATO di Ukraina di masa depan serta pembatasan latihan militer AS dan NATO di Eropa timur. Tapi, semua itu dengan syarat jika Rusia bersedia untuk mundur dari Ukraina.
Duta Besar Thomas Greminger, Direktur Pusat Kebijakan Keamanan Geneva yang didukung pemerintah Swiss, mengatakan, pembicaraan di Geneva merupakan kesempatan untuk menjelaskan keprihatinan bersama, untuk menguraikan harapan bersama. Baginya, terlalu dini untuk mengharapkan kejelasan, misalnya, mengenai tawaran Ukraina untuk menjadi anggota NATO.
”Apa yang kami lihat adalah soal sikap. Saya pikir pada akhirnya, baik Putin maupun Biden sama sekali tidak tertarik untuk mendorong ke arah eskalasi,” kata Greminger, yang juga mantan pemimpin OSCE. (AP/AFP/Reuters)