Para menteri luar negeri G-7 menggelar pertemuan di Liverpool, Inggris, mulai Sabtu (11/12/2021). Kegiatan itu, antara lain, ditujukan untuk konsolidasi mengantisipasi invasi Rusia ke Ukraina.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
LIVERPOOL, SABTU — Pertemuan menteri-menteri luar negeri kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam G-7 dimulai Sabtu (11/12/2021) di Liverpool, Inggris. Pembahasan kali ini seputar kemungkinan konflik di Ukraina; permasalahan unjuk kekuatan yang dilakukan oleh Rusia, China, dan Iran; serta ketahanan energi.
Pertemuan G-7 dihadiri perwakilan dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, dan Jepang. Menlu AS Antony Blinken dijadwalkan tiba Sabtu malam waktu setempat. Setelah G-7, ia akan melanjutkan perjalanan mengunjungi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina menjadi topik pertama yang dibahas. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss bertemu dengan Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba di London. Mereka membicarakan keberadaan sekitar 70.000-90.000 tentara Rusia di wilayah perbatasan dengan Ukraina.
”Kami memastikan bahwa Rusia akan memperoleh sanksi ataupun ganjaran serius apabila tetap menjalankan niat mereka menginvasi Ukraina,” kata Truss kepada BBC. Ia menggantikan Dominic Raab sebagai Menlu Inggris sejak bulan September lalu.
Truss mengatakan, Inggris siap membantu Ukraina dari segi pertahanan. Forum juga akan membahas cara melepas ketergantungan Ukraina dari energi gas yang bersumber dari Rusia. Ini akan dibicarakan bersama dengan pipa gas Nord Stream 2. Pipa ini menyalurkan gas dari Rusia ke Jerman sebelum kemudian didistribusikan ke wilayah-wilayah lain di Eropa.
Menlu Jerman Annalena Baerbock yang baru saja dilantik terkenal menentang proyek Nord Stream 2. Akan tetapi, Jerman sebagai bangsa tidak menentang pembangunan jalur yang hampir selesai ini. Apalagi, kanselir yang baru terpilih, Olaf Scholz terang-terangan mendukung Nord Stream 2.
Presiden AS Joe Biden bulan lalu berbicara kepada pemimpin Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Intinya, Biden menginginkan agar bentuk sanksi terhadap Rusia, jika menginvasi Ukraina, mencakup pemblokiran pipa Nord Stream 2. Usulan ini didukung oleh Inggris, Polandia, dan negara-negara Balkan.
Rusia menginvasi Semenanjung Crimea di Ukraina pada 2014. Warga di kawasan itu secara kebudayaan memang lebih dekat dengan Rusia. Bahasa ibu mereka juga bahasa Rusia, bukan Ukraina. Berdasarkan faktor ini, Rusia mengumumkan bahwa Crimea sejatinya masuk ke dalam wilayah mereka, bukan bagian dari Ukraina.
Invasi ini berkembang menjadi pertempuran terbuka. Pemerintah Ukraina mengatakan bahwa total korban tewas di pertempuran mencapai 14.000 jiwa. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky baru-baru ini mengumumkan bahwa pemerintah berencana melakukan referendum di Crimea. Akan tetapi, rincian lebih lanjut mengenai jadwal referendum belum ada penjelasan.
Pekan lalu, Biden melakukan telewicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Biden mengemukakan data intelijen yang dihimpun oleh AS. Perkirannya, pada musim semi 2022, jumlah tentara Rusia yang berada di perbatasan Ukraina bisa mencapai 175.000 tentara. Data ini disangkal oleh Putin, walaupun Biden mengingatkan risiko sanksi serius apabila Rusia tidak menarik pasukan dari perbatasan.
Justru Putin pada Jumat (10/12/2021) mengeluarkan pernyataan di media Rusia bahwa perbuatan militer Ukraina di Crimea sama dengan genosida. Mereka menargetkan orang-orang yang berbicara bahasa Rusia maupun berdarah Rusia. Gedung Putih segera membuat tanggapan dan menuduh Putih menyebar kebohongan. Para pakar politik dan militer mengatakan, apabila ketegangan di kawasan ini tidak segera diurai, ada risiko konflik yang bisa menyaingi Perang Dunia II.
Pertemuan menlu G-7 kali ini juga dihadiri sejumlah negara undangan, yaitu Korea Selatan, Afrika Selatan, India, Australia, dan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Pembahasan dalam skala yang lebih besar menyangkut tentang kekuatan China di kawasan Indo-Pasifik.
Ada pula topik tentang pembentukkan aliansi militer AS-Inggris-Australia (AUKUS) dan transisi energi dari energi fosil ke energi bersih. AUKUS memicu ketengan hubungan antara Perancis di satu sisi dengan AS, Inggris, dan Australia di sisi lain. (AP)