Pembicaraan Biden dan Putin Belum Hasilkan ”Terobosan”
Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan bertemu. Meskipun begitu, kedua belah pihak sama-sama pesimistis dengan perkembangan hubungan bilateral mereka.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Belum ada terobosan berarti yang dicapai oleh Amerika Serikat dan Rusia seusai pertemuan daring antara Presiden Joe Biden dan Presiden Vladimir Putin. Meskipun demikian, mereka sepakat untuk tetap saling berkomunikasi terutama untuk membahas isu-isu sensitif dan sejumlah langkah praktis.
Selama sekitar 2 jam, kedua pemimpin dunia itu membahas aneka isu, seperti buruknya relasi kedua negara dan isu Ukraina. Disebutkan, Biden sempat mengingatkan Putin, Barat akan memberlakukan tekanan ekonomi dan upaya lain secara kuat apabila Rusia menginvasi Ukraina.
Sebaliknya, Putin meminta jaminan bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tidak akan memperluas kehadiran mereka di Ukraina. Menurut Kremlin, kepada Biden, Putin mengatakan, peningkatan ketegangan di kawasan itu tidak boleh ”diletakkan semata-mata di pundak Rusia”.
”NATO-lah yang melakukan upaya berbahaya untuk menggunakan wilayah Ukraina dan membangun potensi militernya di perbatasan kami,” kata Putin kepada Biden.
Baik Gedung Putih maupuan Kremlin menyebut, pembicaraan Biden dan Putin itu berlangsung secara jujur, lugas, dan profesional.
Sebelumnya, Gedung Putih dan Kremlin sama-sama pesimistis akan ada hasil yang signifikan dari dialog daring yang digelar pada hari Selasa (7/12/2021) sore waktu AS. Hubungan kedua negara saat ini sangat rendah dan nyaris mendekati level ketika Perang Dingin. Apalagi, AS baru saja mengancam memberi sanksi ekonomi berat kepada Rusia.
Dialog daring ini diadakan di tengah tuduhan AS terhadap Rusia bahwa mereka hendak menjajah Ukraina. Data intelijen yang diperoleh AS mengatakan, pada musim semi tahun 2022, diperkirakan ada 175.000 tentara Rusia akan memasuki Ukraina. Sebelumnya, di tahun 2014, Rusia menginvasi Ukraina dengan memasuki wilayah Crimea. Ketika itu, Rusia mengatakan mendukung kelompok separatis Crimea yang ingin melepaskan diri dari Ukraina.
Data ini kemudian disebar kepada NATO ketika Biden berbicara dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dan Perdana Menteri Italia Mario Draghi. Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
”Terima kasih atas dukungan pertahanan dari AS demi kedaulatan Ukraina. Ini adalah sebuah sikap persahabatan yang berharga,” kata Zelensky kepada media Ukraina.
Biden dan Putin terakhir bertemu di Geneva, Swiss, pada 16 Juni lalu. Tidak ada hasil yang dikatakan signifikan. Kedua belah pihak sepakat untuk membuka kembali hubungan diplomasi dan segera mengirim duta besar masing-masing. Akan tetapi, di tatanan global, AS dan Rusia sama-sama tidak banyak menemui titik temu karena mereka tetap berseberangan untuk isu China, luar angkasa, dan energi.
Niat Rusia untuk menginvasi Ukraina ini menjadi alasan bagi AS untuk menyatakan ketidaksukaan kepada tindakan Rusia. Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan, AS akan menjatuhkan sanksi ekonomi yang berat kepada Rusia jika mereka meneruskan rencana invasi. Sanksi ini bisa berupa menghalangi Rusia membeli dollar AS dan valuta asing lainnya ataupun memutuskan bank-bank Rusia dari sistem perbankan internasional.
Lebih rumit
Grup Eurasia, sebuah firma pengkaji risiko, menilai bahwa seburuk apa pun hubungan AS dengan Rusia kemungkinan besar tidak akan meletus ke konflik terbuka. ”Masyarakat AS sudah semakin jenuh dengan konsep AS sebagai polisi dunia. Lebih banyak kerugian material dan trauma sosial dari penerapan prinsip ini,” kata Direktur Grup Eurasia Ian Bremmer kepada surat kabar LA Times.
Menurut dia, di saat yang sama, kedekatan AS dengan Ukraina juga tidak akan membuat negara itu akan diterima sebagai anggota NATO. Sikap mental publik AS akan membuat sulit bagi pemerintah untuk mengembangkan program ataupun anggaran bagi NATO. Meskipun demikian, ia memperingatkan Pemerintah AS, jika menerapkan sanksi kepada Rusia, akan dibalas dengan serangan siber yang semakin parah.
Pandangan serupa dikemukakan oleh pihak Rusia. Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov turut mengutarakan, mereka tidak mengharapkan hasil apa pun dari pertemuan kedua kepala negara itu. Ia menjelaskan, situasi kedua belah pihak sama-sama rumit. Butuh pembicaraan yang berkelanjutan. Perkembangan hubungan Rusia-AS akan berlangsung dengan lambat dan bertahap. Peskov tetap menekankan bahwa dialog ini sangat penting sebagai simbol dan upaya bahwa baik Rusia maupun AS tetap berusaha mempertahankan hubungan diplomasi.
Pakar politik dari Universitas Negeri Moskwa, Andrey Sidorov, ketika diwawancarai oleh stasiun televisi nasional Rusia, Vesti Nedeli, menjelaskan bahwa hubungan antara AS dan Rusia seburuk apa pun tidak akan benar-benar mencapai ketegangan seperti di masa Perang Dingin. Hal ini karena globalisasi menghubungkan semua pihak dan tidak akan ada negara yang benar-benar terisolasi kecuali atas kemauan sendiri.
”Membawa hubungan Rusia-AS ke level Perang Dingin membutuhkan banyak energi dan biaya. AS tidak akan mungkin mau melakukannya, terutama karena mereka saat ini lebih mencemaskan China,” ujar Sidorov.
Perkataan dia tecermin dari penandatanganan kerja sama pertahanan dan keamanan Rusia dengan India pada hari Senin di Delhi. India yang merupakan sekutu AS sebagai sesama anggota pakta pertahanan Quadrilateral justru membeli persenjataan dari Rusia. Bahkan, 70 persen senjata dan teknologi militer mereka dipasok oleh Rusia, dan hingga kini AS tidak memberi sanksi kepada India. (Reuters/AFP)