Hubungan Rusia-AS berikut NATO semakin tegang seiring peningkatan mobilisasi militer di perbatasan Rusia-Ukraina. Masing-masing pihak menuding pihak rival yang memprovokasi.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
MOSKWA, KAMIS — Ketegangan antara Rusia dan aliansi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) semakin memuncak. Hal ini menyusul peningkatan mobilisasi pasukan dan persenjataan Rusia di perbatasan pada beberapa pekan terakhir.
Sejumlah foto satelit memperlihatkan mobilisasi persenjataan dan puluhan ribu tentara Rusia di dekat perbatasan Ukraina-Rusia dalam beberapa pekan terakhir. Persenjataan itu, misalnya, kendaraan tempur lapis baja dan tank. Ada pula bangunan tenda militer yang terdeteksi oleh satelit pada jarak sekitar 250 kilometer dari perbatasan Ukraina-Rusia.
Moskwa juga menggelar latihan perang di Rusia barat daya yang melibatkan lebih dari 10.000 tentara. Latihan yang lebih kecil juga dimulai di wilayah paling barat Rusia, Kaliningrad di Baltik, yang melibatkan 1.000 personel dari unit lapis baja.
NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS) menilai tindakan itu sebagai niat Moskwa untuk menyerang Ukraina yang tengah berupaya menjadi anggota NATO. Sementara Rusia menyatakan, pengerahan militer di perbatasan itu merupakan respons atas ancaman NATO terhadap Rusia.
NATO meningkatkan penempatan infrastruktur militer ke wilayah yang mendekati teritorial Rusia. AS selama ini juga terus memberikan bantuan politik, keuangan, dan militer ke Ukraina. AS juga melakukan latihan militer bersama dan secara teratur mengirim kapalnya ke Laut Hitam untuk menunjukkan dukungan kepada Ukraina.
Guna meredam situasi terkini sekaligus menghindari ekslasi di masa depan, Kremlin menuntut jaminan legal dalam jangka panjang bahwa AS dan sekutunya tidak melakukan perluasan pengaruh ke wilayah Eropa timur yang selama ini berada di bawah Rusia.
”Kami sudah berulang kali mengingatkan soal ancaman di perbatasan bagian (Rusia) barat yang terus meningkat. Dalam dialog dengan AS dan sekutunya, kami akan bersikeras untuk mengembangkan perjanjian jelas, konkret, yang melarang ekspansi NATO lebih lanjut ke timur dan penempatan sistem senjata mereka di sana, di sekitar wilayah Rusia,” kata Presiden Rusia Vladimir Putin saat menerima kredensial sejumlah duta besar asing di Moskwa, Rabu (1/12/2021).
Putin menambahkan, dirinya tidak hanya ingin mendapatkan jaminan secara verbal semata, tetapi juga jaminan hitam di atas putih layaknya sebuah perjanjian. Pernyataan itu dikeluarkan Putin setelah sehari sebelumnya dia memperingatkan NATO agar tidak mengerahkan pasukan atau persenjataannya ke Ukraina.
Putin menekankan, tindakan NATO untuk memperluas pengaruh ke Eropa timur adalah garis merah, sebuah larangan. Jika itu ditabrak, akan memicu respons balik yang keras.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan Rusia bahwa setiap upaya untuk mengacaukan Ukraina akan menjadi sebuah kesalahan yang fatal dan mahal. AS bersama NATO akan bersiap terhadap segala kemungkinan. Respons akan dilancarkan, termasuk menggunakan instrumen ekonomi yang keras.
April lalu, Parlemen Eropa menyetujui sebuah resolusi yang tidak mengikat untuk mendepak Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT jika pasukan Rusia memasuki Ukraina. Langkah ini akan menghalangi bisnis Rusia dari sistem keuangan global.
Walau begitu, Moskwa telah mengembangkan sistem paralelnya sendiri jika langkah itu diambil Eropa. Pada 2019, Perdana Menteri Rusia saat itu, Dmitry Medvedev, memperingatkan bahwa tindakan mengeluarkan Rusia dari SWIFT berarti deklarasi perang.
Perjanjian Minsk
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menuding Ukraina tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada kesepakatan damai 2015. ”Kiev menjadi semakin agresif, melampaui kesepakatan yang ada dalam Perjanjian Minsk 2015. Mereka juga berupaya memprovokasi Barat untuk mendukung ambisi militernya,” kata Lavrov dalam pernyataannya di hadapan Majelis Tinggi Parlemen Rusia.
Perjanjian Minsk 2015 terjadi setelah pencaplokan Krimea oleh Rusia pada 2014. Kesepakatan Minsk dibuat untuk menyelesaikan konflik dengan kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina timur. Namun, di lapangan, perjanjian itu tidak berjalan efektif.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan, Ukraina telah mengerahkan sekitar 125.000 tentaranya di dekat zona konflik. Jumlah itu sekitar setengah dari total pasukan Ukraina. Dia juga menunjuk pada peningkatan jumlah pelanggaran gencatan senjata di Ukraina timur.
Berpidato di depan parlemen Ukraina, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan, pihaknya siap bernegosiasi dengan Kremlin untuk menyelesaikan konflik. ”Kami tidak takut dengan dialog langsung,” katanya.
Di tengah upaya membuka dialog, badan intelejen Rusia, FSB, menyatakan bahwa mereka menangkap tiga mata-mata Pemerintah Ukraina yang diduga hendak merencanakan serangan terhadap Kremlin.
FSB tidak merinci tempat atau waktu penangkapan orang-orang Ukraina itu. Menurut FSB, dua dari tiga mata-mata yang ditangkap itu adalah ayah dan anak. Mereka merupakan mata-mata yang dikirim oleh dinas keamanan Ukraina, SBU, untuk mengumpulkan informasi dan mendokumentasikan berbagai obyek vital serta perusahaan stragetis penting, termasuk infrastruktur transportasi Rusia.
FSB mengatakan, ayah dan anak itu mengaku direkrut oleh SBU dengan bayaran 10.000 dollar AS atau sekitar Rp 140 juta. Mata-mata ketiga yang ditangkap berperan sebagai eksekutor. Mata-mata itu akan melancarkan serangan dengan menggunakan alat peledak yang setara dengan 1,5 kilogram trinitrotoluene atau TNT. (AP/AFP/REUTERS)