Covid-19 galur Omicron memang relatif tidak terlalu parah gejalanya, tetapi ini bukan berarti tidak berbahaya. Kesetaraan akses vaksin harus terus digaungkan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GENEVA, JUMAT — Covid-19 galur Omicron merupakan varian dominan di dunia saat ini. Secara statistik, orang-orang yang tertular tidak menunjukkan gejala parah. Akan tetapi, pada 2022 ini kewaspadaan mengenai perkembangan galur Omicron dan risiko munculnya galur baru tidak boleh mengendur.
”Tidak bergejala parah sama sekali tidak berarti ini penyakit yang ringan. Kematian tetap terjadi akibat varian Omicron, jadi jangan dianggap remeh,” kata Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Gebreyesus di Geneva, Swiss, Jumat (7/1/2022).
Dalam pidato perdananya di tahun 2022, Gebreyesus mengkritisi penyakit negara-negara maju yang tidak berubah sejak tahun 2020, yaitu menumpuk vaksin Covid-19 untuk diri sendiri. Gara-gara keegoisan ini, varian-varian baru muncul, termasuk Omicron yang berasal dari Afrika Selatan. Pekan lalu, WHO mencatat ada 9,5 juta kasus baru atau naik 71 persen dibandingkan pekan sebelumnya.
”Kematian dan kehancuran ekonomi ini bisa ditangani dengan keadilan akses vaksin. Segerakan membantu negara yang membutuhkan vaksin,” tuturnya.
Data WHO mengungkapkan, dari 194 negara di dunia, 92 negara tidak bisa memenuhi target vaksinasi minimal 40 persen per akhir tahun 2021. Bahkan, ada 36 negara yang angka vaksinasinya hanya 10 persen. Semua karena kekurangan vaksin.
Apalagi, 70 persen vaksin yang disumbangkan oleh negara-negara maju hampir kedaluwarsa. Negara-negara miskin dan berkembang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyiapkan sarana dan prasarana vaksinasi sehingga ketika fasilitas telah siap, vaksinnya justru tidak bisa dipakai lagi.
”WHO tetap menargetkan 70 persen penduduk global bisa divaksin lengkap pada pertengahan 2022. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kuncinya ada di keadilan vaksin,” tutur Gebreyesus.
Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) mengeluarkan peraturan yang mengejutkan. Mereka menetapkan waktu isolasi mandiri bagi pasien positif Covid-19 dipangkas dari dua pekan menjadi satu pekan. Selain itu, masyarakat tidak diwajibkan menunjukkan bukti negatif tes Covid-19 untuk kembali masuk kerja setelah cuti Natal dan Tahun Baru.
Langkah ini ditiru oleh Uni Eropa. Masa isolasi mandiri pasien positif umumnya dikurangi menjadi sepekan. Bahkan, di Yunani dan Ceko aturannya lebih nekat, yaitu hanya lima hari. Meskipun demikian, setelah masa isolasi, UE tetap mewajibkan adanya bukti negatif tes reaksi berantai polimerase (PCR).
”Ini aturan yang tak masuk akal. Kita bermain-main dengan api. Pengetahuan kita mengenai Omicron belum lengkap, tetapi kita sudah mengambil risiko yang tidak layak,” kata epidemiolog dari Spanyol, Daniel Lopez-Acuna.
Lopez-Acuna pernah menjabat Direktur Penanganan Krisis WHO. Aturan WHO menegaskan bahwa isolasi untuk pasien positif Covid-19 yang tidak bergejala adalah 10 hari. Bagi mereka yang bergejala, waktu isolasi minimal adalah 13 hari.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) juga mencemaskan langkah negara-negara UE ini. ECDC masih mengkaji risiko dampak dari aturan CDC AS ini. Sambil menunggu kajian selesai, ECDC mengeluarkan pernyataan bahwa setiap negara Eropa hendaknya mempertimbangkan kondisi epidemiologis masing-masing, jangan langsung meniru langkah AS. Pekan lalu, UEmengalami 5 juta kasus baru dan 57 persen di antaranya galur Omicron.
Sebaliknya, di negara-negara Asia, penanganan pandemi masih relatif ketat. Perbatasan-perbatasan masih ditutup. Sejumlah pakar kesehatan dari Barat menilai ini peraturan yang terlalu berlebihan karena dampak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lebih parah dibandingkan dengan penularan Covid-19 itu sendiri. Meskipun demikian, para epidemiolog Asia bersikukuh dengan pembatasan sosial yang ketat.
”Jika kita melonggarkan pembatasan di tengah masih banyaknya penduduk yang belum divaksin, risiko penularan terlalu besar. Walaupun secara statistik gejala Omicron tidak parah, kita tak boleh mengambil risiko yang bisa meruntuhkan sistem kesehatan karena akan berujung bencana,” kata Thira Woratanarat, epidemiolog Universitas Chulalongkorn, Thailand, kepada Al Jazeera. (AFP)