Kewaspadaan Tanpa Kepanikan Menghadang Omicron
WHO mengingatkan dunia agar waspada. Dunia berhadapan dengan sebuah virus baru yang strukturnya bisa berubah setiap saat. Akibatnya, tingkat morbiditas dan mortalitas juga bisa berubah.
Varian Omicron sudah masuk ke Indonesia. Perkembangan terakhir, menurut Kementerian Kesehatan, hingga Sabtu (25/12/2021), dari hasil pemeriksaan whole genome sequencing diketahui jumlah kasus di Indonesia sudah mencapai 46 kasus.
Sebulan setelah diidentifikasi di Afrika Selatan, 77 negara melaporkan adanya varian ini. Masuknya varian ini ke Indonesia sejatinya sudah diprediksi. Sebagian ahli malah menduga jumlah pengidap varian ini sudah lebih banyak walaupun belum terdeteksi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga berpendapat senada. Varian ini diduga sudah tersebar di banyak negara meski belum dideteksi atau dilaporkan. Varian Omicron adalah varian ke-15.
Sama dengan varian-varian sebelumnya, setidaknya ada empat hal yang menjadi concern para ahli terkait Omicron: kecepatan penyebaran, efek klinis dan keparahan yang ditimbulkan, potensi reinfeksi, serta efeknya terhadap kemanjuran vaksin.
Kemampuan dan kecepatan penyebaran menjadi isu krusial bagi varian baru. Sejumlah laporan menyimpulkan varian Omicron menyebar sporadis dan cepat. Penyebarannya dianggap fenomenal karena jauh melebihi varian-varian sebelumnya, termasuk varian Delta.
Perdana Menteri Perancis bahkan menyebut penyebarannya seperti kilat (spreading at lightning speed). Jumlah orang yang terinfeksi meningkat dua kali lipat (doubling rate) hanya dalam 2-3 hari.
Bandingkan dengan Delta yang doubling rate-nya 10-12 hari. Akibat kecepatan penyebarannya, Omicron segera mendominasi peta varian Covid-19.
Di Amerika Serikat (AS), hanya dalam seminggu proporsi Omicron meningkat tujuh kali lipat dari 0,4 persen menjadi 2,9 persen. Di Inggris, proporsinya meningkat dari 20 persen menjadi 44 persen dalam beberapa hari. European Center for Diseases and Prevention Control mengestimasi, pada Januari nanti, varian ini mendominasi Covid-19 di seluruh daratan Eropa.
Banyak hipotesis tentang kecepatan penyebaran ini. Pada saluran napas, varian ini dapat bermultiplikasi sangat cepat; puluhan kali lipat dibandingkan varian Delta. Kadarnya pun dapat meningkat sangat tinggi di jaringan hanya dalam 48 jam setelah terinfeksi.
Tingginya kecepatan penyebaran ini menjadi momok bagi sistem pelayanan kesehatan. Lolosnya satu atau beberapa kasus ke dalam satu negara bisa memicu penyebaran sporadis.
Dalam waktu singkat, banyak orang dapat terinfeksi dan mencari pelayanan kesehatan. Sebagian tentu butuh perawatan rumah sakit, oksigen, dan obat-obatan. Penyebaran cepat dan sporadis berpotensi memicu overload yang mengancam kestabilan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan terancam kolaps.
Terkait efek klinis dan keparahan, terdapat berbagai hipotesis yang saling bertentangan (conflicting hypotheses). Dokter-dokter di Afrika Selatan melaporkan, keluhan dan gejala klinis penderita kebanyakan bersifat ringan.
Sebagian besar berupa batuk ringan, beringus, dan kecapekan. Sangat sedikit yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan tidak ada yang meninggal. Meski varian Omicron telah mendominasi peta penyebaran Covid-19 di Afrika Selatan, tak ada tanda peningkatan kebutuhan pelayanan rumah sakit.
Bahkan, dibandingkan saat varian Delta mendominasi, kebutuhan perawatan rumah sakit saat ini lebih rendah 30 persen. Di Johannesburg, 90 persen kasus Covid-19 didominasi oleh varian Omicron, tetapi tingkat perawatan rumah sakit tidak meningkat. Ini dijadikan alasan bagi sebagian ahli bahwa tak ada indikasi Omicron yang menyebabkan pemberatan penyakit atau kefatalan.
Namun, WHO melihat dari sisi lain. Terlalu dini menyimpulkan varian ini tak menimbulkan pemberatan penyakit. Alasannya, varian ini masih baru dan kasus yang diamati belum terlalu banyak.
Teori dan model penyebaran penyakit mengisyaratkan bahwa efek fatal varian baru dapat terlihat apabila jumlah kasus yang diamati cukup banyak dan lebih lama. Artinya, jumlah kasus sekarang tidak adekuat digunakan untuk pengambilan kesimpulan.
Kenyataannya, setiap hari banyak informasi baru muncul terkait varian ini. Baru-baru ini, di Inggris, seorang pengidap varian ini dilaporkan meninggal.
Kemampuan varian menimbulkan infeksi ulang pada orang yang telah memiliki antibodi (reinfeksi) juga menjadi concern penting. Secara teoretis dan empiris, orang yang pernah terinfeksi atau mendapat vaksinasi telah memiliki antibodi yang memproteksinya terhadap Covid-19 selama periode tertentu.
Omicron mengganggu proteksi ini dan berpotensi menyebabkan reinfeksi. Di Afrika Selatan, sebagian besar penduduknya pernah terinfeksi Covid-19 dan telah memiliki antibodi. Ketika Omicron muncul, banyak dari penduduk ini mengalami reinfeksi.
Artinya, antibodi yang terbangun oleh infeksi sebelumnya tak memberi proteksi terhadap Omicron. Penelitian di AS juga hasilnya senada, 80 persen dari orang yang terinfeksi Omicron ternyata telah mendapat dua dosis vaksin dan bahkan hampir separuh di antaranya telah mendapat booster. Hampir seperlima dari penderita juga pernah mengidap Covid-19. Artinya, antibodi yang terbangun dari infeksi sebelumnya atau dari vaksinasi ternyata tidak memberikan perlindungan terhadap Omicron.
Terkait efeknya terhadap vaksin, beberapa hari lalu Pfizer mengumumkan hasil studi awalnya. Hasilnya cukup mencemaskan. Efek proteksi vaksin Pfizer menurun signifikan saat berhadapan dengan varian Omicron.
Pada orang yang telah menerima dua dosis vaksin dan terinfeksi Omicron, kadar antibodinya menurun 25 kali lipat dibandingkan orang yang terinfeksi virus asli. Efektivitas vaksin hanya jadi 0-20 persen. Ketika ditambahkan booster vaksin, kadar antibodi baru dapat meningkat kembali; efektivitasnya menjadi 55-80 persen.
Artinya, dua dosis vaksin tidak efektif memproteksi dari varian ini. Karena itu, booster vaksin diperlukan. Penurunan kemanjuran vaksin ini dialami bukan hanya oleh vaksin Pfizer, melainkan juga vaksin Moderna dan AstraZeneca. Sebagian ahli mengekstrapolasi bahwa vaksin-vaksin lain pun akan mengalami penurunan kemanjuran saat berhadapan dengan varian Omicron.
Berkurangnya kemanjuran vaksin terhadap Omicron sudah diprediksi. Alasannya, Omicron memiliki lebih dari 50 mutasi, dan 30 di antaranya terjadi pada spike protein, yang menjadi target berbagai vaksin. Karena targetnya bermutasi dan berubah, vaksin tidak dapat bekerja efektif. Sasarannya tidak kena.
Untuk mengatasinya, diperlukan booster atau modifikasi vaksin. Tentu saja ini menimbulkan persoalan baru. Jangankan booster vaksin, untuk meningkatkan cakupan vaksinasi dosis pertama dan kedua saja masih banyak negara yang tertatih-tatih.
Di Afrika Selatan, penduduk yang mendapat vaksin dosis pertama baru 31 persen dan dosis kedua 26 persen. Di Indonesia, cakupan dosis pertama dari populasi adalah 55 persen dan dosis kedua 36 persen.
Pada tingkat dunia, lebih dari 40 negara belum memvaksin 10 persen penduduknya. Dengan kondisi keterbatasan ini, bagaimana negara mau mempersiapkan booster vaksin untuk menghadapi varian Omicron?
”Sporadic but mild”?
Mutasi dan varian adalah proses alamiah virus. Fenomena ini akan terus terjadi sepanjang virusnya tetap eksis. Varian Omicron merupakan varian ke-15 dari kontinum metamorfosis Covid-19. Sepanjang pandemi belum tertangani secara efektif, varian-varian baru akan terus muncul. Sebagian varian mungkin kurang letal dan tidak berbahaya, tetapi sebagiannya lagi bisa sebaliknya.
Hingga saat ini, varian Delta masih dianggap varian yang paling berbahaya. Magnitudo morbiditas dan mortalitasnya memang serius. Namun, kedatangan Omicron bisa mengubah peta distribusi varian. Sebagian ahli percaya, sebentar lagi varian Omicron akan menggantikan dominasi varian Delta di seluruh dunia.
Meski studi tentang Omicron ini masih terus berlangsung, para ahli memiliki opini berbeda terkait magnitudo varian ini.
Pertama, sebagian yakin varian ini akan memberi dampak negatif yang serius terhadap perjalanan pandemi. Membuat angka infeksi, kesakitan, keparahan, dan kematian meningkat signifikan. Akibatnya, pandemi diperkirakan berlangsung lama.
Fenomena yo-yo akan terus terjadi. Grafik melonjak-melandai-stagnan (acceleration-deceleration-plateau) kasus dan kematian akan terus terjadi. Negara akan bolak-balik melakukan pembatasan pergerakan (lockdown) dan relaksasi. Penanganan pandemi terjebak dalam lingkaran setan (vicious cycle). Ekonomi dunia akan tetap suram.
Kedua, sebagian ahli mengambil sikap lebih optimistis. Meskipun tingkat penyebaran Omicron telah terkonfirmasi lebih cepat dan sporadis, mereka berharap efek klinis dan tingkat keparahannya tidak berat. Kasarnya, biar penyebaran cepat asalkan tidak parah. Sporadic and fast but mild.
Memang, hingga saat ini belum ada bukti kuat bahwa virus ini memberikan tingkat keparahan dan kefatalan yang tinggi. Jika memang nanti asumsi sporadic and fast but mild ini benar, kondisi ini justru dianggap sebagai berkah terselubung (blessing in disguise). Kerugian yang membawa kebaikan.
Dengan tingkat penyebaran yang tinggi, varian ini akan menggantikan dominasi varian Delta. Karena efeknya ringan, morbiditas dan mortalitas serius varian Delta akan tergantikan oleh morbiditas-mortalitas Omicron yang kurang letal. Artinya, Omicron merajalela, tetapi tidak berbahaya.
Saat ini, terlalu dini menentukan pendapat mana yang lebih tepat. Perjalanan Omicron baru lebih dari sebulan. Masih sangat banyak hal gelap terkait varian ini. Para ahli terus berkutat dan menelisik berbagai sisi varian ini. Ini krusial, terutama untuk mengantisipasi hal-hal terburuk yang mungkin terjadi.
WHO mengingatkan, dunia tidak perlu panik menghadapi varian baru, termasuk Omicron. Apalagi sampai mengimplementasikan tindakan superketat tanpa landasan bukti klinis dan epidemiologis yang jelas. Kebijakan pengetatan berlebihan justru membuat penatalaksanaan menjadi tidak efisien.
Sambil terus mempelajari, WHO mengingatkan dunia agar waspada. Dunia berhadapan dengan sebuah virus baru yang strukturnya bisa berubah setiap saat. Akibatnya, tingkat morbiditas dan mortalitas juga bisa berubah. Yang menarik, meski struktur virus, morbiditas, dan mortalitasnya bisa berubah, penatalaksanaannya tetap sama, yaitu 3M + 3T + vaksinasi.
Belum berubah signifikan. Ini terdengar klise, tetapi itulah kenyataannya. Penatalaksanaan 3M + 3T + vaksinasi terbukti efektif terhadap strain Covid-19 asli dan varian lain. Juga diharapkan akan efektif terhadap Omicron. Maka, cukup beralasan apabila sebagian ahli berujar, ”Apa pun variannya, penatalaksanaannya tetap 3M + 3T + vaksinasi.”
Iqbal Mochtar, Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan; Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah