Diplomasi Kesehatan Tetap jadi Landasan Kebijakan 2022
Menlu Retno Marsudi menyampaikan rencana kebijakan luar negeri Indonesia untuk tahun 2022. Diplomasi kesehatan tetap prioritas di tengah kesenjangan vaksin yang masih lebar antara negara maju dan negara berkembang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menjadi landasan utama bagi pengambilan kebijakan politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2021. Untuk tahun 2022, pandemi tetap menjadi prioritas walaupun pemerintah juga akan mengedepankan aspek kebangkitan ekonomi yang inklusif dan ramah lingkungan. Hal ini akan terus ditekankan selama giliran Indonesia memimpin kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia atau G-20.
Demikian disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menlu 2022 yang berlangsung secara daring di Jakarta, Kamis (6/1/2022). ”Indonesia merupakan salah satu inisiator dan konsisten dalam agenda kesetaraan akses vaksin Covid-19 global. Kiprah kita di Covax tetap menjadi salah satu agenda utama di tahun 2022,” katanya.
Ia memaparkan, pemulihan kondisi dunia tidak bisa ditangani sendiri-sendiri. Dampak pandemi hanya bisa dihadapi bersama di seluruh dunia. Retno mengutip data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan bahwa sejak pandemi bermula pada Maret 2020, sebanyak 100 juta penduduk dunia jatuh miskin dan 800 juta orang mengalami kelaparan. Ini ditambah dengan konflik yang terus berlangsung dan konflik yang terjadi di kala pandemi.
Oleh sebab itu, imbauan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menginginkan agar 40 persen penduduk dunia divaksin lengkap pada akhir 2021 penting dipatuhi oleh Indonesia. Target ini kemudian dinaikkan menjadi 70 persen vaksinasi Covid-19 lengkap pada pertengahan 2022.
Berdasarkan data WHO, ada 41 negara yang vaksinasinya masih di bawah 10 persen dan 98 negara yang vaksinasinya di bawah 40 persen. Khusus Indonesia, per 22 Desember 2021, sudah 40 persen penduduk divaksin lengkap. Sebanyak 20,5 persen vaksin yang dipakai Indonesia berasal dari Covax dan pemberian negara-negara maju melalui mekanisme berbagi dosis, yaitu negara maju yang memiliki kelebihan vaksin lalu mengirimnya kepada negara yang memerlukan.
Pengadaan vaksin masih merupakan tantangan yang berat. Covax, skema pengadaan vaksin yang dikelola PBB, tidak bisa memenuhi target 2 miliar dosis vaksin pada akhir 2021. Mereka sejauh ini hanya mampu memberi 811 juta dosis vaksin kepada 141 negara miskin dan berkembang.
Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus pada pertengahan Desember 2021 menekankan bahwa pemberian dosis penguat (booster) yang dilakukan sejumlah negara maju, bahkan di Israel diberikan dalam dua dosis, kian menghambat kesetaraan akses vaksin. Kondisi pengadaan vaksin bagaikan kembali ke titik di tahun 2020 ketika negara-negara kaya menumpuk dosis untuk keperluan mereka sendiri. Apalagi, mekanisme berbagi dosis vaksin ini bermasalah karena 70 persen vaksin sumbangan negara-negara kaya sudah hampir kedaluwarsa ketika dikirim.
”Berdasarkan alasan ini, diplomasi kesehatan tetap menempati peringkat atas misi luar negeri Indonesia pada 2022. Ini juga berbarengan dengan kepemimpinan kita di G-20, di samping menyelesaikan permasalahan di Myanmar bersama ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara),” ujar Retno.
Ia menjelaskan, Indonesia berambisi menjadi hub vaksin di kawasan Indo-Pasifik atau setidaknya di ASEAN. Peningkatan arsitektur dan infrastruktur kesehatan akan terus digenjot. Misinya ialah menjadikan Indonesia mampu membuat vaksin dan obat-obatan terkait pandemi, setelah itu menyebarluaskannya untuk kesetaraan akses global.
Pembentukan koridor perdagangan, antara lain, dengan Malaysia, Turki, Arab Saudi, Ukraina, dan Kazakhstan juga mencakup pengakuan sertifikasi vaksin Covid-19 di setiap negara itu. Dalam hal ini, aplikasi Peduli Lindungi tengah diupayakan agar bisa menjadi salah satu jaminan vaksinasi yang diakui secara internasional.
”Sama dengan target di G-20, Indonesia menjadi jembatan antara negara maju dengan negara berkembang maupun miskin agar menyempitkan kesenjangan di berbagai sektor. Misi kita menjadi hub vaksin ataupun kesehatan ini bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi demi akses bagi negara-negara lain yang membutuhkan,” ucap Retno.
Pengamat politik internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Shafiah Muhibat, menerangkan, wajar apabila diplomasi kesehatan tetap menjadi fokus. Perbedaan tahun 2022 dengan 2020 dan awal 2021, menurut dia, ialah kini hampir semua pendekatan penanganan pandemi dilakukan secara multilateral. ”Ini kebutuhan sekaligus modal besar bagi Indonesia,” katanya.
Indonesia sebagai negara berkembang belum memiliki vaksin sendiri. Kebangkitan ekonomi juga bergantung pada rantai pasok dan perekonomian negara-negara lain. Pada saat yang sama, Indonesia memiliki sikap yang cukup luwes dalam berdiplomasi sehingga semestinya pendekatan multilateral dengan negara lain dan lembaga-lembaga internasional tidak terlalu sulit.
Apalagi, lanjut Shafiah, persoalan seperti Laut China Selatan dan rivalitas geopolitik selama pandemi kemungkinan akan berjalan lambat. Isu-isu sensitif seperti dua hal itu sukar untuk dibahas secara mendalam melalui rapat-rapat daring. Ia menduga, ini pula alasan pemaparan Retno tidak banyak membahas isu perbatasan antarnegara dan Laut China Selatan selain penekanan kepada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
”Perlu diperhatikan pula agar pendekatan multilateral Indonesia jangan hanya mengandalkan ASEAN, apalagi situasi saat ini menunjukkan daya dorong ASEAN tidak sekuat biasanya. Pemerintah harus bisa mengategorikan setiap isu baiknya didekati secara multilateral, bilateral, unilateral, dan memilih organisasi global yang cocok dengan isu tersebut,” tutur Shafiah.