Covid-19 dan Tantangan Pemulihan Berkelanjutan
Kebijakan fiskal di dunia difokuskan untuk memerangi krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Di sisi lain diharapkan kebijakan pemulihan tetap memperhatikan isu perubahan iklim.
Pemerintah di seluruh dunia telah menerapkan langkah-langkah kebijakan luar biasa guna menyelamatkan nyawa dan melindungi mata pencaharian masyarakat yang terhantam pandemi Covid-19. Upaya-upaya keras selanjutnya secara signifikan dibutuhkan di fase pemulihan dari kondisi krisis yang berat. Untuk memastikan pemulihan yang berkelanjutan, para pembuat kebijakan harus bertindak memromosikan gerak “pemulihan hijau”.
Kebijakan fiskal di seluruh dunia difokuskan dengan tepat untuk memerangi krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Namun di tengah pandemi, kondisi krisis akibat fenomena perubahan iklim tetap ada. Kondisi itu membutuhkan kelindan kebijakan yang tegas sekaligus tepat untuk mengatasinya.
Keputusan terkait kebijakan-kebijakan yang diambil saat-saat ini guna mengatasi krisis Covid-19 dapat memengaruhi dan bahkan membentuk iklim dan juga kesehatan manusia selama beberapa dekade mendatang. Kebijakan hijau dibutuhkan guna mencegah satu krisis yang mengarah ke krisis lainnya. Dukungan publik untuk langkah-langkah tersebut mungkin lebih tinggi setelah krisis COVID-19.
Baca juga: Menyebar ke Taiwan dan Australia, Varian Delta Jangkiti 85 Negara
Lembaga swadaya masyarakat Oxfam mencatat sepanjang tahun lalu kerugian ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19 diperkirakan mencapai 22,7 triliun dollar AS. Sebanyak 9,8 triliun dollar AS dana telah dihabiskan oleh 36 negara kaya, sementara 59 negara berpenghasilan rendah menghabiskan 42 miliar dollar AS, semata untuk menangani dampak pandemi. Organisasi itu mengatakan negara-negara kaya hanya meningkatkan bantuan mereka kepada negara-negara berkembang untuk perlindungan sosial sebesar 5,8 miliar dollar AS.
Jumlah itu hanya setara dengan kurang dari lima sen untuk setiap 100 dollar AS yang dikumpulkan untuk mengatasi Covid-19. "Virus korona menyatukan dunia dalam ketakutan tetapi telah menunjukkan adanya jurang pemisah dalam soal responnya," kata Direktur Eksekutif Oxfam Gabriela Bucher. Ia menekankan bahwa pandemi memicu upaya global yang patut dipuji yang menjangkau lebih dari satu miliar orang dengan dukungan perlindungan sosial selama tahun 2020. Namun di luar itu masih banyak juga warga dunia yang belum tersentuh program-program perlindungan sekaligus pemulihan.
"Virus korona menyatukan dunia dalam ketakutan tetapi telah menunjukkan adanya jurang pemisah dalam soal responnya," kata Direktur Eksekutif Oxfam Gabriela Bucher.
Urusan Fiskal Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan dampak gabungan dari kesehatan dan krisis ekonomi adalah ancaman besar bagi ekonomi dan kehidupan manusia. Kedalaman krisis dan cakupan respons atasnya berarti bahwa langkah-langkah kebijakan yang diambil sekarang cenderung memiliki efek yang bertahan lama pada ekonomi global dan sekaligus akan membentuk masyarakat untuk dekade yang akan datang. Hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi emisi dan iklim global.
Dalam catatan Kompas mengutip data Statista dan Global Green Growth Institute, sejak 1758 hingga 2018 terjadi tren kenaikan drastis emisi setelah krisis pandemi. Dalam periode tersebut, setidaknya tercatat enam krisis kesehatan besar yang melanda dunia, yaitu kolera, flu rusia, flu Spanyol, flu asia, flu Hong Kong, serta flu babi. Adapun dalam satu dekade terakhir, terjadi tiga wabah penyakit, yakni ebola, MERS, dan Covid-19.
Dalam kelindan kondisi seperti itu, maka pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, sepatutnya disusun dan dikerjakan. Di fase penahanan krisis langsung, ruang lingkup untuk melakukannya mungkin terbatas. Hal itu terutama mengingat prioritas utama yang diperlukan untuk memberikan bantuan mendesak bagi rumah tangga dan perusahaan, yang tidak boleh ditunda atau bahkan dirusak oleh pertimbangan iklim. Namun ketika ekonomi telah lebih stabil dan aktivitas masyarakat telah menuju normal, maka ruang lingkup dan kebutuhan stimulus fiskal berbasis pembangunan berkelanjutan diharapkan meluas.
Baca juga: Covid-19 Varian Delta Memaksa Sydney ”Lockdown” Dua Pekan
Laporan lembaga Climate Policy Initiative and Vivid Economics menunjukkan hasil studi yang dilakukan atas kebijakan stimulus Covid-19 di lima negara di Asia. Kelimanya adalah India, Indonesia, Filipina, Singapura, dan Korea Selatan (Korsel), di mana hingga saat laporan itu disusun telah secara keseluruhan membelanjakan dana senilai 884 miliar dollar AS sebagai respon atas pandemi sejak pandemi merebak pada Februari 2020.
Dalam laporan yang dirilis pada Februari 2021 itu tergambar bahwa lima negara itu relatif kurang memasukkan iklim sebagai pertimbangan ke dalam respon stimulus fiskal mereka. Korsel memiliki bagian tertinggi dari langkah-langkah stimulus hijaunya, terhitung sebesar 53 persen dari kebijakan-kebijakannya terkait lingkungan. Sementara itu India mengalokasikan 31 persen dari stimulusnya untuk kegiatan terkait lingkungan, dan Indonesia mengarahkan 4 persen dari stimulusnya untuk hasil yang berkelanjutan. Adapun Filipina dan Singapura berdasarkan laporan itu sama sekali tidak mengalokasikan anggarannya untuk sektor yang terkait dengan pembangunan hijau.
Dalam catatan Kompas, pembangunan berbasis ekonomi hijau menjadi satu dari enam strategi besar transformasi Indonesia. Strategi ekonomi hijau ini mencakup ekonomi rendah karbon, blue economy, dan transisi energi. Ekonomi hijau dinilai sebagai game changer untuk membalikkan kondisi perekonomian yang tertekan. Di Indonesia, investasi ekonomi hijau diarahkan ke proyek-proyek infrastruktur energi baru terbarukan. Sampai dengan 2035, pemerintah akan mengembangkan 38 gigawatt pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBio), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Pembahasan, wacana, hingga rencana pemulihan ekonomi berkelanjutan pasca-pandemi Covid-19 dilaporkan beredar di Jepang. Bank sentral Jepang, Jumat (18/6/2021), lalu misalnya mengumumkan skema kredit hijau perdananya. Merujuk pada AFP, program ini ditujukan kepada lembaga keuangan yang mendorong produk pinjaman dan investasi mereka untuk kegiatan penanganan perubahan iklim. Kebijakan ini diharapkan selaras dengan upaya pemulihan ekonomi Jepang dari dampak pandemi Covid-19 sekaligus target Jepang untuk mencapai kondisi netral karbon pada tahun 2050.
Perubahan iklim juga menjadi tema utama pada rapat umum pemegang saham dari banyak perusahaan Jepang yang diadakan tengah tahun ini. Sebagaimana diwartakan media Japan Times, proposal para pemegang saham terkait tindakan antisipatif atas fenomena perubahan iklim telah meningkat baru-baru ini. Kondisi di Jepang relatif tertinggal dari negara-negara lain, khususnya sama-sama negara maju. Di Jepang dilaporkan hanya ada satu proposal yang diajukan tahun lalu
Organisasi nirlaba Jepang Kiko Network bersama dengan kelompok lingkungan lainnya mengajukan proposal berisi permintaaan Mitsubishi UFJ Financial Group Inc untuk membuat ketentuan dalam anggaran dasar yang mengharuskannya untuk mengungkapkan rencana investasi terkait dengan langkah-langkah melawan pemanasan global. Kiko Network mengajukan proposal serupa kepada Mizuho Financial Group Inc tahun lalu. Usulan itu ditolak tetapi mengejutkan industri setelah mampu mengumpulkan dukungan dari lebih dari 30 persen pemegang saham.
“Lembaga keuangan harus berinvestasi secara bertanggung jawab,” kata Kimiko Hirata, Direktur Internasional Kiko Network. Hirata menekankan pentingnya proposal yang memaksa dewan direksi untuk mempertimbangkan usulan para pemegang saham. Dia mengaku banyak yang telah berubah sejak proposal organisasi itu ditolak tahun lalu. Diungkapkan bahwa sejumlah investor institusi di Jepang dan luar negeri telah datang ke organisasi itu untuk meminta penjelasan tentang isi proposal terbaru.
Mitsubishi UFJ berusaha untuk mendapatkan pemahaman investor dengan menyatakan tujuannya untuk mencapai nol emisi gas rumah kaca secara efektif di perusahaan yang telah berinvestasi pada tahun 2050. Banyak perusahaan di grup itu telah mencantumkan langkah mereka terhadap perubahan iklim dan masalah sosial. Sumitomo Mitsui Trust Bank, misalnya, mengatakan sebanyak 309 perusahaan telah memasukkan informasi tersebut dalam pemberitahuan mereka.