Derita Tak Berkesudahan, Anak-anak Pun Dijual
Tidak hanya anak perempuan, anak laki-laki juga dijual di Afghanistan. Keluarga miskin mengambil keputusan yang bertentangan dengan nuraninya agar bisa bertahan hidup.
”Jantung saya seperti berhenti berdetak. Saya pikir saya bisa mati saat itu, tetapi mungkin Tuhan tidak ingin saya mati,” kata Aziz Gul. Saat itu Qandi berdiri di sisinya. ”Setiap kali saya mengingat malam itu, saya serasa mati”.
Dengan masih menyimpan rasa kecewa dan marah, perempuan Afghanistan yang bersama keluarganya kini menghuni kamp pengungsi Shedai, di Herat, menceritakan kisah pilunya.
Beberapa waktu lalu, sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press pada 1 Januari 2022, tanpa sepengetahuan Aziz Gul, suaminya diam-diam telah menjual putri mereka yang baru berusia 10 tahun, Qandi Gul kepada pria yang ingin menikahi gadis belia itu. Karena didesak situasi, tak memiliki uang dan harus memberi makan delapan orang, suami Gul menawarkan Qandi ke mana-mana.
Upayanya berhenti ketika sebuah keluarga yang memiliki anak muda, pria berusia 21 tahun menerima tawaran itu. Suami Gul pun menerima uang muka pria itu nantinya bisa menikahi Qandi. Oleh suami Gul, uang muka itu kemudian digunakannya untuk membeli makanan bagi dia, istri, dan keenam anak mereka.
Kalau tidak mendapatkan uang untuk membeli makanan, mereka semua bisa mati kelaparan. Pria itu berpikir harus mengorbankan salah satu anaknya untuk menyelamatkan lima anak yang lain agar mereka tidak mati kelaparan.
Namun, setelah Gul mengetahui hal itu, ia berupaya menebus Qandi. Ia ingin mempertahankan anaknya itu, apa pun tengah diupayakannya.
Apa yang dialami Aziz Gul adalah fenomena yang kini banyak terjadi di Afghanistan. Hal itu memperburuk krisis kemanusiaan di Afghanistan yang kini tengah didera musim dingin. Bencana kelaparan, kekeringan, dan musim dingin membuat negara yang hancur oleh perang berkepanjangan itu kini berkalang nestapa.
Di tempat-tempat penampungan darurat, yang terbuat dari bata lumpur, anak-anak dijual. Mereka adalah pengungsi, korban perang dan bencana kekeringan. Mereka terpaksa dijual agar keluarga mereka—yang kini tengah didera kelaparan—mendapatkan uang untuk membeli makanan.
Baca Juga: Bertahan Hidup dengan Menjual Anak Perempuan
Tidak hanya anak perempuan, anak laki-lagi juga ditawarkan di pasar-pasar. Karena keputusasaan, masyarakat miskin terpaksa mengambil tindakan itu, yang sering bertentangan dengan hati nurani mereka sendiri, demi menyelamatkan nyawa anggota keluarga lainnya. Namun, ada pula upaya sebaliknya.
Menikahkan anak gadis di bawah umur atau memaksa gadis-gadis belia menikah adalah hal biasa di Afghanistan. Keluarga calon mempelai pria biasanya memberikan uang muka untuk mengikat kesepakatan. Seorang gadis belia biasanya tinggal bersama orangtuanya sampai berusia sekitar 15 tahun.
Namun, kelaparan parah akibat keterpurukan ekonomi pasca-perang panjang dan kekeringan mengubah segalanya. Keluarga yang tidak mampu membeli makanan pokok mengizinkan calon mempelai pria menjemput gadis belia itu meski masih di bawah 15 tahun atau menjualnya.
Suami atau ayah dalam keluarga itu sebagai pengambil keputusan. Kadang-kadang dirundingkan dengan istri, tetapi banyak juga tanpa sepengetahuan istri. Peristiwa yang dialami Aziz Gul adalah salah satunya.
Gul hidup dalam masyarakat yang sangat patriarkal dan didominasi laki-laki. Seharusnya dia patuh pada keputusan sang suami. Namun, dia melawan. Dulu dia menikah dengan suaminya sekarang, tanpa menyebut nama, pada usia 15 tahun.
Tak ingin pengalaman pahitnya terulang, Gul akan bunuh diri jika putrinya, Qandi, dibawa pergi. Ketika suaminya memberi tahu bahwa Qandi telah dijual ia sangat kecewa.
Baca Juga: Rakyat Dipaksa Memilih: Mengungsi atau Lapar
Suaminya mengatakan kepada Gul bahwa Qandi dijual untuk menyelamatkan nyawa yang lain. Suaminya mengatakan bahwa mereka semua akan mati jika mereka tidak segera membeli makanan karena tidak ada uang. Dengan menjual Qandi, mereka akan selamat. ”Meninggal jauh lebih baik daripada apa yang telah kamu lakukan,” kata Gul kepada suaminya.
Gul lalu mengumpulkan saudara laki-lakinya dan para tetua desa. Dengan bantuan mereka, dia berharap bisa ”menceraikan” Qandi. Gul harus mengembalikan 100.000 afghani, sekitar 1.000 dollar AS atau Rp 14,5 juta, yang diterima suaminya. Uang sebanyak itu sulit didapatnya.
Suami Gul telah melarikan diri mungkin karena khawatir Gul akan mengadukannya ke pihak berwenang. Pemerintah Taliban baru-baru ini telah melarang pernikahan secara paksa, tetapi tidak memberi solusi dan bahkan tidak punya daya untuk mengatasi jutaan warga Afghanistan yang kelaparan.
Gul tidak tahu sampai kapan bertahan dari tekanan keluarga calon pengantin pria yang telah membeli Qandi. ”Saya sangat putus asa. Jika saya tidak bisa mengembalikan uang itu dan tidak dapat menjaga putri saya di sisi saya, saya akan bunuh diri,” katanya.
Baca Juga: Perlu Kerja Sama dengan Taliban untuk Atasi Krisis Kemanusiaan di Afghanistan
Hati dan pikiran Gul tidak pernah tenang. ”Tetapi, kemudian saya berpikir tentang anak-anak yang lain. Apa yang akan terjadi pada mereka? Siapa yang akan memberi mereka makan?” lanjutnya. Anak sulungnya berusia 12 tahun dan yang bungsu, anak keenam, baru berusia dua bulan.
Tak berdaya
Di bagian lain kamp tersebut, Hamid Abdullah, ayah empat anak, diketahui telah menjual putrinya berusia 7 tahun saat gadis kecil itu masih anak balita, tiga tahun lalu. Abdullah telah menerima sejumlah uang yang digunakannya untuk biaya istrinya, Bibi Jan, berobat. Istri Hamid menderita sakit kronis dan saat ini sedang hamil anak kelima.
Kondisi ekonomi rumah tangga yang sangat sulit akibat perang dan kekeringan, membuat Adullah semakin tak berdaya. Dia tidak bisa mengembalikan uang yang telah diterimanya. Tiga tahun lalu, dia menerima uang muka untuk putri sulungnya Hoshran (7), untuk dinikahkan di usia 18 tahun.
Keluarga yang membeli Hoshran menunggu sampai gadis itu sudah ”cukup umur” baru membayar lunas dan membawanya dari tengah keluarga Abdullah. Namun, Abdullah membutuhkan uang sekarang sehingga dia mencoba menjual putri keduanya, Nazia yang berusia 6 tahun, dengan harga hanya sekitar 20.000-30.000 afghani atau sekitar 200-300 dollar (sekitar Rp 3 juta hingga Rp 4,5 juta).
”Kami tidak punya makanan,” kata Abdullah dan dia tidak bisa membiayai perawatan istrinya. Bibi Jan, mengatakan mereka tidak punya pilihan lain. Menjual putri kecilnya adalah keputusan yang sulit. ”Ketika kami membuat keputusan, itu seperti seseorang telah mengambil bagian tubuh saya.”
Baca Juga: 14 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan
Di Badghis, provinsi tetangga, keluarga pengungsi lainnya sedang mempertimbangkan untuk menjual putra mereka, Salahuddin yang berusia 8 tahun. Ibunya, Guldasta, mengatakan bahwa setelah berhari-hari tidak makan, dia menyuruh suaminya untuk membawa Salahuddin ke pasar dan menjualnya untuk mendapatkan makanan demi menyelamatkan nyawa yang lain.
”Saya tidak ingin menjual putra saya, tetapi saya harus melakukannya,” kata wanita berusia 35 tahun itu. ”Tidak ada ibu yang bisa melakukan ini pada anaknya, tetapi ketika kamu tidak punya pilihan lain, kamu harus membuat keputusan yang bertentangan dengan keinginanmu.”
Salahuddin mengejap-ngejapkan matanya, menerawang dalam diam, dan bibirnya bergetar. Ayahnya, Shakir, sedang mengalami gangguan ginjal dan salah satu matanya buta. Shakir mengatakan, anak-anaknya telah menangis selama berhari-hari karena kelaparan.
Dua kali Shakir memutuskan untuk membawa Salahuddin ke pasar, dan dua kali itu juga hatinya merasa tidak tega. ”Namun, sekarang saya pikir, saya tidak punya pilihan lain, kecuali harus menjualnya untuk mendapatkan uang agar bisa beli kebutuhan pokok,” ujarnya.
Di Afghanistan, membeli anak laki-laki adalah bukan kebiasaan umum kecuali anak perempuan. Jika ada yang akhirnya membeli anak laki-laki, hal itu terjadi karena di dalam keluarga pembeli tidak ada anak laki-laki. Namun, biasanya membelinya saat masih bayi. Dalam keputusasaannya, Guldasta berpikir mungkin ada keluarga yang menginginkan anak laki-laki berusia 8 tahun.
Gagal
Semakin banyak keluarga dari jutaan warga miskin Afghanistan saat ini putus asa karena Afghanistan telah menjadi pusaran kemiskinan terparah di Asia Selatan. Taliban yang berkuasa sejak 15 Agustus 2021 hingga saat ini belum mampu mengatasi keadaan.
Baca Juga: Kabinet Baru Taliban Diisi Tokoh-tokoh ”Daftar Hitam” AS dan PBB
Ekonomi Afghanistan yang bergantung pada bantuan asing saat ini ambruk. Sejumlah pihak atau negara membekukan aset Afghanistan yang disimpan di luar negeri, dan menutup keran bantuan.
Negara dan lembaga donor tidak mau bekerja dengan pemerintah Taliban karena reputasinya yang buruk selama pemerintahan jilid I pada 1996-2001. Terlebih lagi karena Taliban belum juga membentuk pemerintahan inklusif seperti yang mereka janjikan kepada dunia.
Pemerintahan permanen dan inklusif belum juga dibentuk karena diduga kuat sedang terjadi perpecahan di tubuh Taliban. Ada gesekan kuat antara kubu pragmatis dan ideolog, yang meningkat sejak Taliban membentuk kabinet garis keras, September lalu. Taliban membantah ada perpecahan.
Konsekuensinya buruk. Negara yang telah hancur akibat perang, kekeringan, dan pandemi Covid-19 kini diperparah oleh pembatasan bantuan asing terhadap negara Afghanistan. Jutaan pegawai negeri belum digaji selama berbulan-bulan. Jutaan warga desa yang miskin kelaparan parah.
Skala bencananya diperkirakan bakal sangat besar di tengah musim dingin ini. Program Pangan Dunia PBB memperkirakan, 23 juta warga Afghanistan—lebih dari setengah populasi—menghadapi kerawanan pangan akut. Sebanyak 3,2 juta anak balita berisiko meninggal akibat malanutrisi akut.
”Hari demi hari, situasi di negara ini semakin memburuk dan terutama anak-anak sangat menderita,” kata Asuntha Charles, Direktur Organisasi Bantuan World Vision di Afghanistan, yang mengelola klinik kesehatan untuk orang-orang telantar di dekat kota Herat.
”Hari ini saya sangat sedih melihat keluarga yang terpaksa harus menjual anak-anak mereka untuk membeli makan bagi anggota keluarga lainnya,” kata Charles sambil menambahkan bahwa dana bantuan kemanusiaan sangat dibutuhkan.
Pengambilalihan oleh Taliban membuat rakyat Afghanistan merasa ditinggalkan, dilupakan, dan dihukum oleh keadaan yang bukan akibat kesalahan mereka. PBB membutuhkan dana 4,5 miliar dollar AS untuk menangani kebutuhan mendesak di Afghanistan pada 2022 ini. (AP/AFP/REUTERS)