Konflik di Timur Tengah seolah tak berujung. Israel menyerang Suriah dengan alasan adanya kegiatan militer Iran dan Hezbollah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
LATAKIA, SELASA — Israel menyerang kota pelabuhan Latakia di Suriah pada Selasa (28/12/2021). Pesawat tempur Israel mengebom tempat penyimpanan kontainer yang diduga menyembunyikan berbagai persenjataan yang dikirim dari Iran. Ini adalah serangan kedua Israel ke Latakia pada Desember.
Kantor berita Suriah, SANA, melaporkan bahwa pengeboman itu terjadi pada pukul 03.21 waktu setempat. Lebih lanjut, stasiun televisi nasional Alikhbaria mengabarkan bahwa suara ledakannya terdengar hingga radius 80 kilometer. Selain pelabuhan, dikabarkan kerusakan juga dialami oleh sebuah rumah sakit, pertokoan, dan beberapa rumah warga. Belum ada rincian mengenai korban jiwa dan luka-luka.
Suriah menyalahkan Israel sembarangan meluncurkan rudal ke tumpukan kontainer yang berisi minyak serta suku cadang otomotif. Akan tetapi, berdasarkan laporan lembaga perlindungan hak asasi manusia Syria Observation for Human Rights (SOHR) yang bermarkas di Inggris, gudang kontainer itu sejatinya menyembunyikan persenjataan yang dikirim Iran untuk tentara Pemerintah Suriah.
”Kami akan terus melawan kejahatan di Timur Tengah,” kata Perdana Menteri Israel Naftali Bennett seperti dikutip oleh surat kabar Times of Israel. Kepala Intelijen Militer Israel Mayor Jenderal Aharon Haliva secara eksplisit mengatakan bahwa serangan itu bermaksud menghentikan ”terorisme” yang dilakukan oleh Iran.
SOHR mencatat, pada 2021, Israel sudah 30 kali menyerang Suriah. Ada 130 orang tewas akibat serangan itu yang mencakup 125 tentara Assad dan lima penduduk sipil. Pada 2020, Israel menyerang Suriah 50 kali. Untuk memahami alasan Israel terus-menerus menggempur Suriah, perlu kembali menilik sejarah sejak tahun 1948.
Israel-Iran-Hezbollah
Suriah jatuh ke dalam perang saudara sejak tahun 2011 yang hingga kini telah menewaskan 500.000 orang. Konflik terbuka ini adalah antara pengikut setia Presiden Bashar Assad dan pemberontak yang melawan pemerintahan korup.
Militer Assad dibantu oleh Rusia, Iran, dan kelompok militer Hezbollah dari Lebanon. Rusia dan Iran bahkan diberi keistimewaan oleh Assad untuk mengoperasikan pangkalan udara di Hmeimim yang berjarak 20 kilometer dari Latakia. Keterlibatan negara-negara asing ini yang memantik penyerangan Israel atas Suriah.
Sejatinya, pertikaian antara Suriah dan Israel telah berhenti sejak gencatan senjata pada 1974. Sebelumnya, dimulai pada tahun 1948, Suriah dan Israel berperang setelah Israel melakukan pengusiran besar-besaran terhadap warga Palestina dalam peristiwa yang disebut sebagai nakhba. Buntut dari nakhba ialah meletusnya perang antara Israel dan bangsa-bangsa Arab yang berpuncak di Mesir pada 1973.
Hubungan antara Israel dan Suriah setelah gencatan senjata 1974 relatif stabil. Israel kemudian disibukkan menghadapi permasalahan di dalam negeri, seperti kelompok Hamas dan Fatah yang menginginkan kemerdekaan Palestina. Gerakan kemerdekaan ini didukung oleh Hezbollah dari Lebanon yang oleh Israel dicap sebagai organisasi teroris.
Pada tahun 2006, Israel berperang dengan Hezbollah. Dalam kurun 34 hari, jumlah korban jiwa yang jatuh tidak tanggung-tanggung dari pihak warga sipil dan militer. Di Lebanon ada 1.100 korban jiwa dan di Israel ada 149 korban jiwa. Pada saat yang sama, Israel juga mencemaskan ancaman persenjataan nuklir yang dikembangkan oleh Iran.
Oleh karena itu, ketika Rusia, Iran, dan Hezbollah menyatukan kekuatan untuk mendukung Assad di Suriah, Israel langsung memberlakukannya sebagai ancaman serius. Media Al Jazeera mencatat, Israel selalu menyerang Suriah setiap kali ada peluru nyasar, baik yang ditembakkan oleh tentara Assad maupun pemberontak.
Apalagi, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan yang berbatasan langsung dengan Suriah. Israel juga menyerang setiap kali ada konvoi militer melewati Golan. Demikian pula apabila intelijen Israel menganggap ada kegiatan dari kelompok pendukung Iran ataupun Hezbollah.
”Israel, Suriah, Rusia, Iran, dan Hezbollah sama-sama bertanggung jawab atas segala kekerasan dan pertumpahan darah ini. Mereka tidak bisa saling melempar kesalahan,” kata Sobhi Hadidi, pakar politik Suriah kepada Al Jazeera pada Oktober 2017. (AFP/DNE)