Arab-Suriah Cari Titik Temu
Hubungan sejumlah negara Arab dan Suriah yang renggang sejak 2011 berangsur-angsur pulih. Masing-masing mencari titik temu kepentingan dengan latar belakang yang beragam.
Akhir-akhir ini muncul gerakan sejumlah negara Arab untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah. Negara Arab itu adalah Jordania, Mesir, Irak, dan Uni Emirat Arab.
Aljazair pun kini sedang melakukan konsultasi intensif dengan beberapa negara kuat Arab untuk mempertimbangkan kemungkinan mengundang Suriah ke forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab di Aljazair, Maret 2022, sekaligus kembalinya Suriah ke Liga Arab.
Baca juga : Abraham Accord Ubah Misi Liga Arab
Pada 2011, keanggotaan Suriah di Liga Arab dibekukan menyusul meletusnya perang saudara di negara itu yang terus berlanjut sampai saat ini. Keputusan sejumlah negara Arab melakukan normalisasi dengan Suriah dilakukan setelah mereka menyadari bahwa upaya menumbangkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus gagal. Mereka mengakui, menumbangkan rezim Bashar al-Assad yang didukung Rusia dan Iran sudah tidak mungkin lagi.
Akhirnya, sejumlah negara Arab tersebut memilih menempuh jalan kompromi dengan melakukan normalisasi hubungan dengan rezim Presiden Assad. Harapannya, pengaruh dunia Arab bisa kembali di Suriah sekaligus meminimalkan pengaruh Iran dan asing lain di Suriah.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Jordania Ayman Safadi dalam wawancara dengan CNN pada 11 November mengatakan, Jordania terpaksa melakukan komunikasi dengan Presiden Al-Assad karena tidak ada strategi yang terpadu dan efektif dalam menyelesaikan isu Suriah. Kepala Intelijen Jordania Ahmad Husni juga mengatakan, Jordania melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah dengan melihat keadaan Suriah sebagai sebuah realitas.
Sebelumnya, pada 3 Oktober, Raja Jordania Abdullah II menerima telepon dari Presiden Suriah Bashar al-Assad. Komunikasi langsung Abdullah II dan Assad itu merupakan yang pertama kali selama satu dekade ini sekaligus menandai normalisasi hubungan Jordania-Suriah.
Baca juga : Arab Tak Mau Berkonflik Selamanya
Selain itu, perkembangan geopolitik di Timur Tengah pasca-KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Al-Ula, Arab Saudi, pada Januari 2021 membuat situasi cukup kondusif bagi normalisasi hubungan Arab-Suriah. Hasil KTT itu adalah normalisasi hubungan Qatar dan kuartet Arab, yakni Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir.
Ada pula serangkaian dialog Iran-Arab Saudi di Baghdad dalam beberapa bulan terakhir yang menjadi variabel pendukung. Situasi geopolitik tersebut semakin mendorong sejumlah negara Arab melakukan normalisasi hubungan dengan rezim Presiden Assad.
Harian Asharq Al Awsat edisi Jumat (12/11/2021) menurunkan dokumen rahasia yang dikeluarkan Jordania tentang tujuan dari normalisasi hubungan Arab-Suriah tersebut. Dokumen rahasia itu menyebutkan, tujuan akhirnya adalah keluarnya semua pasukan asing dari Suriah, termasuk milisi Iran.
Isi dokumen rahasia tersebut telah dibahas dalam pertemuan antara Menlu Suriah Faisal Mekdad dan sembilan menlu negara Arab di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York pada September lalu. Pembahasan juga dilakukan dalam komunikasi resmi Suriah-Jordania serta kunjungan Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed ke Damaskus pada 9 November.
Raja Jordania Abdullah II telah mendiskusikan isi dokumen rahasia itu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington DC pada Juli dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Agustus.
Baca juga : Little Amal Bawa Harapan Pengungsi
Isi dokumen itu sejalan dengan hasil komunikasi Menlu Aljazair Ramtane Lamamra dengan menlu sejumlah negara Arab tentang pentingnya mereduksi pengaruh Iran di Suriah dengan imbalan pulihnya hubungan Arab-Suriah.
Selain itu, sejumlah negara Arab meminta Suriah lebih positif dalam menyelesaikan isu pengungsi Suriah dan solusi politik sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2254.
Menurut laporan PBB, terdapat 6,7 juta pengungsi Suriah di mancanegara dan 6,6 juta pengungsi Suriah di dalam negeri. Laporan yang sama menyebutkan pula bahwa terdapat 13 juta penduduk Suriah yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan dan 80 persen rakyat Suriah hidup di bawah angka kemiskinan.
UEA termasuk negara Arab yang paling progresif dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah. Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed mengunjungi Damaskus dan bertemu Presiden Bashar al-Assad pada 9 November. Upaya cepat normalisasi hubungan dengan Suriah ditempuh UEA agar tujuan mereduksi pengaruh Iran di Suriah sekaligus memperkuat pengaruh Arab di negara itu segera membuahkan hasil.
UEA bisa jadi juga ingin meningkatkan posisi strategisnya dalam geopolitik di Timur Tengah dengan tampil sebagai mediator tidak langsung antara Suriah dan Israel. Selama ini, adalah Rusia yang memainkan peran sebagai mediator tidak langsung Israel-Suriah.
UEA telah menjalin hubungan resmi dengan Israel melalui Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) pada Agustus 2020. Jika normalisasi dengan Suriah cepat terwujud, UEA bisa menjadi mediator antara Israel dan Suriah.
Lihat juga : Sampah Perang di Suriah
Dalam kompetisi pengaruh dengan Qatar, UEA telah kalah dari Qatar dalam perebutan pengaruh di Afghanistan dan Asia Tengah setelah Taliban berkuasa lagi di Afghanistan pada 15 Agustus. Menjadi mediator antara Israel dan Suriah, UEA diharapkan bisa membuat persaingan menjadi seimbang lagi.
UEA dan Suriah pada 20 Oktober telah membentuk dewan bisnis UEA-Suriah guna mengaktifkan lagi hubungan dagang kedua negara, terutama peran sektor swasta. Dalam kesempatan itu dibahas pula kerja sama perdagangan, industri, pertanian, pariwisata, dan pembangunan pembangkit tenaga listrik di Damaskus berkapasitas 300 megawatt atas pembiyaan dari UEA.
Neraca perdagangan UEA-Suriah pada semester I-2021 mencapai 272 juta dollar AS, menurun dibandingkan periode yang sama pada 2020 yang mencapai 689 juta dollar AS.
Kerja sama perdagangan juga dijalin Mesir dan Jordania dengan Suriah. Kedua negara akan membangun pipa gas dan listrik melalui wilayah Suriah menuju Lebanon. Kompensasinya, Suriah akan mendapat jatah pasokan gas dan listrik. Hal ini diharapkan bisa menyelamatkan Suriah dari krisis gas dan listrik yang berlangsung sejak revolusi rakyat pada 2011.
Suriah sendiri sangat butuh dan diuntungkan dengan normalisasi hubungan dengan dunia Arab. Suriah menyadari, hubungan khususnya dengan Rusia dan Iran selama ini hanya bisa membantu secara militer, tetapi tidak akan bisa memenuhi kebutuhan Suriah di sektor ekonomi. Lubang inilah yang akan ditutup dengan normalisasi hubungan dengan dunia Arab. Ini juga meringankan dari aksi blokade AS dan negara-negara Barat.
Baca juga : Anak Suriah Bersekolah di Tengah Keprihatinan
Menurut laporan PBB, biaya pembangunan kembali Suriah mencapai 388 miliar dollar AS. Presiden Bashar al-Assad mengatakan, negaranya butuh dana 250 miliar dollar AS hingga 400 miliar dollar AS untuk pembangunan kembali Suriah dan program memulangkan pengungsi Suriah ke rumah-rumah mereka lagi.
Karena itu, hubungan Arab-Suriah merupakan era baru Suriah dalam upaya negara tersebut bebas secara bertahap dari isolasi dunia Arab selama ini dan sekaligus secara bertahap pula tereduksi pengaruh Iran dan Rusia di negara itu.