Arus baru diplomasi menuju relasi persahabatan merebak di negara- negara Arab yang bermusuhan. Ada semacam kesadaran baru, tak ada guna konflik terus-menerus.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
AFP PHOTO / JORDANIAN ROYAL PALACE / YOUSEF ALLAN
Raja Jordania Abdullah II (kanan) bertemu dengan Emir Qatar Sheikh Tamim Hamad al-Thani di sela konferensi tingkat tinggi di Baghdad, Irak, 28 Agustus 2021.
Pembicaraan via telepon antara Raja Jordania Abdullah II dan Presiden Suriah Bashar al-Assad, Minggu (3/10/2021), merupakan contoh terbaru dari arus baru diplomasi itu di kawasan Timur Tengah. Sebelumnya, dua pemimpin negara bertetangga tersebut sudah sekitar satu dekade tak bertegur sapa. Konflik Suriah, yang meletus sejak 2011, jadi pemisah di antara mereka. Dalam konflik itu, Jordania membela oposisi utama dukungan Barat yang berupaya melengserkan Assad.
Sepuluh tahun silam, ketika pemerintahan Damaskus menumpas gerakan prodemokrasi, Raja Abdullah II menyerukan agar Assad turun jabatan. Namun, hari Minggu lalu, seperti dikutip pernyataan Istana Kerajaan, Abdullah kepada Assad mengatakan, Jordania mendukung integritas teritorial negara tetangga utara serta upaya menjaga stabilitas dan kedaulatan. ”Mereka membahas hubungan di antara dua negara bersaudara dan langkah meningkatkan kerja sama,” demikian pernyataan Istana Kerajaan Jordania.
AFP/LOUAI BESHARA
Para perempuan warga Suriah berjalan di depan poster Presiden Suriah Bashar al-Assad di dekat Masjid Agung Umayyah di Damaskus, Suriah, 23 September 2021.
Proses rujuk Jordania-Suriah meningkat beberapa bulan terakhir. Dua pekan lalu, Menteri Pertahanan Suriah Ali Ayoub berkunjung ke Amman, membahas pengamanan di perbatasan dan masalah penyelundupan. Rabu (29/9), kedua negara membuka penuh pintu perbatasan utama, Jaber, guna memacu perdagangan dan hubungan ekonomi. Amman juga berada di garis terdepan memulihkan posisi keanggotaan Suriah di Liga Arab dan status kepemimpinan Assad.
Normalisasi hubungan di kawasan Timur Tengah seperti itu tak hanya terjadi antara Jordania dan Suriah. Negara-negara dari kutub yang berhadapan di kancah beberapa konflik kawasan mulai mendekat satu sama lain melalui diplomasi. Secara garis besar, konflik akhir-akhir ini di kawasan tersebut pada satu front menempatkan negara-negara Arab Teluk dan Israel melawan Iran dan para mitranya. Front lain menghadapkan Turki dan Qatar, yang bersimpati pada gerakan-gerakan Islamis, dengan Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA).
AFP/POOL/LUDOVIC MARIN
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu (kanan) menghadiri konferensi Baghdad di Baghdad, Irak, 28 Agustus 2021.
Belakangan, negara-negara dari poros yang bermusuhan itu mulai berbicara satu sama lain. Arus diplomasi ini dimulai awal tahun ini saat kuartet Arab (Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain) menormalisasi hubungan setelah 3,5 tahun bersitegang. Tak lama kemudian, sejak April, dua rival bebuyutan, Arab Saudi dan Iran, memulai dialog. Pada bagian lain, Turki juga mulai membahas kerja sama ekonomi dengan UEA dan berharap menormalisasi hubungan dengan Mesir.
Tak bisa dimungkiri, ada pertimbangan dinamika geopolitik dan pertimbangan strategis di balik upaya normalisasi hubungan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Namun, ada satu benang merah yang seolah menggarisbawahi arus baru diplomasi itu. Konflik terus-menerus tak memberi ruang kepada napas dan pertumbuhan ekonomi. Hanya dalam kondisi stabil dan suasana persahabatan, ekonomi kawasan bisa dibangun.