Ketegangan di Eropa Meningkat, Rusia-NATO Setuju Bertemu
Rusia menuding NATO terus memprovokasi. Moskwa meminta NATO menghentikan ekspansi ke Timur. Ketegangan Rusia-NATO meningkat, terutama dalam isu Ukraina. Lewat pertemuan nanti, ketegangan di Eropa itu diharapkan mereda.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Rusia setuju untuk bertemu dengan para anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Eropa pada Januari 2022. Selain membicarakan pengendalian senjata, pertemuan itu juga akan membahas masalah Ukraina dan sejumlah masalah pertahanan Eropa. Persetujuan untuk menggelar pertemuan itu terungkap di tengah peningkatan perang mulut di antara Moskwa dan sejumlah negara lain soal Ukraina.
Seorang pejabat Gedung Putih membenarkan adanya rencana rangkaian pertemuan pada 10-13 Januari 2022 itu. ”Amerika Serikat ingin segera berkomunikasi dengan Rusia. Dalam pertemuan, Rusia bisa memaparkan masalahnya dan kami juga akan memaparkan kerisauan terhadap aktivitas Rusia,” ujar pejabat yang menolak identitasnya diungkap itu, Senin (27/12/2021), di Washington DC.
Delegasi Moskwa dan Washington akan bertemu pada 10 Januari 2022. Pada 12 Januari, giliran perwakilan anggota NATO akan bertemu. Adapun pada 13 Januari 2021, AS dalam kapasitas sebagai anggota Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) dan anggota lain di OSCE akan kembali bertemu.
Lokasi dan komposisi delegasi pertemuan belum disepakati. Sejauh ini disebutkan bahwa pertemuan akan digelar di salah satu kota di Eropa. Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg sudah mengisyaratkan kesediaan bertemu dengan Rusia untuk membahas aneka isu pertahanan dan keamanan Eropa.
Khusus untuk pertemuan bilateral AS-Moskwa, pembicaraan disebut sebagai tindak lanjut Dialog Keamanan Strategis yang disepakati Presiden AS Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Juni 2021. Lewat rangkaian pertemuan itu, terutama akan dibahas kesepakatan pengendalian senjata hingga isu Ukraina. Bahkan, agenda utama pertemuan NATO-OSCE dengan Moskwa disebut akan fokus membahas isu Ukraina.
Provokasi
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin mengatakan, NATO terus memprovokasi Rusia. Ia mencontohkan, Inggris yang merupakan anggota NATO mengerahkan kapal perusak ke dekat Semenanjung Krimea pada Juni 2021. Pesawat intai AS mengiringi kapal Inggris itu.
Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 1.200 penerbangan pengintaian anggota NATO beroperasi di sekitar Laut Hitam. Adapun sepanjang 2021, ada 30 kali pelayaran anggota NATO ke Laut Hitam. Ada pula 20 kali latihan perang dekat perbatasan Rusia. ”Mereka terus meningkatkan kehadiran di dekat kami,” ujar Fomin kepada kantor berita Rusia, TASS.
Ia juga menyoroti fakta perbatasan NATO sudah maju lebih dari 1.000 kilometer ke arah timur dan semakin mendekati Rusia. Hal itu terjadi setelah negara-negara yang dulu dikenal sebagai satelit Uni Soviet memilih bergabung dengan NATO setelah Uni Soviet bubar pada 1991. Di negara-negara itu, NATO menempatkan aneka persenjataan dan puluhan ribu tentara.
Putin dan sejumlah pejabat Rusia berulang kali meminta NATO menghentikan ekspansi ke Timur. Bahkan, Putin meminta jaminan yang mengikat secara hukum soal penghentian ekspansi itu. Sejauh ini, NATO menolak menghentikan penambahan anggota ke negara-negara di sekitar Rusia.
Dalam berbagai kesempatan, Stoltenberg malah mengatakan bahwa setiap negara berhak menentukan akan menjadi anggota NATO atau tidak. NATO dan calon anggotanya tidak akan memikirkan kerisauan Rusia.
Pada 17 Desember 2021, Moskwa telah mengusulkan rancangan kesepakatan dengan NATO soal jaminan keamanan itu. Sampai sekarang, belum ada tanggapan NATO dan anggotanya atas proposal Rusia itu.
Isu Ukraina
Dalam proposal itu, Moskwa, antara lain, meminta NATO tidak menerima permohonan keanggotaan Kiev. Seorang pejabat Dewan Pertahanan Nasional AS menyebut, kepentingan Ukraina tidak akan diabaikan demi mencapai kesepakatan dengan AS.
Biden dinyatakan konsisten terus mendukung Ukraina, eks bagian Uni Soviet yang terus berusaha mendekat ke NATO. Strategi AS soal Ukraina disebutkan fokus pada penggentaran dan diplomasi. AS dan sekutunya siap menjatuhkan sanksi berat kepada Moskwa jika Rusia sampai menyerbu Ukraina.
Janji sejenis sudah bolak-balik dinyatakan walau tidak kunjung diwujudkan. Pada 2014, Moskwa merebut kembali Semenanjung Krimea dari Kiev. Kala Uni Soviet dipimpin Nikita Khrushchev, semenanjung itu dijadikan wilayah Ukraina. Waktu itu, Ukraina masih menjadi bagian Uni Soviet dan Khrushchev merupakan politisi asal Ukraina. Setelah Uni Soviet bubar, Rusia dan Ukraina berdiri sendiri.
Sejak lama, Moskwa menginginkan Semenanjung Krimea dikembalikan. Di bawah Putin, Moskwa akhirnya mengambil lagi semenanjung tersebut. Kala itu, AS dan sekutunya mengancam menjatuhkan sejumlah sanksi. Bentuk sanksinya termasuk larangan mengakses sistem pengolah transaksi internasional.
Menyikapi ancaman itu, Moskwa menyebutnya sebagai deklarasi perang dan siap membalas. Selepas ada tanggapan balik Moskwa, sampai sekarang tidak ada sanksi yang benar-benar memberatkan Moskwa terkait dengan Krimea. Bahkan, Presiden AS Joe Biden mengizinkan pencabutan sanksi kepada pihak-pihak terkait proyek pipa gas Nord Stream 2. Pencabutan itu memungkinkan proyek pipa gas dari Rusia ke Jerman melalui Laut Utara bisa berlanjut.
Restu AS menimbulkan kerugian besar terhadap Ukraina. Nord Stream 2 memungkinkan Moskwa mengalirkan gas ke Berlin tanpa harus melewati jaringan pipa yang sebagian membentang di Ukraina. Jika pipa gas itu tidak dipakai, Kiev tidak mendapat jatah distribusi bernilai puluhan juta dollar AS per tahun.
Ukraina mendapat pukulan kedua selepas telepon Biden dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pekan lalu. Sejumlah pejabat AS menyebut Biden meminta Zelensky memberikan otonomi luas kepada Donbas. Selama bertahun-tahun, milisi Donbas yang disebut disokong Rusia terus-menerus menentang Kiev. (AFP/REUTERS)