AS Pilih Sanksi, Israel Ingin Agresi
Amerika Serikat memilih menjatuhkan sanksi kepada Iran. Sementara Israel ingin melancarkan serangan militer. Dinamika terus berkembang. Semua menunggu hasil perundingan nuklir Iran pekan depan di Vienna, Austria.
JERUSALEM, KAMIS - Amerika Serikat mengisyaratkan penolakan serangan militer terhadap Iran. Washington lebih memilih sanksi bersama oleh komunitas internasional. Harapannya, Iran tak meneruskan program pengayaan uranium yang dapat berujung pada produksi bom nuklir.
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan mengungkapkan isyarat itu setelah bersua dengan beberapa pejabat Israel di Jerusalem, Rabu (22/12/2021). Kepada pejabat itu, Sullivan menekankan AS tetap meyakini diplomasi dan tekanan merupakan cara terbaik mencegah Iran memiliki senjata nuklir.
Baca juga Antisipasi Serangan Israel, Iran Mulai Latihan Militer Besar-besaran
”Kami membahas cara untuk memastikan komunitas internasional tetap bersama-sama menjaga tekanan yang membuat Iran mematuhi kewajiban sesuai kesepakatan 2015. Tentang caranya, saya pikir sebaiknya tetap menjadi bagian pembicaraan tertutup antara AS dan Israel,” kata dia.
AS-Israel, kata Sullivan, butuh strategi bersama dalam menghadapi Iran. Lawatannya ke Israel adalah untuk membahas kerangka waktu tentang upaya diplomasi soal nuklir Iran. ”Kami tidak membahasnya di depan umum. Saya bisa mengatakan kami membahas kerangka waktu. Dan jangkanya tidak lama,” katanya.
Pernyataan Sullivan soal diplomasi sebagai prioritas kembali menunjukkan keberatan AS atas opsi militer terhadap Iran yang direncanakan Israel. Dalam laporan pada 10 Desember 2021, koran The New York Times memberitakan bahwa AS keberatan dengan serangan Israel terhadap sejumlah fasilitas militer dan nuklir Iran pada Juni dan September 2021.
Pada 13 Desember 2021, mantan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga pernah mengatakan bahwa Presiden AS Joe Biden menolak opsi militer terhadap Iran. Oleh karena itu, Netanyahu mengecam keputusan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett yang senantiasa mengabari AS soal rencana serangan terhadap Iran.
Baca juga Israel Siapkan Rencana B untuk Iran
Mantan Direktur Intelijen Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Mayor Jenderal (Purn) Amos Yadlin, juga menyebutkan AS tidak berminat menyerang Iran. Salah satu pilot yang terlibat dalam Operasi Opera, serangan udara Israel yang menghancurkan reaktor Osirak di Irak pada Juni 1981 itu, mengatakan, keengganan menjadi salah satu penyebab AS tidak meminjamkan tanker udara yang dibutuhkan jika Israel melancarkan serangan udara terhadap reaktor-reaktor Iran. ”AS tidak punya keinginan menyerang Iran,” kata Amos sebagaimana dikutip Times of Israel dan Jerusalem Post.
Sullivan ke Israel selepas putaran ketujuh perundingan untuk menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran. Para pihak dalam kesepakatan Joint Comprehensive Action Plan on Action (JCPOA) yang dicapai pada 2015 itu berusaha menghidupkan kesepakatan yang mati suri sejak Mei 2018. Mati suri karena di bawah Presiden Donald Trump, AS keluar dari JCPOA serta kembali menerapkan sanksi terhadap Iran. Sejak itu Iran pun mengurangi berbagai komitmen yang dicapai lewat JCPOA.
Perundingan putaran kedelapan direncanakan kembali berlangsung di Vienna, Austria, Senin (27/12/2021). ”Komisi Bersama JCPOA akan bertemu untuk membahas dan menentukan langkah ke depan,” kata anggota perunding Uni Eropa (UE), Enrique Mora.
Sejak rangkaian perundingan berlangsung beberapa bulan lalu di Vienna, berbagai pihak di Israel menentang keinginan Biden untuk menghidupkan lagi JCPOA. Tujuan penolakan adalah agar Israel bisa segera menyerang Iran. Bennet dan berbagai pejabat Israel secara terbuka mengungkapkan keinginan menyerang agar Iran tak mampu membuat bom nuklir.
Panglima Angkatan Bersenjata Israel (IDF) Letnan Jenderal Aviv Kochavi mengatakan, mayoritas sumber daya IDF telah dialokasikan untuk persiapan serangan terhadap Iran. Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz juga telah mengumumkan bahwa IDF telah diminta bersiap pada kemungkinan menyerang Israel. Kepala Badan Intelijen Israel (Mossad) David Barnea juga mengatakan, Israel harus melakukan apa pun untuk mencegah Iran membuat bom nuklir.
Israel harus melakukan apa pun untuk mencegah Iran membuat bom nuklir.
Namun sejumlah mantan pejabat intelijen dan perwira Israel meragukan negaranya bisa menyerang berbagai fasilitas nuklir Iran secara terbuka. “Sangat sulit, bahkan mungkin mustahil, melancarkan serangan ke semua lokasi,” kata Brigadir Jenderal (Purn) Israel Shafir, kepada Jerusalem Post.
Ia salah satu pilot yang terlibat dalam serangan Israel terhadap reaktor nuklir Osirak di Irak pada Juni 1981. Lewat serangan yang disebut Operasi Opera tersebut, Israel menghancurkan satu-satunya reaktor nuklir di dunia Arab kala itu.
Menurut Shafir, kondisi Irak 1981 dan Iran masa kini jauh berbeda. Iran punya banyak fasilitas nuklir dan sebagian berada jauh di bawah permukaan tanah. Sangat sulit melancarkan serangan udara yang bisa menghancurkan berbagai fasilitas itu. Sejauh ini, memang Israel hanya melancarkan berbagai serangan tidak langsung dan tidak pernah benar-benar bisa menghentikan program nuklir Iran.
Shafir berpendapat, ada berbagai penyebab Israel tidak bisa melancarkan serangan terbuka ke berbagai fasilitas nuklir Iran saat ini. Alasan pertama, Iran menyebar berbagai fasilitas nuklirnya di berbagai tempat. Alasan kedua, Israel tidak punya pesawat untuk membawa bom penembus rubahan tempat berbagai fasilitas nuklir Iran dan menyerang seluruh lokasi dalam sekali pukul.
Alasan ketiga, pesawat-pesawat Israel harus terbang lebih dari 2.000 kilometer untuk menjangkau Iran. Hal itu membuat Israel harus memilih membawa sedikit bom demi memastikan pesawat punya cukup bahan bakar untuk penerbangan pulang atau membawa banyak bom dengan risiko pesawat tidak punya cukup bahan bakar untuk penerbangan pulang.
Baca juga AS Gandeng Israel Buka Opsi Serang Iran
Israel memang telah memesan tanker udara KC-46 dari Boeing dengan kontrak 2,4 miliar dollar AS. Perusahaan AS itu dipastikan baru bisa menyerahkan sebagai tanker itu kepada Israel paling cepat mulai 2024. Calon Kepala Staf AU Israel, Mayor Jenderal Tomer Bar, mengakui ada penolakan AS untuk menyerahkan dua KC-46 lebih cepat.
Mantan Direktur Mossad, Tamir Pardo, sepakat dengan Yadlin dan Shefir. Pardo mengatakan, kondisi Iran saat ini sama sekali berbeda kala Israel melancarkan Operasi Opera dan Operasi Anggrek. Operasi Anggrek merupakan serangan udara Israel terhadap reaktor nuklir di Damaskus, Suriah pada 2007.
Seperti Shefir, Pardo menyoroti fakta Iran punya banyak reaktor nuklir dan fasilitas pendukungnya. Sementara Irak dan Suriah kala itu hanya punya satu reaktor. Iran pun mengembangkan sendiri kemampuan nuklirnya. Sebaliknya, Irak dan Suriah mengandalkan bantuan negara lain. Reaktor-reaktor Iran pun disebut terus diperkuat dan dilindungi sistem pertahanan udara.
Teheran terus menambah rudal yang ditempatkan di berbagai terowongan tersembunyi untuk melindungi reaktor-reaktor itu juga melancarkan serangan terhadap Israel. Sebagian rudal Iran disebut bisa menjangkau Israel. “Mungkin saja, pesawat-pesawat Israel tidak bisa pulang karena landasan di pangkalannya sudah dihancurkan Iran, “ kata pakar dirgantara Israel, Tal Inbar, kepada Jerusalem Post.
Baca juga F-35 Israel Versus Rudal Shahab-3 Iran
Seperti Shefir, Pardo juga menyebut bahwa pembalasan atas serangan terhadap reaktor Iran tidak hanya akan datang dari Teheran. Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Gaza dipastikan akan menyerang Israel jika sampai ada serbuan terbuka ke fasilitas nuklir Iran.
Dalam berbagai laporan intelijen Israel disebut, Hezbollah punya ribuan pesawat nirawak yang dapat dipakai menyerang Israel. Pesawat-pesawat itu dikembangkan Hezbollah dengan bantuan Iran. Menurut Israel, Iran telah mengembangkan pesawat nirawak sejak 1984 dan kemampuannya semakin canggih. (AFP/REUTERS/RAZ)