Antisipasi Serangan Israel, Iran Mulai Latihan Militer Besar-besaran
Garda Nasional Iran mulai melakukan latihan militer besar-besaran. Mereka bersiaga di tengah kemungkinan serangan atas fasilitas nuklirnya oleh Israel yang didukung Amerika Serikat.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TEHERAN, SELASA — Pasukan paramiliter Garda Revolusi Iran menggelar latihan besar-besaran di wilayah selatan negara itu. Semua divisi dalam Garda Revolusi diturunkan dalam latihan yang digelar selama lima hari mendatang di Selat Hormuz, jalur utama lalu lintas pengiriman 20 persen minyak dunia.
Laporan televisi Pemerintah Iran menyebutkan, Divisi Udara, Pasukan Darat, dan Angkatan Laut ikut serta dalam latihan tersebut. Latihan berlangsung sehari setelah militer Iran melakukan latihan pertahanan udara di dekat fasilitas nuklir Busher, di sebelah selatan Provinsi Busher, Senin (20/12) pagi. Latihan sistem pertahanan udara ini adalah kali kedua setelah latihan yang sama dilakukan di fasilitas nuklir Natanz, Sabtu (4/12/2021).
Latihan tersebut merupakan respona atas meningkatnya ancaman sabotase atau rencana serangan terhadap berbagai fasilitas nuklir Iran oleh Israel. Secara terang-terangan, Israel mengancam akan melakukan tindakan militer untuk menghentikan upaya Iran memiliki kemampuan nuklir yang setara dengan mereka dan juga sekutunya, Amerika Serikat (AS).
Setelah lima bulan terhenti, perundingan nuklir Iran kembali digelar beberapa waktu lalu. Namun, sejauh ini, belum ada titik temu yang berarti sehingga Iran tetap menjalankan program pengayaan uraniumnya.
Mayor Jenderal Gholamali Rashid, salah satu komandan Garda Revolusi Iran, Senin (20/12/2021), bersumpah akan melakukan tindakan militer balasan atas setiap serangan Israel. ”Pasukan Iran akan menyerang dan menghancurkan serangan ke semua pangkalan, pusat, jalur, dan ruang yang digunakan menyerang. Kami tidak akan menunda-nunda,” kata Rashid, dikutip dari kantor berita Mehr.
Dia menilai, setiap ancaman terhadap fasilitas nuklir Iran oleh Israel tidak mungkin terjadi tanpa restu Gedung Putih. Laman harian Yedioth Ahronot pada Rabu (8/12/2021) melansir, Direktur Dinas Intelijen Luar Negeri Israel (Mossad) David Barnea dan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz membawa konsep semi-matang ke Washington DC tentang opsi militer yang disebut ”rencana B” untuk menghancurkan semua instalasi nuklir Iran. Skenario ini disiapkan jika perundingan nuklir Iran di Vienna, Austria, akhir pekan ini, gagal mencapai kesepakatan baru.
Situasi sekarang tidak terlepas dari hasil perundingan program nuklir Iran yang belum menunjukkan kemajuan signifikan. Perundingan putaran ketujuh yang baru berakhir beberapa hari lalu, meski dinilai menunjukkan titik terang oleh sejumlah anggota tim perunding, masih jauh dari yang diharapkan oleh banyak pihak, termasuk penghentian program pengayaan uranium oleh Iran.
Mikhail Ulyanov, salah satu fasilitator perundingan asal Rusia, mengatakan, ada titik temu jelang berakhirnya perundingan tidak langsung tersebut. Kedua belah pihak sepakat membuat rancangan kesepakatan baru dengan memasukkan elemen dari rancangan pada putaran keenam dan proposal baru Pemerintah Iran. Jika disepakati oleh Iran, China, Rusia, Perancis, Jerman, dan Inggris, serta AS, rancangan baru ini akan jadi dasar untuk melangkah lebih jauh dalam perundingan putaran berikutnya.
Wakil Presiden Iran Mohammad Dehqan, dikutip dari kantor berita Iran, IRNA, mengatakan, Iran selalu melaksanakan komitmen yang tertera di dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama 2015. Iran tidak pernah meninggalkan meja negosiasi, sebuah sikap yang berbeda ditunjukkan AS dan Donald Trump. ”Kami mencoba meredakan kekhawatiran internasional. Dan, hal itu juga tecermin dari sikap kami sekarang,” kata Dehqan.
Dia mengingatkan agar fasilitator perundingan tidak selalu memandang perundingan dari persepektif AS semata. Perundingan juga mesti bersimpati serta empati kepada rakyat Iran. Dalam pandangan Dehqan, selama ini para perunding Eropa tidak bereaksi cukup keras terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan AS.
”JCPOA adalah dokumen internasional yang telah disetujui di DK PBB. Namun, Eropa hanya menjadi pengamat dari perilaku Amerika yang melanggar JCPOA. Sejarah tidak akan menilai secara positif perilaku orang Eropa,” katanya.
Sementara itu, penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, dijadwalkan berkunjung ke Israel pekan ini. Selain bertemu dengan sejumlah pejabat Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas, Sullivan diyakini akan bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi pemerintah dan militer Israel untuk membahas soal Iran.
Seorang pejabat senior pemerintah AS, yang berbicara kepada wartawan dengan syarat anonim, mengatakan, Sullivan dan sejumlah pejabat keamanan akan bebicara tentang program nuklir Iran dan melihat alur waktu yang sudah berjalan. ”Pertemuan itu akan menjadi kesempatan bagi kami berbicara langsung, berdiskusi soal kerangka waktu program pengayaan nuklir Iran. Kemungkinan akan ditekankan bahwa kita tidak memiliki banyak waktu lagi,” kata pejabat tersebut.
Israel dan AS percaya bahwa berlarut-larutnya perundingan program nuklir Iran dimanfaatkan oleh pemerintah Ebrahim Raisi untuk memperkaya uranium mereka dan berujung pada kemampuan negara itu memiliki persenjataan nuklir. AS dan Israel berjalan beriringan, sepenuhnya sepakat dengan pandangan bahwa Iran tidak boleh memiliki kemampuan nuklir. Iran sendiri membantah bahwa program pengayaan itu akan membawanya sebagai negara nuklir kedua setelah Israel. (AP/Reuters)