Gonjang-ganjing Kembali Kerja di Kantor
Detak jantung perekonomian yang mulai kembali berdenyut membuat manajemen berkeinginan mengisi ruang kantor yang kosong nyaris dua tahun akibat pandemi Covid-19. Tetapi, tak semua perusahaan berpikiran sama.
Memasuki semester II-2021, berbagai perusahaan di banyak negara mulai berencana menerapkan kembali pola kerja di kantor setelah hampir dua tahun menerapkan pola kerja dari rumah. Hal ini seiring mulai terkendalinya Covid-19 dan meningkatnya tingkat vaksinasi. Lagi pula, bagi hampir semua perusahaan, kerja di kantor lebih efektif dan produktif dibandingkan dengan kerja dari rumah.
Namun, memasuki awal triwulan IV-2021, sejumlah negara mengalami peningkatan kasus Covid-19 lagi. Varian Omicron yang muncul belakangan ikut mendorong lonjakan kasus. Dengan demikian, perusahaan mengevaluasi lagi rencana tersebut. Ketidakpastian soal Covid-19 yang masih membayangi membuat setiap perusahaan terus mencari pola-pola kerja baru yang aman sekaligus produktif.
”Omicron menyadarkan saya bahwa kehidupan kerja tidak akan pernah kembali seperti sebelum Covid-19,” kata Presiden Creative Civilization Gisela Girard.
Baca juga : Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Girard mengatakan, semua karyawannya yang berjumlah 12 orang bekerja dari rumah sejak pandemi dimulai, Maret 2020. Creative Civilization adalah perusahaan biro iklan yang berbasis di kota San Antonio, Texas, Amerika Serikat.
Musim panas lalu, Girard berencana menerapkan kembali pola kerja di kantor yang dijadwalkan mulai musim gugur. Namun, varian Delta membuyarkan rencana itu. Jadwal pola kerja dari kantor pun ia mundurkan.
Belakangan kemunculan varian Omicron membuat Girard berpikir ulang lagi. Ini tidak sekadar soal kehadiran karyawan di kantor, tetapi juga kegiatan operasional kantor yang memakan anggaran cukup besar. Namun, faktor paling mendasar dalam pengambilan keputusan Girard adalah soal keamanan dan kenyamanan klien. ”Saya menyadari bahwa kerja dari rumah kemungkinan akan membuat karyawan dan keluarga mereka serta klien kami tetap aman,” katanya.
Evaluasi terhadap rencana menerapkan kembali pola kerja di kantor tidak hanya terjadi pada perusahaan dengan jumlah karyawan yang sedikit. Perusahaan dengan jumlah karyawan banyak pun berpikir ulang tentang hal yang sama. Sebut saja Google Alphabet, Ford Motor, Meta, dan Lyft.
Manajemen Meta, Selasa pekan lalu, mengumumkan penundaan kehadiran para pegawainya secara fisik di kantor sekalipun kegiatan operasional kantor akan diaktifkan mulai Januari 2022. Para pekerja diberi keleluasaan untuk menunda kehadiran setidaknya hingga pertengahan tahun depan. Wakil Presiden Sumber Daya Manusia Meta Janelle Gale mengatakan, masih banyak pekerja belum siap kembali ke kantor.
Baca juga : Pilih WFH dan WFO?
Sementara Lyft memutuskan tidak akan mewajibkan pekerja untuk kembali ke kantor hingga sepanjang 2022 meski kantor akan aktif kembali pada Februari 2022. Menurut manajemen Lyft, Omicron tidak menjadi landasan utama keluarnya keputusan itu. ”Kami mendapat masukan dari anggota tim, para pegawai, soal penghargaan atas fleksibilitas kerja tetap berlanjut dan hal itu akan menguntungkan,” kata juru bicara Lyft, Ashley Adams.
Keputusan sejumlah perusahaan besar menunda penerapan pola kerja di kantor atau mengembalikan ritme operasinya seperti sebelum pandemi adalah indikasi terbaru sulitnya memutar jarum waktu ke belakang. Ini terutama karena kekhawatiran munculnya lonjakan baru infeksi akibat varian Omicron.
”Pandemi telah mengajarkan bahwa perusahaan dan pengusaha harus lincah,” kata Jeff Levin-Scherz, pemimpin Willis Towers Watson, sebuah perusahaan penasihat global.
Survei oleh Ipsos, mengutip laman Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), menemukan bahwa banyak karyawan menginginkan kerja lebih fleksibel pascapandemi. Dari 12.500 responden yang tersebar di 29 negara, 66 persen responden alias mayoritas menginginkan fleksibilitas lokasi kerja. Sebanyak 30 persen responden menyatakan akan mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan lain jika dipaksa bekerja di kantor secara penuh.
Mayoritas responden yang menginginkan fleksibilitas waktu dan lokasi kerja, menurut survei itu, berasal dari kelompok perempuan, orangtua dengan anak usia sekolah, dan orang dewasa berusia di bawah 35 tahun. Kelompok pekerja yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan tinggi juga menyatakan pendapat sama.
Persentase kelompok pekerja yang menuntut fleksibilitas relatif sama antara pekerja yang berstatus orangtua dengan anak berusia di bawah 17 tahun (68 persen) dan yang tidak memiliki anak (63 persen). Namun, tidak semua orang menginginkan selalu bekerja dari rumah.
Baca juga : Haruskah Pekerja Kembali ”Work from Office”?
Masih merujuk survei Ipsos, seperempat orang ingin bekerja di kantor lima hari seminggu segera setelah pandemi berakhir. Responden asal Meksiko menjadi pendukung terbesar, 40 persen. Disusul Afrika Selatan, Arab Saudi, Peru, India, dan AS dengan persentase 33 persen.
Namun, bagi mereka yang memilih kerja fleksibel, mayoritas menginginkan waktu kerja di rumah sebanyak 2,5 hari per pekan. Sementara responden asal China, Belgia, dan Perancis hanya menginginkan waktu kerja di rumah sebanyak 1,9 hari per pekan. Responden India paling antusias bekerja di rumah. Mereka menginginkan 3,4 hari kerja di rumah per pekan.
Namun, waktu kerja yang lebih fleksibel juga diduga menjadi penyebab kelelahan bagi sebagian pekerja. Dikutip dari laman CNBC, survei yang dilakukan sebuah situs karier, Indeed.com, menyebutkan, hampir 70 persen dari sekitar 1.500 pekerja yang disurvei mengalami kelelahan di masa pandemi. Angka ini melonjak dari semula 43 persen pada survei yang dilakukan sebelum pandemi.
Sebanyak 53 persen responden mengatakan, kelelahan terjadi akibat jam kerja yang lebih panjang di saat pandemi. Hasil survei ini mematahkan mitos bahwa karyawan yang mengerjakan pekerjaan kantor di rumah menjadi cenderung malas. Anggapan umum adalah bekerja di kantor lebih produktif.
Baca juga : Pandemi Sadarkan Eksekutif Perusahaan akan Makin Pentingnya Hidup Seimbang
Tantangan bekerja dari rumah adalah kesulitan membagi waktu antara pekerjaan kantor dan kegiatan rumah tangga. Ini terutama dialami oleh karyawan yang memiliki anak.
Jennifer Moss, penulis buku The Burnout Epidemic: The Rise of Chronic Stress and How We Can Fix It, mengatakan, dunia sudah berhadapan dengan dunia kerja masa depan. ”Kita memerlukan sebuah aturan baru agar bisa berhadapan dan beradaptasi dengan situasi itu,” kata Moss, dikutip dari laman CNBC.
Banyak pihak mengakui bahwa situasi tidak mudah. Kebijakan perusahaan yang menunda karyawannya kembali ke kantor pada sisi lain berdampak terhadap para pengusaha kecil yang menggantungkan pendapatannya pada kegiatan operasional perkantoran. Contohnya antara lain restoran, warung, dan usaha sejenis.
Bagi yang sudah memutuskan membawa pegawainya kembali ke kantor, manajemen lebih sulit mengubah keputusannya. Yang diperlukan adalah pertimbangan baru dan langkah keamanan baru.
Baca juga : Pascakarantina Orang Tersadar, Pergi-Pulang ke Kantor Ternyata Sehatkan Jiwa
Kent Swig, Presiden Swig Equities LLC, mengatakan, semua karyawannya bekerja secara kombinasi, dari rumah dan di kantor, sejak musim gugur 2020. Pada Mei lalu, setelah semua divaksin, para pekerja perusahaan investasi dan pengembangan real estat di Manhattan, New York, itu kembali bekerja di kantor lima hari dalam sepekan.
Kehadiran Omicron membuat Swig memantau dengan cermat situasi pandemi terbaru di AS, khususnya di New York. Dia juga mempertimbangkan mewajibkan masker dan bahkan tes PCR beberapa kali sepekan jika ancamannya meningkat. Jika situasi memburuk, Swig berencana untuk kembali membolehkan para pegawainya bekerja dari rumah. ”Pekerjaan pertama dan terpenting saya adalah melindungi semua staf saya,” kata Swig.
CEO Target Brian Cornell mengatakan, mereka menghindari menetapkan tanggal definitif kembalinya pekerja ke markas mereka di Minneapolis, Minnesota. ”Kami akan belajar sepanjang jalan dan memastikan kami membuat langkah yang tepat untuk tim kami,” kata Cornell.
Sementara Google menunda tanpa batas waktu kewajiban para pegawainya hadir secara fisik ke kantor mereka. Ford menunda rencana kembali ke pola kerja di markas mereka di Dearborn, Michigan. Ini setidaknya berlaku hingga Maret 2022. Namun, pada Februari, perusahaan akan melakukan uji coba bekerja di kantor untuk sejumlah kecil karyawan.
Baca juga : Sayangi Badan, Jangan Kerja Berlebihan
Lawrence Gostin, pakar kesehatan masyarakat pada Universitas Georgetown, mengatakan, belum ada cukup informasi ilmiah tentang Omicron yang membuat perusahaan menunda rencana aktivasi kantor-kantor mereka. Hal yang harus dilakukan saat ini adalah memberlakukan protokol kesehatan secara ketat.
Di antaranya adalah kewajiban penggunaan masker dan vaksinasi. Adanya ventilasi untuk mencegah penyebaran virus di tempat kerja juga menjadi protokol yang vital. (AP)