Pascakarantina Orang Tersadar, Pergi-Pulang ke Kantor Ternyata Sehatkan Jiwa
Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, menjadi komuter pergi-pulang pagi-sore untuk bekerja terasa melelahkan. Setelah menjalani karantina dan bekerja dari rumah, banyak orang merindukan lagi suasana itu.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sejak awal Mei lalu, sejumlah negara sudah melonggarkan—bahkan ada yang mencabut—kebijakan karantina dengan alasan utama ekonomi. Indonesia baru dalam tahap berencana melonggarkan kebijakan pembatasan sosial. Meski baru rencana, lalu lintas jalan dan tempat-tempat publik di Tanah Air sudah kembali padat.
Pemandangan jalan raya yang macet dan transportasi umum, seperti kereta, yang padat juga terjadi di banyak negara, seperti Inggris, Rusia, Malaysia, Spanyol, dan Australia. Praktik imbauan menjaga jarak fisik seakan terlupa.
Begitu aturan karantina dicabut setelah berlaku selama enam pekan, ribuan komuter di Kuala Lumpur, Malaysia, memadati angkutan umum pada jam-jam sibuk. Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengizinkan usaha buka lagi untuk memulihkan perekonomian yang loyo dan merugi hingga minimal 14,52 miliar dollar AS sejak karantina berlaku pada 18 Maret lalu.
”Lihat saja, lalu lintas macet parah lagi. Semua orang keluar rumah lagi. Alasannya karena harus bekerja,” kata Raja Muizuddin (29), karyawan pelayanan konsumen di Malaysia.
Situasi serupa juga terjadi di Moskwa, Rusia, yang berpenduduk 12 juta jiwa. Presiden Rusia Vladimir Putin menekankan pentingnya pemulihan ekonomi. Sekitar setengah juta pekerja bangunan dan pabrik sudah boleh bekerja lagi, Selasa lalu, setelah karantina sejak akhir Maret. Padahal, Rusia termasuk negara kedua terbanyak kasus korona setelah Amerika Serikat, yakni 232.000 kasus positif Covid-19 dan 2.116 kematian. Secara resmi kebijakan karantina di Moskwa seharusnya baru berakhir 31 Mei, tetapi sudah banyak yang tidak sabar.
Natalia Goronok (48), karyawan bank, mengaku sudah tak sabar ingin bekerja lagi meski setiap hari harus menjadi komuter pergi-pulang antara kantor dan rumah dengan transportasi umum kereta. ”Seram juga, sih, mengingat kasusnya tambah terus. Tetapi harus bagaimana lagi, orang kan harus tetap hidup,” ujarnya.
Arthur Magomedov (34) juga tak punya pilihan lain selain harus keluar rumah dan bekerja. Ia kini sedang melamar pekerjaan sebagai sopir setelah enam pekan menganggur karena dipecat gara-gara wabah korona. ”Saya paham kesehatan itu yang terpenting. Tetapi, saya sudah tidak bisa sabar untuk bekerja lagi,” ujarnya.
Kangen komuter
Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, menjadi komuter pergi-pulang pagi-sore untuk bekerja terasa melelahkan. Seperti yang dialami Meg Loughney, warga New York, AS. Ia mengaku stres setiap hari menjadi komuter dan butuh waktu 1 jam ke kantor di Wall Street dari rumahnya di Astoria, Queens. Prosesnya panjang, ia harus naik bus, lalu berlanjut naik kereta bawah tanah dan jalan kaki 15 menit.
Kini, setelah beberapa pekan bekerja di rumah, Loughney mengaku kangen dengan kesehariannya itu. Bekerja di rumah ternyata justru menambah tingkat stres karena malah seperti tidak ada waktu untuk istirahat.
”Sepanjang hari seperti harus kerja. Kerja, makan malam, kerja, menidurkan anak. Seperti menyambung terus waktunya. Ritual berangkat pulang kerja ternyata membuat pemisahan mental dan pikiran,” kata Loughney kepada BBC, Rabu lalu.
Pengamat perilaku organisasi di Harvard Business School, Jon Jachimowicz, menjelaskan bahwa saat bekerja di rumah, orang menjadi sulit memisahkan antara waktu bekerja dan waktu khusus untuk urusan rumah. Dalam studi terbaru Jachimowicz disebutkan bahwa perjalanan rumah-kantor pergi pulang memberikan kesempatan waktu dan ruang khusus bagi orang untuk memikirkan serta mengatur apa saja yang terkait dengan pekerjaannya.
”Tidak mudah begitu saja mengubah peran dan mental bekerja profesional dan bekerja untuk urusan rumah. Pasti akan rancu. Kalau rancu, dua-duanya tidak akan bagus hasilnya,” kata Jachimowicz.
Bahkan, saat menjadi komuter, orang malah bisa menjadi semakin kreatif meski dalam kondisi terimpit di dalam bus atau kereta yang padat. Setiap hari orang kira-kira membutuhkan waktu rata-rata 38 menit sekali jalan untuk bekerja.
Manoush Zomorodi, penulis buku Bored and Brilliant: How Spacing Out Can Unlock Your Most Productive and Creative Self, menyebutkan bahwa dalam perjalanan itu orang bisa mengaktifkan jaringan di otak yang menghasilkan pemikiran ide baru, bahkan juga bisa memecahkan masalah.
”Ada proses memikirkan apa yang telah terjadi dan solusi untuk membuatnya lebih baik. Itu terjadi saat pikiran kita sedang ke mana-mana dan waktu yang ’in-between’ itu sangat penting,” ujar Zomorodi.
Adaptasi
Jennifer Wittert, psikolog klinis di California, AS, mengaku lebih bersemangat bekerja sebelum karantina meski ia dulu setiap hari harus naik mobil selama 75 menit ke kantor karena kemacetan yang parah. Ia kangen sarapan di dalam mobil sambil mendengarkan musik sambil sesekali membaca pesan dan menerima telepon. Kini, ia malah merasa tiba-tiba kehilangan kendali dan tidak tahu harus apa.
Loughney juga merasa hilangnya kebiasaan menjadi komuter itu merampas sesuatu yang sebelumnya dia tidak sadari. Ada keseruan ”drama” yang hilang dari hidupnya. Drama bergulat dengan para komuter lain.
”Tiba-tiba sebagian dari dirimu hilang. Kebiasaan bangun lagi, bergulat di antara banyak orang, dan menangani urusan ini itu,” ujar Loughney.
Karena tidak sedang menjadi komuter, banyak orang yang mencari cara supaya pikiran dan mentalnya merasa seperti sedang bekerja di kantor. Seperti Jachimowicz, misalnya, yang merasa terbantu dengan selalu mengenakan pakaian kerja saat bekerja di rumah. Ketika sudah selesai bekerja pada sore hari, ia kembali mengenakan pakaian rumah.
”Saya rasa, orang kehilangan kebiasaannya saja. Dan menjadi komuter itu kebiasaan rutin setiap hari. Orang perlu mencari kebiasaan lain yang bisa menggantikan hal itu,” kata Zomorodi. (AFP)