Bekerja secara berlebihan, sampai 55 jam atau lebih dalam seminggu, meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung yang berujung pada kematian. Pada masa pandemi Covid-19, tren ini dikhawatirkan akan meningkat.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Bekerja berlebihan selama berjam-jam, sampai 55 jam atau lebih per minggu, barangkali bisa membuat kita sejahtera, tetapi ternyata efeknya malah mematikan. Bekerja berlebihan membunuh tiga perempat juta orang di dunia setiap tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Perserikatan Bangsa-Bangsa khawatir ”tren” ini akan semakin parah di masa pandemi Covid-19.
Studi global pertama mengenai hubungan antara kematian dan lama waktu bekerja antara WHO dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang dimuat dalam jurnal Environment International, 17 Mei lalu, menunjukkan pada tahun 2016 terdapat 745.000 orang tewas akibat stroke dan penyakit jantung karena bekerja dalam waktu lama. Jumlah ini meningkat sekitar 30 persen dari tahun 2000.
”Bekerja selama 55 jam atau lebih per minggu mengancam kesehatan. Informasi terbaru ini diharapkan bisa lebih melindungi para pekerja,” kata Direktur Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Kesehatan di WHO Maria Neira.
Studi itu menunjukkan mayoritas korban tewas (72 persen) adalah laki-laki dan berusia paruh baya atau lebih tua. Namun, sering kali kematian bisa terjadi di kemudian hari, terkadang sampai beberapa dekade kemudian. Hasil studi itu juga menunjukkan orang yang tinggal di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat, seperti China, Jepang, dan Australia, termasuk yang paling rentan terancam kesehatannya karena bekerja paling lama. Sebaliknya, orang di Eropa jam kerjanya paling pendek.
Tim peneliti menduga orang di Asia Tenggara dan Pasifik Barat kemungkinan bekerja lebih lama karena alasan budaya. Selain itu, banyak orang di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah di Asia bekerja di sektor informal. Mereka yang bekerja di sektor informal mau tak mau harus bekerja lebih keras dan lebih lama agar bisa bertahan hidup. Bahkan, banyak yang harus bekerja lebih dari satu pekerjaan yang tidak mendapat jaminan perlindungan sosial.
Secara keseluruhan, hasil studi dari data yang dikumpulkan di 194 negara itu menyebutkan bekerja selama 55 jam atau lebih per minggu meningkatkan risiko stroke 35 persen lebih tinggi dan risiko kematian akibat penyakit jantung 17 persen lebih tinggi dibandingkan jika ”hanya” bekerja selama 35-40 jam seminggu. Studi ini dilakukan selama periode tahun 2000-2016 saat pandemi Covid-19 belum terjadi. WHO khawatir dengan tren bekerja dari rumah semasa pandemi ini justru akan memperparah risiko pada kesehatan.
Semasa pandemi, orang justru tanpa sadar bekerja jauh lebih lama ketimbang biasanya. WHO memperkirakan sedikitnya 9 persen orang di dunia bekerja selama berjam-jam tanpa henti. Ketua tim penulis studi itu di WHO, Frank Pega, mengatakan pembatasan jam kerja akan membantu baik pekerja maupun para pemberi kerja karena produktivitas kerja justru akan meningkat. ”Apalagi di saat krisis ekonomi seperti sekarang, bijaknya jangan bekerja selama berjam-jam,” ujarnya.
Tak sadar
Lisa Choi (53), warga Seattle, Amerika Serikat, seperti dikutip BBC, 19 Mei lalu, mengaku mengabaikan gejala-gejala awal serangan jantung. Pasalnya, ia merasa tidak mungkin mendapat serangan jantung karena tubuhnya dalam kondisi bugar, lebih banyak makan sayur-sayuran, kerap bersepeda, dan tidak makan makanan yang berlemah tinggi. Hanya saja, analis bisnis itu bekerja selama 60 jam per minggu, bahkan masih juga bekerja di malam hari dan akhir pekan.
Setiap hari Choi dikejar banyak pekerjaan dengan tenggat yang mepet dan mengelola proyek-proyek digital yang kompleks. Beban kerja seperti ini biasa baginya karena ia juga menyadari bekerja di bidang yang tingkat stresnya tinggi. ”Saya terbiasa kerja sangat cepat,” ujarnya.
Sampai kemudian beberapa bulan lalu, Choi tiba-tiba merasa nyeri pada bagian dada. Setelah diperiksa, ternyata ada pembuluh darah yang robek. Ini merupakan ciri dari diseksi arteri koroner spontan, penyakit jantung yang relatif jarang terjadi, tetapi lebih banyak menyerang perempuan dan orang berusia di bawah 50 tahun. Choi seharusnya dioperasi, tetapi ia tak punya waktu karena banyak pekerjaannya yang belum selesai. Padahal, stres dan tekanan darah tinggi akan lebih membahayakan kesehatan Choi.
Faktor penyebab kematian akibat bekerja berlebihan ada dua, yakni stres kronis yang memicu kenaikan tekanan darah dan kolesterol. Kemudian adanya perubahan perilaku. Bekerja berlebihan membuat jam tidur atau jam istirahat berkurang, jarang berolahraga, makan makanan kurang sehat, merokok, dan minum minuman beralkohol.
Sevith Rao, dokter dan pendiri Asosiasi Jantung India, menjelaskan banyak warga Asia Selatan yang sudah berisiko tinggi pada penyakit jantung. Pandemi Covid-19 memperparah kondisi kesehatan karena semakin banyak orang bekerja dari rumah yang mengganggu keseimbangan antara kehidupan bekerja dan kehidupan di luar pekerjaan.
”Pola tidur dan olahraga terganggu sehingga meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung,” ujarnya.
Pega juga menganalisis krisis ekonomi memaksa orang harus bekerja lebih keras karena banyak pekerjaan yang tak terselesaikan akibat banyaknya orang yang dipecat. Pega mendorong perusahaan atau para pemberi pekerjaan dan pemerintah untuk memberlakukan jam kerja yang fleksibel atau membagi pekerjaan dengan lebih bijak supaya hidup lebih seimbang.
”Harus dibuat batasan jam kerja maksimal bagi setiap orang. Perubahan itu sangat bisa dilakukan. Jika kita tidak berubah, kesehatan masyarakat di seluruh dunia kian terancam dan kita tidak mau itu terjadi,” kata Pega. (REUTERS)