Data sungguh berharga. Perusahaan-perusahaan terbesar di dunia kini terdiri dari korporasi yang mampu mengumpulkan dan mengolah data dengan baik, seperti Facebook.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 memaksa banyak warga dunia bekerja dari rumah atau work from home. Pembatasan jumlah orang yang bekerja di kantor membuat rumah-rumah di sejumlah kota, mulai dari New York City hingga Manila, berubah menjadi ”tempat kerja”. Upaya mengurangi interaksi fisik juga mendorong sejumlah negara menerapkan sistem belajar dari rumah. Berjuta-juta siswa di dunia, termasuk di Indonesia, kini harus menjalaninya.
Jaringan internet berkualitas tinggi sekarang sangat dibutuhkan di rumah-rumah. Tanpa sambungan internet memadai, bisa dipastikan penjelasan guru terputus-putus dan rapat melalui televideo tersendat. Siswa bisa mengalami kesulitan memahami materi pelajaran, sedangkan orangtua yang bekerja dari rumah tak dapat mencermati penjelasan bos dengan baik lewat televideo.
Esensi dari keberhasilan belajar atau bekerja dari rumah ialah kelancaran aliran data. Melalui sambungan internet, data terkait banyak hal—suara, gambar, video, informasi internet protocol (IP) address, dan sebagainya—harus mengalir mulus. Akibatnya, kebutuhan akan pusat data (data center) meningkat drastis.
Secara sederhana, pusat data merupakan integrasi banyak peladen (server) yang bertugas melayani kebutuhan pengguna internet. Pusat data umumnya berupa bangunan besar di suatu kompleks yang terdiri atas berbagai media penyimpanan. Google, perusahaan internet raksasa, memiliki banyak pusat data yang tersebar di sejumlah negara. Alibaba, perusahaan asal China, juga memiliki pusat data di banyak negara. Pusat data yang aman, canggih, dan memadai akan membuat layanan terhadap pemakai internet semakin baik.
Apa pun disimpan dalam pusat-pusat data ini. Data pribadi, nomor ponsel, koordinat posisi pengakses aplikasi, dan banyak lainnya disimpan serta diolah di pusat data.
Mengutip sumber yang dekat dengan Pemerintah Jepang, Asia Nikkei menuliskan, Google dan perusahaan teknologi raksasa Amerika Serikat lainnya tengah berupaya membangun pusat data besar baru di Asia. Disebutkan pula, untuk memenuhi kebutuhan layanan online yang meningkat pesat, Google Alphabet, Facebook, Amazon, Microsoft, dan Alibaba berlomba-lomba membangun pusat data guna merebut keuntungan dari transformasi digital di Asia.
Investasi pembangunan pusat data di Asia-Pasifik naik empat kali lipat menjadi 2,2 miliar dollar AS (Rp 32,1 triliun) pada 2020 dibandingkan dengan 2019. Indonesia disebut paling diincar oleh raksasa teknologi dunia, termasuk Alibaba.
Hal itu sejalan dengan keterangan Direktur Bank OCBC NISP Martin Widjaja dalam wawancara dengan Kompas, pekan lalu. Menurut dia, permintaan akan data center sangat besar di Indonesia. Pembangunan yang dilakukan masih sangat kurang dari kebutuhan. Maka, bank itu menaruh perhatian pada prospek pembangunan data center yang didirikan dengan syarat-syarat ketat terkait isu keberlanjutan (sustainability), seperti penggunaan energi baru terbarukan dan pengolahan limbah berstandar tinggi.
Peningkatan akan kebutuhan pusat data menegaskan kembali betapa data merupakan ”komoditas” sangat berharga sekarang dan masa datang. Isu data dan pengolahannya menjadi perhatian utama AS dalam menghadapi persaingan dengan China.
Negara adidaya itu mengharuskan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di AS meminta izin terlebih dahulu penggunaan perlengkapan teknologi ataupun layanan dari China serta negara lain yang dianggap ”musuh”. Hal ini diterapkan mengingat data yang begitu berharga dalam inovasi bisnis dan monetisasi dikhawatirkan diakses oleh negara penghasil produk atau layanan tersebut.
Data sungguh berharga. Perusahaan-perusahaan terbesar di dunia kini terdiri dari korporasi yang mampu mengumpulkan dan mengolah data dengan baik, seperti Facebook. Selamat datang di era data!