Menelisik Jalan Tengah Demokrasi di Tengah Pandemi
Saat kehidupan baik-baik saja, perilaku negara-negara mendukung cara kerja politik demokratik. Namun, saat muncul tantangan, terlebih seberat pandemi, mereka pun ”berpaling”.
Selama beberapa ratus tahun, demokrasi diagung-agungkan sebagai cara terbaik mengelola masyarakat modern. Namun, praktiknya kini diuji kala umat manusia menghadapi tantangan berat: pandemi Covid-19.
Di hadapan serangan virus SARS-CoV-2 yang merajalela, negara-negara yang mengklaim dirinya demokratis, terutama negara kaya di Barat, ”berpaling” dari nilai-nilai demokrasi. Seperti diungkapkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pidato saat membuka Bali Democracy Forum (BDF) Ke-14, Kamis (9/12/2021), pandemi mengungkap kebenaran penting. Negara-negara kaya dengan cepat menimbun vaksin untuk rakyatnya, meninggalkan negara-negara berkembang dan miskin yang kekurangan vaksin.
Peneliti Zurich University, Sarah Engler, termasuk yang menyimpulkan bahwa semua upaya pengendalian pandemi bertentangan dengan hak dasar warga. Hak itu dijamin di Konvensi Internasional pada Hak Politik dan Hak Warga (ICCPR) dan Konvensi HAM Eropa (ECHR). Hak berkumpul, hak bepergian, dan hak menyatakan pendapat dijamin dalam ICCPR, ECHR, dan konvensi lain. Pandemi membatasi semua itu.
Baca juga: Struktur Dunia Timpang, Pemulihan Global Pincang
Untuk mengendalikan penyebaran kabar bohong, berbagai negara membuat peraturan yang berpeluang memberangus kebebasan pers. Padahal, kebebasan pers salah satu prinsip dasar demokrasi.
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Mohtar Mas’oed mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, mayoritas penduduk dunia menderita kemerosotan ekonomi. Sejak Maret 2020, tantangan yang sangat berat menerpa dan menghadapkan umat manusia pada dilema. ”Kepentingan kolektif, yakni kemanusiaan pada umumnya, berhadapan dengan kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. Negara-negara yang selama ini memandang diri sebagai ’kampiun demokrasi’ ternyata tidak pandai menangani persoalan kolektif ini. Contoh buruk paling terkenal adalah AS di bawah presiden sebelum ini,” paparnya.
Bukan terbaik
Demokrasi, lanjut Mohtar, memang bukan cara terbaik untuk menangani persoalan kolektif manusia. Namun, dibandingkan otoritarianisme, keburukannya lebih kecil. Pengalaman selama ratusan tahun menunjukkan, demokrasi memerlukan beberapa prasyarat struktural-material dan kultural.
Misalnya, ketika kehidupan ekonomi masyarakat umumnya membaik dan tidak ada tantangan terlalu berat, perilaku politik mereka bisa mendukung cara kerja politik demokratik. Sebaliknya, ketika kesejahteraan merosot dan tantangan yang dihadapi sangat berat, mereka enggan mendukung demokrasi dan cenderung mencari solusi jangka pendek.
Baca juga: Prinsip Kesetaraan Jaminan Pulih dari Pandemi
”Yang juga menyulitkan posisi para ’pejuang demokrasi’ adalah berkembangnya pandangan umum bahwa yang berhasil meningkatkan kesejahteraan material adalah sistem politik yang tidak demokratis. Ketika sedang membangun ekonominya, negara-negara yang berhasil, seperti China, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, tidak peduli dengan demokrasi,” ungkap Mohtar.
Hari-hari ini, lanjut dia, China mengembangkan citra sebagai demokrasi alternatif yang berhasil menyejahterakan penduduknya. Belum lama ini, China menerbitkan semacam buku putih demokrai ala China. Kementerian Luar Negeri China juga mengungkap kekurangan demokrasi AS.
Dalam pidato yang disampaikan secara virtual di BDF Ke-14, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan, demokrasi Barat dianggap beberapa pihak sebagai satu-satunya jawaban yang benar. Beberapa negara mengambilnya sebagai patokan dan memaksakannya ke seluruh dunia. ”Tidak satu pun dari hal itu demokrasi sejati. Demokrasi adalah nilai kemanusiaan bersama. Demokrasi bukan hak istimewa negara tertentu, tetapi hak setiap orang di semua negara,” kata Wang, dalam transkrip pidato yang ditayangkan di laman Kedutaan Besar China untuk Indonesia.
Akal-akalan
Demokrasi ala China ini bernuansa politis lantaran dirilis bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk Demokrasi yang diinisiasi AS. AS mengumpulkan lebih dari 100 negara dalam forum yang membahas tentang demokrasi. Tentu saja China dan Rusia tidak diundang. Menurut Mohtar, itu hanya ”akal-akalan” geopolitik AS untuk mencari teman melawan China dan Rusia.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengakui, berdasarkan laporan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), kualitas demokrasi negaranya menurun. Karena itu, Summit for Democracy (SfD) yang digelar pemerintahan Biden pada 9-10 Desember dicemooh sejumlah pihak. Apalagi, menurut IDEA dan Freedom House, kualitas demokrasi di sebagian undangan SfD terus menurun.
Baca juga: KTT untuk Demokrasi yang Membingungkan
Pengajar University of Sydney, John Keane, menyebut SfD malah meningkatkan kesinisan orang pada demokrasi. SfD bisa dipandang sebagai cara lain Washington membangun aliansi anti-China alih-alih sebagai upaya mendorong demokrasi.
Bahkan, Anatol Lieven yang bekerja di Quincy Institute for Responsible Statecraft menyebut SfD sebagai wujud terbaru kemunafikan AS. ”Pertemuan ini malah membuat dunia memperhatikan AS mendukung pemerintah otoriter di berbagai penjuru Bumi,” kata peneliti lembaga yang berpusat di Washington DC itu.
Peneliti senior Centre for Policy Research New Delhi, Pratap Bhanu Mehta, mengatakan, satu-satunya yang bisa dilakukan AS untuk merawat demokrasi dunia adalah dengan memberi contoh. Sayangnya, AS kini tidak sedang dalam posisi bisa memberi contoh. Sebagaimana diakui Biden dan dilaporkan IDEA, demokrasi di AS sedang tidak baik-baik saja.
Sebagai salah satu undangan SfD, Indonesia juga bersuara cukup keras. Presiden Joko Widodo secara terbuka menyoroti ketidakdemokratisan tatanan global. ”Saya berharap forum ini bisa dimanfaatkan memperkuat demokrasi di tingkat global untuk menghindari kondisi yang terkuat mengambil semua,” ujarnya seraya menyebut tatanan global kini tidak benar-benar mengakui seluruh negara setara.
Presiden juga mengatakan, demokrasi harus dipandang sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan. Demokrasi bukanlah tujuan akhir.
Banyak forum demokrasi yang digelar rutin setiap tahun untuk membahas tantangan dan memperkuat pelaksanaan demokrasi. Selain BDF, ada World Forum for Democracy yang berlangsung setiap November di Strasbourg, Perancis dan Global Democracy Coalition Forum setiap Desember.
Baca juga: Pemajuan Demokrasi Memerlukan Kerja Sama
Forum semacam itu, dalam pandangan Mohtar, diperlukan untuk menghidupkan semangat dan harapan kolektif tentang demokrasi. Memang, demokrasi bisa berubah. Demokrasi yang kita kenal sekarang bukan yang dikenal di masa lalu. Banyak variasi, tetapi inti sistem demokrasi adalah yang diperintah bisa ikut menentukan siapa yang memerintah dan cara memerintah. ”Setiap kurun waktu menghadirkan tantangan yang berbeda dan memerlukan macam demokrasi yang berbeda. Kita tetap memerlukan demokrasi yang memuat nilai universal tersebut, tetapi perlu didukung nilai setempat,” ujar Mohtar.
Di tengah pandemi, demokrasi harus bisa menemukan jalan tengah pengendalian Covid-19 dan menjaga kebebasan warga. Jika jalan tengah tidak ditemukan, pengendalian pandemi dan penjaminan kebebasan warga sama-sama tidak akan tercapai.
Sementara pengajar Sekolah Diplomasi Global pada Universitas Paramadina, Mahmud Syaltout, menyebut bahwa dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi. Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan. Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal demokrasi membutuhkan keragaman. ”Ini tecermin dari kasus Charlie Hebdo di Perancis. Selama pandemi, seperti kelompok lain, toko-toko milik warga Muslim Perancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor itu.
Sementara di sejumlah negara lain, tekanan ekonomi berujung pada penggulingan pemerintah. Di sejumlah negara, ada kudeta yang antara lain dipicu alasan itu. (AFP/AP/REUTERS)