Pandemi telah menyebabkan pemulihan yang berat sebelah. Negara-negara kaya dengan cepat memvaksinasi rakyatnya dan berinvestasi untuk pemulihan, tetapi negara-negara berkembang ditinggalkan.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Setiap negara mempunyai kesempatan yang sama untuk pulih dari pandemi Covid-19. Prinsip kesetaraan ini harus dijamin demi pemulihan yang lebih cepat di berbagai sektor.
“Dalam demokrasi, kesetaraan adalah soal keadilan. Setiap orang harus memiliki kesempatan setara untuk menang melawan pandemi Covid-19. Untuk itu, kita harus memastikan akses vaksin yang setara bagi semua orang. Jurang kesenjangan vaksinasi saat ini masih sangat lebar,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi saat membuka Bali Democracy Forum (BDF) ke-14 di Nusa Dua, Bali, Kamis (9/12/2021).
Sebanyak 64,94 persen populasi negara kaya telah divaksinasi setidaknya satu dosis. Sementara di negara berpendapatan rendah baru 8,06 persen yang divaksinasi satu dosis.
Selain isu kesetaraan, BDF ke-14 mengangkat tema tentang inkusivitas guna mendukung pemulihan dunia dari pandemi. Tema besar yang diangkat adalah ”Democracy for Humanity: Advancing Economic and Social Injustice during the Pandemic”.
BDF ke-14 diselenggarakan dengan hibrid, diikuti 335 peserta dari 95 negara dan empat organisasi internasional. Turut berpartisipasi secara virtual, antara lain, Menlu Amerika Serikat Antony Blinken, Menlu China Wang Yi, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu, dan Menlu Selandia Baru Nanaia Mahuta.
Retno mengungkapkan, meskipun masih sangat rentan, dunia sudah mulai beranjak pulih. Ekonomi global diperkirakan tumbuh 5,9 persen tahun ini. Banyak negara telah melonggarkan kebijakan pembatasan sosial meski banyak juga negara yang kembali mengetatkan aturan karena munculnya varian Omicron.
”Pola pikir kita harus berubah dari bertahan menjadi pemulihan. Pandemi datang pada saat demokrasi di banyak negara mengalami kemunduran. Menurut laporan Freedom House tahun 2021, kebebasan global menurun dalam 15 tahun terakhir. Sebanyak 75 persen penduduk dunia hidup di bawah negara yang mengalami kemunduran demokrasi tahun lalu,” tutur Retno.
Pandemi memperburuk kemunduran demokrasi tersebut dan memaksa penyelenggara negara mengubah cara menjalankan pemerintahan. Itulah sebabnya, pemerintah harus mencari titik keseimbangan antara menegakkan nilai-nilai demokrasi dan menerapkan peraturan untuk mengatasi pandemi.
Retno menekankan perlunya negara-negar mendorong kebijakan inklusif untuk memastikan pemulihan bagi semua. Dalam demokrasi, menurut dia, inklusivitas berarti partisipasi seluruh rakyat dalam semua aspek tata kelola pemerintah. ”Tidak boleh ada yang tertinggal dalam proses pemulihan. Semua aspirasi harus kita dengarkan sesuai semangat demokrasi,” katanya.
Pemulihan, lanjut Retno, harus dirasakan oleh seluruh rakyat, terutama yang paling rentan dan paling terdampak pandemi, seperti perempuan, anak muda, pekerja informal, penyandang disabilitas, dan masyarakat lokal. ”Demokrasi akan memberi ruang dialog untuk memastikan proses pemulihan yang menyasar tantangan spesifik yang mereka hadapi,” ujarnya.
Dalam pidato pembukaan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan, BDF tahun ini merefleksikan kebenaran penting. Pandemi telah menyebabkan pemulihan yang berat sebelah.
”Pemulihan bagi semua bergantung pada kesetaraan bagi semua. Negara-negara kaya dengan cepat memvaksinasi rakyatnya dan berinvestasi untuk pemulihan, tetapi negara-negara berkembang ditinggalkan. Mereka kekurangan vaksin dan terbelit utang,” kata Guterres.
Komunitas global harus berdiri bersama untuk mendukung negara-negara yang tertinggal. Misalnya dengan memberikan keringanan utang dan menjamin setiap orang di mana pun memperoleh akses vaksin.
”Kesetaraan tidak hanya menjadi urat nadi demokrasi, tetapi juga mesin untuk pemulihan,” katanya.