Embrio-embrio CEO Ditempa di India, Mengorbit ke Kursi Tertinggi di Amerika
Budaya yang membentuk karakter, pendidikan, dan migrasi jadi gabungan faktor deretan sosok yang kemudian menduduki kursi tertinggi berbagai perusahaan global. Ada potret ketekunan dan keuletan mereka bekerja dari bawah.
Oleh
kris mada
·6 menit baca
Daftar orang India di kursi tertinggi perusahaan global terus bertambah. Budaya yang membentuk karakter, pendidikan, dan migrasi menjadi gabungan faktor Arvind Krishna, Tarun Gupta, Sundar Pichai, Shantanu Narayen, Vikram Pandit, Ajay Banga, hingga Parag Agrawal menduduki kursi tertinggi berbagai perusahaan global.
Pakar manajemen pada NYU Stern School of Business, Pankaj Ghemawat, menyebutkan bahwa porsi imigran India pada populasi di Amerika Serikat hanya 1 persen. Walakin, jumlah perusahaan teknologi rintisan AS yang dipimpin imigran India mencapai 25 persen.
Bahkan, dalam laporan Kauffman Foundation pada 2017 ditemukan bahwa 33 persen perusahaan yang didirikan para imigran di AS merupakan perusahaan yang dibuat warga keturunan India. Perusahaan-perusahaan yang dirintis imigran India, terutama berada di California dan New Jersey. Mereka fokus pada teknologi. Sandisk didirikan oleh Sanjay Mehrotra, lalu dijual 19 miliar dollar AS kepada 2015 ke Western Digital.
Ghemawat mengatakan, perusahaan-perusahaan multinasional yang dipimpin warga keturunan India adalah perusahaan yang tidak lagi mempertimbangkan kebangsaan pegawainya. Di antara 500 perusahaan terbesar di Fortune Global 500, tidak sampai 70 perusahaan dipimpin orang dari negara tempat markas besar perusahaan itu.
Keturunan India menjadi pemimpin di sana, antara lain, karena ketekunan, kesetiaan, dan keuletan. Hal itu kembali dibuktikan dengan penunjukan Parag Agrawal sebagai CEO Twitter pada 29 November 2021. Ia menyusul imigran-imigran India di AS dan berbagai negara yang menjadi pemimpin tertinggi di perusahaan-perusahaan dengan wilayah kerja lintas negara.
Bloomberg dan Fortune melaporkan, Agrawal kini menjadi orang termuda yang memimpin salah satu perusahaan terkemuka di Bumi. Pada usia 37 tahun, lulusan Indian Institute of Technology (IIT) di Mumbai dan Stanford University itu meraih hasil kerja selama 10 tahun di Twitter.
Agrawal menambah bukti ketekunan imigran India pada pekerjaan. Bergabung di Twitter sejak 2011, ia ditunjuk memimpin urusan teknologi pada 2017. Pada akhir 2021, ia menggantikan Jack Dorsey sebagai CEO.
Bukan hanya Agrawal yang merintis karier dari bawah di perusahaan yang kini dipimpin warga keturunan India. Sundar Pichai bekerja di Google sejak 2004. Sejak 2015, ia memimpin Google, lalu Alphabet yang menginduki Google dan aneka anak perusahaan lain. Arvind Krishna bekerja di IBM sejak 1990 dan menjadi CEO IBM pada 2020. Demikian pula Satya Nadella yang bekerja di Microsoft sejak 1992 sebelum akhirnya menjadi CEO di perusahaan itu pada 2014.
Adapun Tarun Gupta selama 29 tahun bekerja di LandLease Group mulai dari pemasar mula sampai akhirnya menjadi direktur pengelola salah satu pengembang properti terbesar Australia itu. Setelah mencapai posisi tinggi di LandLease, ia pindah Stockland yang juga pengembang di Australia.
Para pemimpin perusahaan keturunan India itu mencerminkan ketekunan dan keuletan bekerja sejak dari bawah. Mereka cenderung tetap di perusahaan atau industri yang sama. Meski tetap berganti tempat kerja, mereka tidak cepat melakukannya.
Sebagian dari mereka merintis perusahaan sendiri. Di India, Hurun mencatat ada 51 perusahaan rintisan yang berstatus Unicorn atau nilai pasarnya ditaksir 1 miliar dollar AS.
Sayangnya, Hurun juga mencatat bahwa perusahaan-perusahaan rintisan itu malah keluar dari India kala semakin membesar. Mereka menjadikan India sebagai pasar awal, lalu fokus ke negara lain yang menawarkan potensi dan iklim usaha lebih baik.
Migrasi
Sama-sama berstatus sebagai negara berpenduduk terbanyak, India memang masih tertinggal dibandingkan China. Perusahaan-perusahaan China menjadi besar dan tetap fokus di sana karena perekonomian China memang lebih baik. Hal itu, antara lain, tecermin dari daya beli hingga kompensasi yang diterima para pemimpin perusahaan di China dan India.
Perusahaan konsultansi Towers Watson pernah mengungkap bahwa pemimpin perusahaan China menerima kompensasi hingga dua kali lipat dibandingkan dengan kolega mereka di India. Hal itu tidak lepas dari fakta perekonomian China jauh di atas India.
Kondisi itu juga membuat orang China tidak mempunyai dorongan merantau. Sebaliknya, orang-orang India mendapatkan banyak dorongan merantau ke negara lain. Hal itu, antara lain, diakui Tarun Gupta. ”India membuat Anda lebih mudah beradaptasi dan berdaya tahan. Meski punya kehidupan bagus, tetap bisa menyaksikan kemiskinan ekstrem,” ujarnya.
Keinginan memperbaiki nasib mendorong Gupta merantau ke Inggris puluhan tahun lalu. Ia tiba di sana dengan uang 50 dollar AS dan harus bertahan dengan uang itu sampai mendapat kerja hampir dua bulan sejak tiba di Newcastle. Lulus sekolah, ia pindah ke Australia dan selama 29 tahun bekerja di LandLease Group sebelum pindah ke Stockland.
Menurut Vivek Bhatia, kerja keras adalah kewajiban bagi hampir seluruh orang India. Negara dengan penduduk 1,38 miliar jiwa yang 900 juta di antaranya tergolong miskin karena berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS per hari itu memang menjadi arena nyata persaingan manusia.
”Hal yang selalu saya temukan di antara mereka adalah semua para pekerja keras dan semua harus diusahakan. Mereka tahu harus berupaya 120 persen dan selalu bersiap ada pesaing,” kata Bhatia, CEO Link Group, perusahaan pengelola data industri keuangan di Australia.
Bhatia, Gupta, Pichai, Nadella, hingga Agrawal lahir dari keluarga menengah. Selepas lulus sarjana atau sarjana muda, mereka melanjutkan pendidikan ke luar India dengan beasiswa dan hidup amat sederhana demi menghemat dana.
Ekonom India, Rupa Subramanya, dan konsultan manajemen di Mumbai, Rajeev Srinivasan, sepakat bahwa kesuksesan Pichai, Nadella, dan Gupta dimungkinkan karena mereka merantau ke luar negeri. Mereka ragu bahwa Pichai, Nadella, Gupta, dan sosok lain akan bisa sesukses sekarang jika mereka tetap di India.
Fondasi
Subramanya dan Srinivasan tidak menampik, dasar kesuksesan mereka dibentuk di India. Banyak keluarga kelas menengah India begitu keras mempersiapkan anaknya mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan matematika. Bidang-bidang yang disebut STEM itu menjadi salah satu fokus Pemerintah India meski infrastruktur pendidikannya tidak lebih baik dibandingkan banyak negara miskin dan berkembang lainnya.
Banyak bangunan kampus India sudah kusam catnya. Walakin, sekolah dan perguruan tinggi bergedung kusam itu bisa mempersiapkan mahasiswa untuk lebih mendalami STEM. Pendidikan India, antara lain, menumbuhkan daya kritis dan sistem berpikir komputasional.
Ibu-ibu di India sangat terobsesi membuat anak-anak mereka mencapai nilai tertinggi dalam ujian STEM. Nilai tinggi memungkinkan anak mereka mendapat beasiswa ke luar negeri. Orang-orang India yang menjadi pemimpin berbagai perusahaan global tercatat sebagai penerima beasiswa di berbagai perguruan tinggi Amerika Utara dan Eropa Barat.
Mereka bisa mendapat hal itu karena mempunyai prestasi cemerlang sejak masih sekolah. Agrawal pernah memperoleh medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional. Sementara Pichai disebut sebagai salah satu mahasiswa terpintar di IIT Mumbai.
Mereka bisa fokus ke nilai STEM karena tidak perlu repot memperdalam bahasa Inggris. Mayoritas sekolah di India mengajarkan bahasa Inggris sejak dini. Kecakapan bahasa Inggris menjadi salah satu penyebab para imigran India lebih mudah beradaptasi di panggung internasional dibandingkan dengan imigran China atau Rusia.
Kecakapan bahasa memudahkan mereka bermigrasi ke luar negeri. Setelah bertahun-tahun migrasi, sebagian dari mereka menduduki posisi tertinggi sejumlah perusahaan terbesar di Bumi. (AFP/REUTERS)