Petani India Bergerak, Modi Batal Liberalisasi Pertanian
Perjuangan petani India selama setahun terakhir menuai hasil. Penolakan mereka terhadap tiga undang-undang baru yang meliberalisasi pertanian akhirnya dibatalkan Perdana Menteri India Narenda Modi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
DELHI, MINGGU — Setelah gelombang protes petani selama setahun, Perdana Menteri India Narendra Modi akhirnya memutuskan membatalkan tiga undang-undang pertanian yang disahkan oleh parlemen per September 2020. Petani yang mencakup 60 persen masyarakat India berhasil memberi tekanan politik kepada Modi dan partai politiknya menjelang pemilihan umum tahun 2022.
”Saya meminta maaf telah mengakibatkan terjadi situasi yang tidak nyaman bagi kita semua, terutama kawan-kawan petani. Marilah kita memulai awal yang baru. Para petani dimohon ara segera kembali ke kampung halaman masing-masing demi kesehatan dan keselamatan kita semua,” kata Modi, Jumat (19/11/2021).
Ribuan petani yang berunjuk rasa di Delhi menyambut baik keputusan Modi membatalkan tiga undang-undang (UU) baru tentang pertanian. Akan tetapi, mereka yang berkemah di pinggiran ibu kota tersebut menolak pulang ke daerahnya dan memilih bertahan untuk menunggu sidang pleno parlemen yang akan dilangsungkan pada Desember. Para petani ingin memastikan sidang itu benar-benar membatalkan ketiga UU yang mereka tolak.
Permasalahan bermula pada September 2020. Ketika itu, parlemen mengesahkan tiga UU pertanian. Di India, selama ini aturan mengenai pertanian mengacu pada UU yang dikeluarkan tahun 1966. Saat itu, India tengah mengalami wabah kelaparan sehingga pemerintah harus memastikan bahwa setiap rakyat memperoleh akses pada hasil panen.
UU itu mengamanatkan, semua hasil pertanian hanya boleh dijual ke pasar khusus yang disebut ”mandi”, yaitu semacam pasar induk untuk komoditas yang ditentukan pemerintah. Total terdapat 7.000 mandi di India, termasuk Azadpur di Delhi yang merupakan pusat grosir buah dan sayur terbesar di Asia. Aturan mewajibkan hanya para pedagang yang mengantongi izin dari pemerintah yang boleh beroperasi di mandi.
Semua komoditas di tempat itu memiliki batas harga minimal yang diatur oleh negara. Hasil penjualannya kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam wujud proyek infrastruktur, penyuluhan pertanian, pinjaman lunak, bibit, ataupun pupuk. Seiring perkembangan zaman, aturan tersebut dianggap tidak efisien lagi. Hasil penjualan di ”mandi” ini kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam wujud proyek infrastruktur, penyuluhan pertanian, pinjaman lunak, bibit, ataupun pupuk.
Seiring perkembangan zaman, aturan pertanian ini dianggap tidak efisien. Sebab, pemerintah hanya menyubsidi segelintir jenis tanaman pangan, mayoritas biji-bijian. Buah dan sayur umumnya tidak disubsidi sehingga harganya tidak stabil dan banyak dimanipulasi oleh tengkulak.
Selain itu, juga banyak program subsidi tidak tepat sasaran. Misalnya subsidi untuk tanaman tertentu yang hanya bisa tumbuh di lahan basah seperti padi. Adapun petani yang tinggal di wilayah kering apabila ingin memperoleh subsidi terpaksa menanam tanaman padi. Akibatnya, panen mereka sering gagal atau sedikit.
Bharatiya Janata Party (BJP) yang merupakan partai pengusung Modi serta partai mayoritas di parlemen lantas mengesahkan tiga UU baru. Ketiga UU baru tersebut intinya liberalisasi sistem pertanian. UU pertama mengatur pembangunan ”mandi” swasta yang bebas dari aturan pemerintah. Para pedagang tanpa izin pemerintah boleh beroperasi di ”mandi” yang tidak perlu mengikuti aturan harga batas bahwa dari pemerintah tersebut.
UU kedua mendorong keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta di sektor pertanian. Mereka bisa membuat kontrak dengan petani untuk menanam tanaman jenis tertentu dalam periode yang diatur sedemikian rupa oleh kedua belah pihak.
Adapun UU ketiga mengatur bahwa pada jenis-jenis tanaman tertentu tidak diberlakukan harga batas bawah sehingga petani bisa menentukan harga sendiri. Pemerintah baru turun tangan jika terjadi lonjakan harga atau ada praktik penumpukan komoditas.
”Ketiga UU ini jauh panggang dari api karena tidak menyelesaikan masalah apa pun. Petani mendorong agar pemerintah memperluas subsidi ke ragam tanaman yang lain atau menambah ragam tanaman di daftar batas bawah harga di ’mandi’,” kata Darshant Pal Singh, salah satu dari sembilan petani yang memimpin unjuk rasa kepada harian New York Times.
Ia menjelaskan, adanya ketiga UU itu justru mencekik petani karena berisiko membuat petani kalah dari tengkulak. Jika pasar yang menentukan komoditas serta harga, petani tidak akan bisa sejahtera. Pasar dipastikan meminta harga semurah-murahnya.
Demikian pula dengan kontrak swasta dengan petani. Mustahil suara petani akan didengar karena perusahaan besar akan mengatur semua, mulai dari jenis tanaman hingga cara penanaman. Bahkan, ada risiko petani akan bergantung pada bibit dan pupuk dari swasta yang tidak dibeli melalui subsidi.
Masalah berikutnya ialah ketiga UU ini tidak disahkan melalui rapat pleno parlemen. BJP murni menggunakan kekuatan politik mereka untuk mendorong UU tersebut. Bahkan, Modi juga tidak membuka ruang debat bagi publik untuk mengkritisi dan memberi masukan sehingga mencederai demokrasi India.
Situasi kian runyam ketika para politisi, mayoritas dari BJP, menyebut para petani yang berunjuk rasa sebagai ”Khalistani”. Ini adalah istilah yang dipakai untuk menyebut gerakan separatis kelompok etnis Sikh. Kebetulan, mayoritas petani dari India memang berasal dari negara-negara bagian yang banyak memiliki komunitas Sikh. Hal ini membuat para petani semakin berang.
Oleh sebab itu, ketika Modi tiba-tiba mengumumkan hendak menghapus UU, rakyat cepat menduga ada hubungannya dengan pemilihan umum pada awal 2022 yang berlangsung di beberapa negara bagian. Uttar Pradesh dan Punjab termasuk dua negara bagian yang akan menyelenggarakan pemilu. Di wilayah ini, mayoritas masyarakatnya petani dan dari kelompok etnis Sikh.
Pada November 2020, ribuan petani mendatangi Delhi untuk berunjuk rasa. Eskalasi terjadi pada Januari 2021 ketika petani yang lelah dan kedinginan bentrok dengan polisi. Sebanyak 67 orang tewas dalam peristiwa itu.
Para pengamat politik menilai keputusan pembatalan oleh Modi terlambat sebab rakyat sudah telanjur marah dengan pemerintah. Apalagi, dengan adanya skandal yang menyamakan petani dengan pendukung gerakan separatis.
”Kemungkinan besar, ketiga UU itu akan dicabut. Namun, dari segi politik tidak akan meningkatkan kepopuleran Modi ataupun BJP,” kata pakar ilmu politik Universitas Ashoka, Gilles Veniers.
Pencabutan UU itu juga tidak menjamin akan ada jalan keluar yang relevan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi petani India. Perjuangan petani memastikan keadilan nilai tukar komoditas belum berhenti.
Data pusat statistik India menunjukkan bahwa 60 persen masyarakat India adalah petani. Bahkan, secara politik, petani dijadikan simbol India. Akan tetapi, 70 persen petani India adalah petani kecil dengan lahan kurang dari 1 hektar. Seperlima dari mereka juga hidup di bawah garis kemiskinan. (AP)