Tragedi Covid-19 di India, Jeritan Si Miskin dari Himalaya hingga New Delhi
Kematian akibat Covid-19 di India paling tragis menimpa warga miskin yang rentan di pelosok Pegunungan Himalaya hingga di ibu kota New Delhi.
Kisah sedih akibat Covid-19 terus mengalir dari India di tengah meroketnya kurva total kematian di negara itu. Kali ini tentang kematian seorang perempuan, Pramila Devi, warga desa pegunungan terpencil dan miskin di wilayah Himalaya, akibat terjangkit virus korona baru.
Ibu tiga anak berusia 36 tahun itu meninggal pada Minggu (23/5/2021) malam dan baru ramai diberitakan media pada Kamis (27/5/2021). Warga desa pegunungan Himalaya, wilayah yang sulit dijangkau di Negara Bagian Uttarakhan, itu meninggal sehari setelah dinyatakan positif Covid-19.
Devi meninggal di apotek yang telah disulap menjadi klinik sederhana untuk penderita Covid-19. Keluarga merakit tandu seadanya dari bambu dan kayu untuk menggotong jenazah Devi. Jenazah lalu dinaikkan ke atap mobil jip—karena tidak ada ambulans—untuk dibawa menuju tepi Sungai Gangga.
Suami dan tiga anggota keluarganya menggotong jenazah Devi ke tepi Sungai Gangga setelah diturunkan dari jip. Upacara kremasi berlangsung secara sederhana di tepi sungai yang berlumpur. Kematian Devi, menurut kantor berita Reuters, adalah bukti bagaimana kemiskinan tanpa fasilitas kesehatan atau jauh dari rumah sakit menyebabkan lonjakan kematian di desa-desa di India.
Suresh Kumar (43), suami Devi, menuturkan bahwa putri tertua mereka telah menikah dan pindah pada akhir April setelah keluarganya menggelar upacara yang dihadiri puluhan orang. Dua pekan setelah itu, Devi menderita diare. Namun, baru 10 hari setelahnya Kumar membawa istrinya ke klinik. Kumar tidak memiliki pendapatan tetap dan sering bergantung pada bantuan.
Baca juga : Mari Belajar dari Kengerian akibat Covid-19 di India
Aishwary Anand, satu-satunya dokter di klinik, mengatakan bahwa fasilitas kesehatan itu sangat terbatas. Klinik hanya memiliki 4 tempat tidur, 1 tabung oksigen, dan 1 konsentrator. Anand mengungkapkan, Devi positif Covid-19 dengan kadar oksigen darah yang sangat rendah. Dia meminta Kumar untuk membawa istrinya ke rumah sakit yang lebih besar, tetapi Kumar tidak memiliki biaya.
Meski menderita Covid-19, Devi pun dibawa pulang ke rumah. Keesokan harinya, keponakan Devi membawanya kembali ke klinik dengan sebuah taksi tua. Tragisnya, tabung oksigen dan konsentrator yang sedang digunakan pasien lain di klinik itu tidak berfungsi karena listrik padam.
Lama menunggu, listrik kembali pulih. Devi bisa menggunakan konsentrator dan merasa cukup sehat untuk kembali ke rumah. Namun, Devi jatuh sakit lagi. Keluarga membawa Devi kembali ke klinik. Dokter mengatakan, dia sudah meninggal sebelum tiba di fasilitas kesehatan tersebut, Minggu lalu.
Pengujian rendah
Kasus Devi dengan segala keterbatasan yang dihadapi keluarganya merupakan wajah umum yang suram di desa-desa di India di tengah lonjakan kasus Covid-19 di wilayah itu dan India umumnya. Uttarakhand, yang berbatasan dengan China dan Nepal, melaporkan 45.568 kasus infeksi dengan 6.020 kematian pada 25 Mei lalu.
Di tingkat nasional, Pemerintah India melaporkan lonjakan kasus infeksi total. Walau infeksi harian menurun di bawah 250.000 kasus, jumlah total kasus terus bertambah. Jika lebih dari tiga pekan lalu jumlah infeksi total sekitar 25,5 juta kasus, pada 26 Mei jumlahnya menjadi 27,16 juta kasus, dengan jumlah kematian baru harian masih sekitar 4.500 kasus dan jumlah total kematian 311.388 kasus.
Beberapa ahli menyangsikan validitas laporan ”resmi” pemerintah tersebut. Mereka memperkirakan angkanya jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan. Sebab, tingkat pengujiannya rendah dan perilaku warga yang tidak mendukung di pedalaman India menyebabkan kasus Covid-19 menyebar dengan cepat.
Baca juga : Faktor Perilaku dan Varian Baru di Balik Tsunami Covid-19 di India
Kota Haridwar (Hardwar), kota kuno di Distrik Haridwar, Uttarakhand, baru-baru ini menjadi tuan rumah festival Kumbh Mela atau festival kendi. Festival selama berminggu-minggu itu dihadiri ratusan ribu orang. Mereka berdesak-desakan saat berendam di Sungai Gangga. Beberapa ahli mengatakan, kerumuman menyebabkan lonjakan Covid-19 baik di kota maupun desa di India.
Di tepi timur Haridwar, tepatnya di Distrik Pauri Garhwal, di mana desa keluarga Devi berada, dilaporkan 5.155 kasus infeksi Covid-19 dan 241 kematian. Akan tetapi, penduduk setempat dan dokter mengatakan, banyak orang di distrik itu yang menderita gejala mirip Covid-19 menolak pengujian atau terlambat dites.
”Kami telah meluncurkan kampanye di radio dan surat kabar untuk menggugah kesadaran tentang Covid-19 dan mendorong pengujian,” kata Manoj Kumar Sharma, pejabat kesehatan tertinggi di distrik itu. ”Namun, terlepas dari upaya kami, ada beberapa hambatan pengujian di perdesaan.”
Ada distrik yang sulit dijangkau sekalipun dengan berjalan kaki. Untuk mencapai Pitha, sebuah desa di Distrik Pauri Garhwal, perlu berjalan kaki berjam-jam. Tidak ada jalan raya yang bisa dilalui kendaraan. Di sana, Jai Prakash (38) membujuk tetangganya untuk mengikuti tes.
”Tetangga saya tidak mau dites,” kata Deepak Singh, yang bekerja di sebuah perusahaan di New Delhi, tetapi kembali ke desanya bulan ini. ”Dia bertanya, apakah saya bersedia menanggung biaya rumah tangganya jika dia dinyatakan positif,” kata Prakash.
Selama seminggu terakhir, India telah melewati dua pencapaian menyedihkan dalam perjuangan melawan Covid-19. Pertama, jumlah resmi kematian total akibat pandemi mencapai lebih dari 311.000 kasus. Kematian harian mencapai rekor 4.500 kasus, setidaknya itu yang terekam dua hari lalu. Lebih menyedihkan lagi, untuk dua kasus itu, jumlah korban sebenarnya masih jauh lebih tinggi.
Di bentangan luas pedalaman India, hanya ada sedikit pengujian untuk Covid-19. Oleh karena itu, hanya sedikit kasus atau kematian ”resmi” yang dilaporkan. Ahli epidemiologi sepakat, jika dihitung dengan cermat hingga ke pelosok, angka Covid-19 di India pasti melesat jauh di depan Amerika Serikat dan Brasil sebagai negara dengan kematian terbanyak.
Namun, angka ”resmi” Pemerintah India yang diragukan itu sekarang menjadi alasan para pejabat untuk mengecilkan dampak virus korona baru varian B.1.167 India itu. Gelombang kedua yang ganas dari virus ini, yakni laju kenaikan kasus kematian, justru terus bergulir hampir secepat penyebarannya.
Baca juga : Covid-19 di India Kian Ganas, Rekor Kematian Baru Terjadi Setiap Hari
Pada awal Mei, India mencatat sekitar 400.000 kasus infeksi baru setiap hari, kemudian turun menjadi di bawah 250.000 kasus baru. Walau demikian, kematian terus meningkat sehingga total menyentuh lebih dari 310.000 kasus pada Rabu lalu.
Jumlah kasus baru setiap hari di Mumbai, ibu kota komersial India, mengalami lonjakan. Di Delhi, ibu kota yang terpukul paling parah, proporsi tes Covid-19 yang terbukti positif pada April mencapai 36 persen. Banyak pula warga miskin di ibu kota ini tidak dapat ditampung di rumah sakit-rumah sakit. Selain karena bangsal penuh, mereka juga tidak mampu membayar biaya perawatan.
Di kota-kota utama atau kota besar, termasuk New Delhi, perjuangan dengan penuh keputusasaan untuk mendapatkan oksigen bagi pasien yang miskin memang sudah terjawab. Pemerintah mengklaim telah mampu memenuhi kebutuhan walau sebenarnya juga masih banyak pasien yang tidak kebagian pelayanan.
Satuan tugas pengendalian Covid-19 Pemerintah India mengatakan, permintaan harian untuk oksigen medis cair (LMO), yang mencapai sekitar 9.000 metrik ton, kini menurun. Jumlah itu tiga kali lipat permintaan selama puncak pertama India pada September 2020. Bagi mereka, itu indikasi bahwa Covid-19 menurun.
Namun, krisis Covid-19 yang mengerikan sebenarnya masih jauh dari berakhir. Gelombang pandemi, yang secara umum dimulai di bagian barat negara itu, masih melanda India timur. Infeksi di Chennai, ibu kota Tamil Nadu, India paling selatan, baru mulai memuncak. Lonjakan paling mengerikan di India utara juga telah menyeberang ke perbatasan di negara tetangga Nepal.
”Kami tidak bisa optimistis karena saat ini India seperti mengalami kumpulan puncak pandemi Covid-19,” kata Ambarish Satwik, seorang ahli bedah di salah satu rumah sakit terbesar di New Delhi, seperti dikutip The Economist.
Baca juga : Lonjakan Kasus Covid-19 di India Semakin Tak Terbendung
Di dataran Gangga yang miskin dan padat di India, di mana tidak ada dokter dan petugas kesehatan, muncul anekdot. Disebutkan, malaikat maut Covid-19 selalu datang merenggut nyawa di setiap desa. Saat yang lain dibawa pergi, puluhan orang lain mengantre siap dijemput. Situasi faktual yang mengerikan ini membuat semua komunitas terpukul secara emosional dan ekonomi.
Sebuah tim reporter dari Dainik Bhaskar, surat kabar berbahasa Hindi, menghitung, lebih dari 2.000 jenazah dibuang dengan tergesa-gesa di sepanjang 1.100 kilometer bentangan Sungai Gangga. Para korban bukan hanya mereka yang sangat miskin, melainkan juga dari komunitas berada.
Persatuan guru di Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India, mengatakan bahwa tidak kurang dari 1.621 dari 800.000 guru sekolah negeri meninggal dalam sebulan terakhir. Pada pertemuan bank-bank milik negara baru-baru ini, yang mempekerjakan lebih dari setengah juta orang, para manajer bank menyebutkan, sekitar satu dari lima anggota staf telah tertular Covid-19.
Gelombang Covid-19 meninggalkan ”bekas luka yang permanen”. Sementara orang-orang termiskin di India, yang terus-menerus dilanda kekeringan, banjir, dan pemerintah yang lemah, kini dalam kondisi seperti pepatah ”sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Penderitaan mereka terus berlanjut, selain karena Covid-19 dengan semua dampak buruknya, juga karena dua bencana alam topan.
Di media sosial, warga perkotaan India tidak lagi mengirim pesan untuk meminta oksigen dan obat-obatan, yang terkadang tanpa resep untuk mengobati atau menangkal Covid-19.
Selain pandemi Covid-19 dan bencana alam, kini mengalir pula permintaan obat untuk melawan penyakit mukormikosis (mucormycosis) atau ”jamur hitam”. Infeksi mukormikosis mematikan karena banyak menyerang penderita diabetes yang terlalu leluasa dan bebas menggunakan steroid selama pengobatan Covid-19.
Vaksinasi rendah
Rasa frustrasi publik atas skala tragedi tersebut mungkin bisa diredakan jika kampanye vaksinasi oleh Pemerintah India berjalan baik dan berhasil. Sebaliknya, program vaksinasi malah gagal. Selama puncak lonjakan infeksi, jumlah orang yang menerima vaksin tidak meningkat.
Baca juga : India Fokus Program Vaksinasi Domestik, Minta Pemerintah Asing Bersabar
Situs berita The Economist menyebutkan, program vaksinasi di India ”gagal secara luar biasa” justru pada saat vaksinasi itu paling dibutuhkan. Jumlah penerima vaksin menurun drastis, dari semula 3,5 juta dosis menjadi hampir 1,5 juta dosis. Hal itu terjadi karena pemerintah gagal merencanakan dengan benar atau gagal mengamankan vaksin yang cukup.
Jutaan orang India yang menerima dosis pertama sekarang bertanya-tanya, kapan atau apakah mereka akan menerima dosis kedua. Jutaan lainnya, sekitar 89 persen dari 1,4 miliar penduduk India, sampai 24 Mei belum menerima dosis pertama sekalipun.
Penantian mereka mungkin lama. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, pada akhir tahun ini kurang dari 35 persen orang dewasa India akan menerima suntikan. Pemerintah tetap tidak akan melisensikan vaksin asing yang telah teruji, seperti vaksin buatan Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Di kota-kota India, di mana lebih banyak orang bisa mendapatkan vaksin, kampanye vaksinasi mungkin telah membantu mengatasi gelombang kedua saat ini. Namun, penyebab utama penurunan kasus infeksi menjadi di bawah 250.000 kasus per hari adalah penerapan penguncian lokal yang ketat. Tentunya bukan karena vaksinasi. (REUTERS/AP/AFP)