Kota-kota yang tumbuh dengan cepat berdampak menyakitkan bagi warga miskin. Sejumlah negara bagian di India telah memperkenalkan perubahan undang-undang untuk melindungi pemilik tanah agar mendapat kompensasi yang baik.
Masalah ini diangkat oleh EAS Sarma di Bangkok, yang tengah memperjuangkan petisi untuk pembatalan kota hijau di Negara Bagian Andhra Pradesh, India, Rabu (3/10/2018). Pemerintah India sedang mempercepat pengambilalihan lahan untuk pembangunan jaringan kereta metro dan gedung-gedung pemerintah. Kebutuhan itu antara lain dipicu oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam.
Untuk melindungi pemilik lahan, sejumlah negara bagian mengusulkan amandemen yang dimasukkan dalam UU Akuisisi Tanah 2013. Hal ini perlu untuk melindungi pemilik lahan dengan menjamin kesepakatan pemberian pembayaran ganti rugi yang memadai serta merehabilitasi mereka yang terpaksa digusur.
Pemerintah India sedang mempercepat pengambilalihan lahan untuk pembangunan jaringan kereta metro dan gedung-gedung pemerintah.
Akuisisi alternatif, menurut Sarma, seringkali memiliki metode kurang transparan. “Perubahan-perubahan untuk kebanyakan hukum progresif telah membuka pintu-pintu yang memaksa akuisisi tanah,” kata bekas birokrat ini.
Perluasan kota yang begitu cepat pada akhirnya memicu sengketa tanah. Kelompok-kelompok hak asasi melaporkan penggusuran berlangsung dengan kekerasan terhadap masyarakat miskin.
Menurut World Resources Institute (WRI), populasi perkotaan India diramalkan berlipat dua pada tahun 2050, sementara area yang digunakan di kota-kota melonjak sampai lima kalinya. Hal ini akan membutuhkan sekitar 15 kilometer persegi tanah, antara lain untuk infrastruktur dan segala fasilitas. Rejeet Mathew dari WRI menjelaskan, sebagian besar akan dihasilkan dengan mengubah tanah desa untuk dipakai warga kota yang harus siap setiap hari hingga tahun 2050.
Menolak lepas
Protes petani terhadap akuisisi lahan yang diberi harga murah sering terjadi. Hal ini mengakibatkan proyek pembuatan jaringan kereta cepat senilai 17 miliar dollar mengalami penundaan. Pada tahun 2013, undang-undang bisa membuat penggusuran tanah berlangsung panjang dan mahal, menurut Mathews, ketua WRI bidang pembangunan desa di India.
“Keuangan negara terbatas, sedangkan nilai tanah terus naik,” ujar Mathews. “Keterbatasan tanah berarti infrastuktur dan fasilitas yang tidak layak.”
Untuk pembangunan kota baru di Andhra Pradesh, pemerintah menggunakan penyatuan tanah agar mempercepat konsolidasi. Para pemilik akan mendapat kembali saham dari pengembangan lahan. Keiikutsertaan dilakukan secara sukarela dan para pejabat tak mengabaikan petani yang tidak bersedia melepas tanahnya.
Di tempat lain, pemerintah mulai menawarkan kemitraan dengan pengembang swasta dan pembangunan kembali kantung-kantung kumuh serta petak-petak blok, termasuk di Mumbai, kota real estat mahal. Mathews mengatakan, para pengembang lebih mudah menerima model ini karena risiko keuangan lebih kecil dan mereka biasanya menerima tambahan hak-hak pembangunan.
Para pejabat bisa memastikan transparansi dan kejelasan yang lebih baik, termasuk penyelidikan dampak ekonomi dan sosial, begitu pula mekanisme keluhan dalam pendekatan ini. “Dengan mengembangkan tanggung jawab meliputi semua pemangku kepentingan, antara lain mereka yang tak punya lahan yang terdampak proyek, penggusuran bisa berlangsung adil dan efisien,”kata Mathews lagi. (REUTERS)