Euforia Kebebasan Pascavaksinasi di Negara Maju Runtuh
Inggris yang akhir musim panas lalu merayakan ”hari kebebasan” kini mewajibkan pemakaian masker. Negara-negara Eropa juga mulai mewajibkan vaksin bagi warganya, kebijakan yang ditentang dengan alasan kebebasan pribadi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GENEVA, RABU — Merebaknya galur Covid-19 Omicron membuat euforia kebebasan pascavaksinasi di negara-negara maju runtuh. Galur dengan lebih dari 30 mutasi ini membuat sejumlah negara mempertimbangkan kembali kemungkinan mewajibkan vaksinasi bagi penduduknya. Konsep wajib vaksin selama ini banyak ditentang dengan alasan melanggar hak pribadi masyarakat.
Vaksinasi, menurut keterangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tetap merupakan senjata yang paling efektif untuk melawan penyebaran Covid-19. Galur Omicon masih terus diselidiki terkait keampuhan vaksin untuk melawannya. WHO juga mengatakan, menutup perbatasan dari negara-negara lain adalah tindakan kontraproduktif.
”Kami memahami kecemasan global dan tiap-tiap pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Akan tetapi, jika ada larangan kedatangan untuk orang-orang dari negara tertentu, ini akan membuat negara tersebut enggan membuka data penanganan pandemi sehingga kinerja penanganan secara global akan terganggu,” papar Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus.
Menurut dia, langkah yang harus dilakukan semua negara ialah mempercepat dan memperluas akses vaksinasi, memperketat proses penapisan setiap kedatangan, memberlakukan karantina, dan menjalankan tes rutin. WHO juga menganjurkan agar orang-orang yang belum divaksin, terutama dari kelompok lansia ataupun memiliki penyakit bawaan, jangan bepergian dulu.
Gebreyesus menuturkan, WHO tetap menargetkan 40 persen penduduk dunia divaksin sebelum tahun 2021 berakhir. Setelah itu, WHO mengejar target agar 70 persen penduduk dunia divaksin pada pertengahan tahun 2022. Saat ini akses vaksin masih bermasalah karena negara-negara kaya umumnya sudah memvaksinasi lebih dari 60 persen penduduknya. Sebaliknya, di Benua Afrika yang berpenduduk 1,2 miliar jiwa baru 6,6 persen yang telah menerima vaksinasi.
Omicron yang ditemukan di Afrika Selatan pada 9 November kini juga terdeteksi di Hong Kong, Kanada, Belanda, Brasil, Jepang, Portugal, Israel, Italia, dan Inggris. Sejauh ini belum ada kematian akibat galur tersebut.
Negara-negara dunia, termasuk Indonesia, menutup pintu kedatangan bagi orang-orang dari Afrika Selatan, Lesotho, Namibia, Eswatini, Botswana, Mozambik, Zimbabwe, dan Malawi. Tindakan ini dikritik keras oleh Presiden Afsel Cyril Ramaphosa karena perekonomian mereka menjadi mandek dan akibatnya penanganan pandemi terhambat.
Negara-negara di Eropa Barat mulai memberlakukan kembali protokol kesehatan seperti wajib memakai masker ketika berada di dalam ruangan. Inggris yang di akhir musim panas lalu merayakan ”Hari Kebebasan” kini mewajibkan pemakaian masker dan meminta agar semua warganya mengambil vaksin dosis penguat (booster). Langkah ini dikritik oleh WHO karena sebaiknya vaksin difokuskan kepada mereka yang belum menerima sama sekali.
Yunani sudah mengeluarkan aturan wajib vaksinasi bagi penduduk di atas 60 tahun. Bakal Kanselir Jerman Olaf Scholz mengungkapkan, parlemen akan membahas kemungkinan mewajibkan vaksinasi bagi para pekerja di sektor esensial.
Singapura dan Hong Kong lebih blak-blakan. Pemerintah Singapura melarang orang-orang yang sengaja menolak divaksin memasuki tempat-tempat umum. Di Hong Hong, warga wajib menunjukkan sertifikat sudah divaksin sebelum memasuki warung makan sekalipun.
”Kami berharap ini memotivasi orang-orang yang belum divaksin, termasuk orang lansia yang tidak memiliki penyakit bawaan, agar segera divaksin,” kata Penasihat Kesehatan Otoritas Hong Kong David Hui Shu-cheong kepada surat kabar South China Morning Post.
Sementara di Filipina, pemerintah juga mewajibkan masyarakat untuk divaksin. Baru 41 persen penduduk negara ini yang divaksin. Akses vaksin mudah di ibu kota Manila, tetapi di luar kota terdapat masalah logistik yang menghambat distribusi. Selain itu, banyak warga Filipina termakan hoaks bahwa vaksin Covid-19 lebih berbahaya daripada penyakitnya.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Filipina mewajibkan mereka yang tidak divaksin membawa bukti hasil tes antigen ataupun tes reaksi berantai polimerase (PCR) yang harus diperbarui secara berkala. Biaya untuk tes antigen adalah 40 dollar AS (sekitar Rp 573.000) dan biaya tes PCR berkisar 80-100 dollar AS (Rp 1,1 juta-1,4 juta). Padahal, berdasarkan data Organisasi Buruh Dunia (ILO) tahun 2019, pendapatan minimal masyarakat Filipina per bulan adalah 10 dollar AS (Rp 143.000).
”Saya langsung minta vaksin daripada nanti gaji habis untuk tes terus-menerus,” kata Bernardo Wabe, petugas satpam di Manila kepada media Bloomberg. (AFP/REUTERS)