Sejak 1 Desember ini, Indonesia resmi memulai tugas ketua G-20. Berlanjut dengan tugas mengetuai ASEAN 2023, Indonesia harus mampu merebut perhatian dunia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tema keketuaan Indonesia di G-20 sudah ditetapkan jauh-jauh hari: recover together, recover stronger, pulih bersama-sama, pulih menjadi lebih kuat. Begitu kurang lebih makna harfiah tema itu. Tema itu mengirim pesan kepada dunia tentang tekad Indonesia menggalang kebersamaan global untuk pulih bersama-sama dari pandemi Covid-19 saat ini.
Harus diakui, tugas bergilir keketuaan Indonesia di G-20 ini jatuh pada waktu yang sangat tidak mudah. Dunia masih dilanda pandemi Covid-19 dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir.
Situasi semakin tidak mudah, seperti disampaikan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dalam wawancara khusus pekan lalu, pada masa pandemi ini rivalitas negara-negara besar tidak mereda. Hampir setiap hari rivalitas itu tersuguh di depan mata, terjadi di kawasan dekat negeri sendiri, dan dengan intensitas yang meningkat.
Sudah gamblang rivalitas kekuatan besar dunia dan ketegangan kawasan akhir-akhir ini. Mulai dari rivalitas AS-China, sengketa di Laut China Selatan, konflik China-Taiwan, kemunculan aliansi militer AUKUS, ketegangan di Semenanjung Korea, hingga situasi panas di ”keluarga” sendiri di Asia Tenggara akibat krisis di Myanmar. Istilah ”keluarga” dalam konteks Asia Tenggara merujuk pada 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Di ASEAN, hampir setahun ini upaya pemulihan pandemi terdisrupsi situasi di Myanmar pascakudeta 1 Februari. Terkait krisis Myanmar, Indonesia dikenal bersikap tegas mendorong pemulihan krisis politik melalui implementasi lima konsensus pemimpin ASEAN. Retno menyebut sikap Indonesia itu didasari cara melihat ASEAN sebagai ”satu keluarga”.
Bagaimana dunia akan keluar dari pandemi jika tak ada kerja sama antarnegara dan seluruh komunitas internasional? Ini pertanyaan utama yang jawabannya mendasari alur berpikir dan gerak Indonesia saat menjalankan tugas keketuaan G-20. Mengingat tak mungkin keluar dari pandemi tanpa kerja sama, menjadi tugas berat Indonesia mengelola rivalitas itu menjadi kerja sama.
Tak hanya itu, seperti disampaikan Retno, Indonesia mengusung tekad menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang dan miskin selama keketuaan G-20. Dalam tiga isu fokus kerja sama, yakni penguatan arsitektur kesehatan global, transisi energi bersih, dan transisi digital, keberpihakan pada suara negara berkembang dan miskin itu merupakan kontinuitas pengejawantahan spirit Konferensi Asia Afrika 1955.
Keketuaan Indonesia di G-20 bakal dengan mudah dilupakan jika tak ada gebrakan atau wujud konkret dari kerja G-20 selama setahun ke depan. Sebaliknya, Indonesia akan terus diingat dunia jika keketuaan setahun ke depan memberi jalan dan arah konkret bagi pemulihan dunia dari pandemi.