Indonesia-Perancis Perkuat Kemitraan Membangun Indo-Pasifik
Menteri Urusan Eropa dan Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menyebut kawasan Indo-Pasifik menjadi pertaruhan keseimbangan strategis dan geopolitik utama masa depan dunia.
Oleh
Mahdi Muhammad dan Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, multilateralisme mendapat tantangan serius di kawasan Indo-Pasifik, terutama akibat persaingan aktor internasional tradisional dan aktor baru yang mencoba menyaingi hegemoni aktor lama di kawasan ini. Walau era Perang Dingin telah berakhir sekitar tiga dekade lalu, bukan berarti pola persaingan itu berakhir. Persaingan tersebut muncul kembali dengan intensitas yang lebih tinggi.
Sebagai dua negara yang memiliki peran penting di kawasan Indo-Pasifik, Perancis dan Indonesia sepakat untuk mengelola rivalitas tersebut dan memacu kerja sama komprehensif agar tercipta kawasan Indo-Pasifik yang aman bagi semua.
Demikian disampaikan Menteri Urusan Eropa dan Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian saat berbicara pada sesi CSIS Lecture Series di Jakarta, Rabu (24/11/2021). Pada pagi harinya, Le Drian menggelar pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dan menyepakati sejumlah rencana kerja.
Le Drian mengatakan, dalam kacamata Perancis, Indo-Pasifik memiliki arti yang sangat strategis. Hampir 95 persen kawasan Indo-Pasifik merupakan bagian dari zona ekonomi eksklusif Perancis, 60 persen ekonomi global dan konsentrasi produk domestik bruto (PDB) dunia terwakili kawasan ini. Selain itu, empat dari 10 mitra dagang utama Perancis berada di kawasan tersebut.
Dengan beberapa indikator tersebut, Le Drian menyebut kawasan Indo-Pasifik menjadi pertaruhan keseimbangan strategis dan geopolitik utama masa depan dunia. ”Singkatnya, semua yang terjadi di kawasan Indo-Pasifik sekarang memiliki konsekuensi dan berdampak pada kepentingan global yang tidak dapat diabaikan oleh warga Eropa,” kata Le Drian.
Konsekuensi yang sangat besar dari ketidakstabilan di kawasan itu muncul karena adanya keinginan untuk menjadi kekuatan hegemon atau dengan cara membentuk blok politik tertentu. Menurut Le Drian, ini merupakan tantangan serius bagi multilateralisme yang tumbuh subur di kawasan ini.
Tantangan tersebut, lanjut Le Drian, harus dikelola agar Indo-Pasifik menjadi kawasan yang bebas dan terbuka, didasari oleh multilateralisme dan supremasi hukum untuk menjamin stabilitas, keamanan, serta kemakmuran bagi semua negara dan penduduk di kawasan.
Le Drian mengapresiasi sikap yang telah disampaikan Pemerintah Indonesia mengenai prinsip Indo-Pasifik sebagai kawasan yang bebas dan terbuka, yang didasari kerja sama (multilateralisme) dan sikap menjunjung tinggi hukum internasional.
Jusuf Wanandi, Wakil Ketua Dewan Kehormatan CSIS, mengatakan bahwa pandangan Perancis yang meyakini dirinya adalah bagian dari kawasan Indo-Pasifik dan strategisnya kawasan ini, seperti yang disampaikan Le Drian, harus diwujudkan dalam aksi nyata dengan menggandeng seluruh kawasan.
”Perancis adalah satu negara yang selalu mengajukan hal-hal baru yang menarik, dalam berbagai bidang. Tinggal bagaimana pandangan-pandangan itu diimplementasikan dalam bentuk kerja nyata,” kata Jusuf.
Rencana aksi
Dalam kunjungan kerja selama dua hari di Indonesia, implementasi pandangan Perancis diwujudkan dengan keinginan ikut serta mengembangkan penggunaan sumber energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia sebagai bagian dari transisi menuju energi bersih. Pemerintah Perancis menjanjikan investasi senilai 500 juta euro atau sekitar Rp 8 triliun untuk proyek transisi energi di Indonesia.
Hal ini adalah bagian dari rencana aksi (plan of action/PoA) untuk memperkuat kemitraan kedua negara. Rencana aksi itu disepakati Menlu Retno dan Le Drian, meliputi kerja sama di bidang kesehatan, pertahanan, ekonomi, dan maritim. Untuk mempertegas komitmen kerja sama tersebut, Le Drian menemui Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
”Pada 2022 akan ada dialog maritim. Ini langkah awal penerapan PoA,” kata Retno.
Hal lain yang dibahas kedua menlu adalah soal perdagangan, termasuk percepatan penuntasan perundingan perdagangan Indonesia-UE. Kedua pihak akan mengintensifkan komunikasi dalam status masing-masing pada 2022. Pada semester I-2022, Perancis akan menjadi ketua bergilir Dewan Eropa, lembaga yang terdiri atas para kepala pemerintahan atau kepala negara anggota UE. Sementara sepanjang 2022, Indonesia akan menjadi Ketua G-20.
Salah satu yang dikomunikasikan adalah percepatan penuntasan perundingan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (CEPA). Setelah 11 putaran perundingan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum ada tanda-tanda perundingan akan selesai.
Pengamat hubungan internasional pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nanto Sriyanto, mengatakan, adanya perhatian yang lebih pada sektor ekonomi, khususnya perdagangan antara kedua negara di kawasan yang tengah bergejolak, meruapakan bentuk kesamaan pandangan Indonesia dan Perancis. Kedua negara berpandangan, saling ketergantungan yang sehat harus selalu dijaga.
”Hal yang disampaikan Perancis soal ekonomi dan perdagangan harus disambut baik. Multilateralisme harus digarisbawahi sebagai sebuah hal yang sangat penting sekarang ini,” katanya.
Menurut Nanto, berbagai tawaran kerja sama di bidang ekonomi, khususnya perdagangan, oleh Perancis, sejalan dengan strategi Indonesia pasca-2008, adalah perluasan pasar. Pasar Perancis dan Uni Eropa secara lebih luas memiliki nilai yang sangat penting bagi ekonomi Indonesia.
Investasi Perancis pada pengembangan dan penerapan energi bersih di Indonesia dinilai Nanto juga sejalan dengan hasil Konferensi Iklim Glasgow, COP 26, yang baru saja berakhir.