Membaca Gestur Perancis
Setelah penandatanganan AUKUS dan pembatalan pembelian kapal selam oleh Australia, Perancis tidak ingin kehilangan tempat di Indo-Pasifik. Gestur diplomasi sudah dibuka. Indonesia bisa mengambil manfaatnya.
Di sela-sela kesibukan bertemu dengan banyak pemimpin dunia saat Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Roma, Italia, akhir Oktober lalu, Presiden Perancis Emmanuel Macron membuat kejutan. Didahului dengan bahasa resmi kenegaraannya, melalui akun resmi kepresidenan, Macron secara spesifik mencuit dalam bahasa Indonesia. Tidak satu, tapi dua kali.
”Bersama jajaran mitra, kita akan terus bertindak agar kawasan Indo-Pasifik tetap menjadi ruang untuk perdamaian dan kerja sama. Perihal ini, Indonesia adalah pelaku utama, lebih dari sekadar mitra, yakni sahabat @jokowi yang terhormat,” cuitnya.
Selanjutnya, dia juga menyatakan hal ini, ”Dalam rangka Kepresidenan Perancis di Dewan Uni Eropa, kami akan bertindak untuk memperkuat hubungan antara Uni Eropa dan Asia Tenggara.”
Baca juga : Mendinginkan Teater Asia yang Panas
Cuitan Macron menarik untuk diperhatikan mengingat dinamika hubungan internasional yang terjadi belakangan ini, khususnya di kawasan Indo-Pasifik. Perancis terkejut dengan keputusan Australia yang secara sepihak, berdasarkan pernyataan Macron dan Menteri Pertahanan Florence Parly, tidak memberi informasi apa pun soal pemutusan kontrak pembelian 12 kapal selam bertenaga diesel.
Keputusan Perdana Menteri Australia Scott Morrison membatalkan pembelian kapal selam yang nilai kontraknya mencapai 60 miliar dollar Amerika Serikat atau mendekati angka 90 miliar dollar Australia menampar wajah Macron dan Perancis. Menurut Duta Besar Perancis untuk Indonesia dan Timor Leste Olivier Chambard, Australia adalah mitra strategis Perancis di kawasan Indo-Pasifik. Kepercayaan Perancis terhadap Australia yang tinggi membuat Macron mengumumkan strategi Perancis di Indo-Pasifik di Garden Island, Sydney, yang merupakan pangkalan utama Royal Australian Navy (RAN) tahun 2018.
Langkah Australia mengecewakan dan bahkan melukai Perancis. Perancis menyebutnya sebagai tindakan menusuk dari belakang.
Dinamika Kawasan dan Perimbangan Kekuatan
Pengumuman AUKUS sekaligus pembatalan kontrak pembelian kapal selam harus diakui membuat situasi di kawasan menjadi lebih dinamis, jika tak ingin menyebutnya menjadi lebih panas. Keputusan Australia membatalkan kontrak pengadaan kapal selam bertenaga diesel dan menggantinya dengan kapal selam bertenaga nuklir membuat banyak pihak khawatir hal itu memicu perlombaan senjata di kawasan yang sebenarnya relatif damai ini.
Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, telah menyuarakan keprihatinannya terhadap hal ini, terutama soal terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan, terutama ketika AS, Inggris, dan Australia membawa perseteruan diplomatik dan perdagangannya ke perseteruan di ranah militer ke halaman depan Indonesia. Jakarta mendorong Canberra dan para pihak terkait untuk mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perbedaan secara damai, dengan menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan.
Macron, sebagaimana dikutip The Economist, memandang posisi Perancis dalam percaturan politik internasional sebagai kekuatan penyeimbang atau balancing power. Konsep yang juga dituangkannya dalam strategi Perancis di Indo-Pasifik.
Baca juga : Rafale, Kemandirian Vs Embargo
Macron tidak mencoba berhadapan secara langsung dengan AS, yang merupakan sekutu tertuanya, dalam menghadapi situasi di Indo-Pasifik. Namun, dia juga tidak mencari konfrontasi dengan China.
Dubes Chambard mengatakan, meski China adalah entitas yang sulit, Perancis akan selalu mencoba mencari cara untuk bisa menjalin kerja sama dengan Beijing. China bisa dipandang dari berbagai sisi: sebagai pesaing dalam hal perdagangan dan juga ancaman strategis yang potensial. Namun, China juga bisa bertindak sebagai partner yang potensial dalam ekonomi dan lainnya.
Chambard mencoba menyandingkan posisi Perancis sebagai negara non-blok dan juga sebagai bagian dari negara di kawasan Indo-Pasifik dengan Indonesia. Prinsip multilateralisme, non-blok, yang dianut Indonesia sejalan dengan prinsip dan sikap yang juga dijalani oleh Perancis.
Teuku Rezasyah, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, mengatakan, cuitan Macron bermakna sangat dalam jika disandingkan dengan kondisi saat ini. Langkah Macron mengingatkan Rezasyah pada tindakan yang sering dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating saat Indonesia masih berada di bawah rezim Soeharto. Menggunakan medium lain pada masanya, Keating, kata Rezasyah, juga melakukan hal yang sama, mencoba mencuri perhatian Indonesia dengan mengeluarkan berbagai pernyataan dalam bahasa Indonesia.
”Australia berhasil mencuri perhatian Soeharto. Mereka banyak mendapat konsesi,” kata Rezasyah.
Pemerintah, menurut dia, bisa menindaklanjuti keterbukaan yang coba diperlihatkan oleh Macron. Situasi kawasan yang dinamis saat ini bisa mendatangkan keuntungan bagi Indonesia, dalam berbagai sektor, khususnya untuk meningkatkan kemampuan alutsistanya, terutama untuk kebutuhan Angkatan Udara (TNI AU) dan Angkatan Laut (TNI AL).
Baca juga : Beriringan Menjaga Indo-Pasifik
Rezasyah mengatakan, penambahan alutsista, bukan diartikan untuk menyerang atau menganeksasi negara lain, melainkan memperbaiki kemampuan militer untuk menjaga kedaulatan wilayah dan kedaulatan ekonomi. Harus diakui, Indonesia memiliki kelemahan dalam mengawasi ruang udara dan perairannya yang membentang dari ujung timur ke ujung barat. Upgrading kemampuan alutsista, termasuk teknologi radar dan sejenisnya, akan meningkatkan rasa aman dan keyakinan diri Indonesia di tengah ”perang dingin gaya baru” yang dicetuskan Amerika Serikat, Australia, dan Inggris itu.
”Dalam kondisi kalut sekarang ini, Perancis saya pikir tidak akan sungkan-sungkan ’membagikan’ pengalaman maritim dan kekuatan udaranya,” kata Rezasyah.
Celine Pajon, peneliti Pusat Studi Asia pada Institut Hubungan Internasional Perancis, mengatakan, walau terpukul dengan AUKUS, keterlibatan Perancis di Indo-Pasifik bukan retorika semata atau tulisan di atas kertas, akan tetapi sebuah komitmen berkelanjutan. Sebaliknya, keterikatan Perancis akan semakin kuat karena beberapa mitra perdagangan dan keamanan kunci Perancis ada di kawasan. Situasi yang memanas di Indo-Pasifik juga akan merugikan keselamatan rute maritim yang menghubungkan Eropa dan Asia Timur adalah kunci keamanan ekonomi, bukan hanya bagi Perancis, melainkan juga Eropa secara keseluruhan.
Manfaat ekonomi
Sama seperti rekannya, Pajon, Sophie Boisseau du Rocher, peneliti senior IFRI, mengatakan, Perancis membutuhkan Indo-Pasifik yang tengah berkembang untuk mempertahankan dirinya sebagai kekuatan global dan juga untuk kepentingan ekonominya, bersama Uni Eropa. Dinamika di kawasan akan sangat berdampak bagi kondisi ekonomi Perancis secara umum karena nilai perdagangan dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik mengalami peningkatan pesat, dari 14 persen pada tahun 1985 menjadi 32 persen di tahun 2016. Sama seperti Pajon, Rocher menilai, keamanan jalur maritim yang kini juga tengah disengketakan oleh banyak negara, termasuk China dan AS, akan berdampak pada perekonomian Perancis secara khusus dan Uni Eropa secara umum.
Hal itu diamini oleh Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN Vincent Piket saat berbicara secara khusus dengan Kompas, Rabu (6/10/2021). Dengan hampir 40 persen pasar Uni Eropa berada di kawasan Indo-Pasifik dan kawasan ini juga merupakan kawasan penghubung jalur perdagangan laut Eropa-Asia, dinamika di kawasan akan sangat berpengaruh pada perekonomian Eropa.
Baca juga : Presidensi G-20 Indonesia Bakal Hadapi Sejumlah Tantangan
Pasar di Indo-Pasifik harus diakui menarik banyak negara, termasuk Perancis dan Uni Eropa. Namun, membandingkan dengan neraca perdagangan negara lain, nilai perdagangan Indonesia-Perancis belum terlalu besar, meski mengalami pertumbuhan.
Chambard mengatakan, kepemimpinan tradisional Indonesia di Asia Tenggara, di kawasan yang penuh dinamika namun tetap stabil, membuat Perancis meyakini kedua negara bisa mengarungi situasi ini dengan baik. Dengan begitu, kedua negara, khususnya Perancis, ingin terus memperbaiki dan meningkatkan hubungan perdagangan dengan Indonesia.
Posisi Indonesia sebagai Presiden G-20 tahun depan dan Perancis yang akan memimpin Dewan Uni Eropa (European Council), menurut Chambard, akan menjadi sangat penting bagi kedua negara, terutama untuk meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi masing-masing negara, kawasan dan global, pascapandemi Covid-19.
Hasil survei yang dilakukan Pusat Studi ASEAN Institut Yusof Ishak-ISEAS, The State of Southeast Asia 2021, terhadap akademisi, para pengambil kebijakan (pemerintah), entitas bisnis, aktivis lembaga non-pemerintah (NGO), dan media menyebutkan Uni Eropa dan Jepang adalah dua mitra strategis ASEAN yang paling disukai dan dipercaya ketika persaingan antara AS-China semakin memanas. Tingkat kepercayaan terhadap Jepang mencapai 67,1 persen dan Uni Eropa berada di bawahnya dengan 51,0 persen.
Baca juga : Tantangan Kerja Sama G-20 di Tengah Pandemi Covid-19
Jika ditelisik lebih jauh, UE dinilai andal dalam menangani berbagai masalah, seperti supremasi hukum, tata kelola global, perdagangan bebas, pembangunan berkelanjutan, dan perubahan iklim. Sementara AS berada di posisi ketiga dengan tingkat kepercayaan 48,3 persen.
Yang mengejutkan adalah China. Meski lebih dari 76 persen responden memercayai bahwa ”Negeri Tirai Bambu” ini memiliki pengaruh kuat di kawasan, tingkat ketidakpercayaan meningkat dari survei sebelumnya, 60,4 persen, menjadi 63 persen pada 2021.
Ekonom pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, ketika pemimpin dua negara, dua kawasan sudah memunculkan tanda-tanda persahabatan, hal itu bisa ditindaklanjuti. ”Indonesia butuh, tetapi UE juga tidak kalah membutuhkan (keberadaan dan pasar Indonesia dan ASEAN),” kata Fithra.
Dalam pandangan Indonesia, yang saat ini memegang presidensi G-20, bisa memanfaatkan posisi yang dipegangnya saat ini untuk membawa aspirasi negara-negara berkembang pada forum multilateral sekaligus melakukan lobi-lobi tingkat tinggi yang membawa manfaat bagi ekonomi Indonesia.
Meski pengambilan keputusan di UE adalah kolegial serta Jerman dan Italia adalah dua negara lain yang menjadi motor penggerak selain Perancis, posisi presidensi Indonesia harus dimanfaatkan secara optimal.
”Segala sesuatu yang terjadi di G-20 adalah sinyal positif buat investor, buat negara partner, baik partner tradisional maupun non-tradisional,” katanya.