Proposal pembelian pesawat tempur Rafale dan kapal selam dari Perancis tengah dibahas. Dinamika di kawasan dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memuluskan proses itu sekaligus mengadopsi teknologi baru.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
Lahirnya AUKUS, aliansi tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, dan Inggris, tidak hanya memukul Perancis secara ekonomi. Selain kehilangan kontrak pengadaan 12 kapal selam senilai lebih dari 50 miliar dollar AS dari Australia, Perancis juga menghadapi satu pertanyaan besar. Pertanyaan itu adalah bagaimana Paris mengembangkan prioritas strategisnya di Indo-Pasifik setelah sekutu tradisionalnya, yaitu AS, Australia, dan Inggris, bekerja sama tanpa melibatkan Paris?
Perancis memang gusar, sangat gusar. Hal itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian yang mengatakan bahwa kesepakatan pengembangan kapal selam bertenaga nuklir AS untuk Australia sebagai tikaman dari belakang.
Tak heran jika kemudian, Herve Lemahieu, Direktur Riset dai Lowy Institute Australia, mengatakan, AUKUS dapat mendorong Paris untuk memikirkan ulang kemitraan strategisnya dengan negara-negara Anglo Saxon di kawasan. Sebagai negara yang memiliki wilayah di Pasifik, yaitu Kaledonia Baru dan Polinesia Perancis, sejak tahun 2018, Paris telah menjalin hubungan diplomatik, militer, dan perdagangan di kawasan Indo-Pasifik. Paris tentu tidak ingin Perancis dan negara Eropa lainnya dikesampingkan saat AS bergerak lebih agresif untuk membendung ambisi Beijing.
Namun, AS ternyata mengambil langkah berbeda. ”Ini menegaskan fakta bahwa Amerika Serikat mengharapkan sekutunya untuk tetap patuh dan tidak lagi tertarik untuk berkonsultasi,” kata Thomas Gomart, Direktur Institut Hubungan Internasional Prancis (IFRI).
Melihat situasi itu, Antoine Bondaz dari Yayasan Penelitian Strategis Perancis (FRS) mengatakan, ”Paris harus mencari kemitraan lain, dengan Indonesia atau Korea Selatan, misalnya,” kata Bondaz. Selain tentu saja tetap memperhatikan Australia tetap menjadi mitra kunci di Pasifik Selatan.
Dinamika geopolitik dan geostrategis itu tentu perlu disikapi dengan bijak oleh Indonesia. Lahirnya AUKUS dan QUAD (AS, Australia, Jepang, dan India) tidak dapat dipisahkan dari agresivitas militer dan ekonomi China di kawasan. Kehadiran militer China di Laut China Selatan menunjukkan Beijing tidak main-main dengan niatnya untuk menjadi penguasa dunia.
Mantan KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriyatna dalam bukunya bertajuk Air Defence, antara Kebutuhan dan Tuntutan mengatakan, perubahan lingkungan strategis menuntut Indonesia untuk lebih siap. Untuk itu, perlu proyeksi militer, salah satunya dengan memperkuat armada udara yang memadai sebagai kekuatan penangkal, termasuk untuk menjaga 17.000 pulau, 7,9 juta kilometer persegi wilayah perairan—3,2 juta perairan teritorial dan 2,7 perairan Zona Ekonomi Eksklusif—dan garis pantai sepanjang lebih dari 95.000 kilometer.
Dukungan Perancis
Terkait dengan kebutuhan itu, Duta Besar Perancis untuk Indonesia Olivier Chambard menegaskan, Perancis siap mendukung penguatan militer Indonesia. Dari lini pertahanan udara, yang dilirik Indonesia, dan ditawarkan Perancis tidak main-main, yaitu pesawat tempur Rafale.
Dari laman resmi Dassault Aviation, Rafale tidak hanya dirancang sebagai pesawat tempur multiperan atau multirole, tetapi omnirole, serba bisa. Selain dapat diperankan sebagai pesawat berkemampuan superioritas udara, Rafale juga mampu mengemban misi pengintaian, dukungan udara, serangan presisi, baik untuk sasaran di darat maupun di laut, serta mampu mengisi bahan bakar di udara (Rafale-Rafale). Pesawat itu juga dilengkapi sistem komputasi tempur maju yang memproses data dari radar RBE2-AESA, serta sistem penjejak lain, seperti front sector optronic (FSO) dan sistem proteksi mandiri SPECTRA.
Saat ini proposal pembelian pesawat tempur Rafale dan kapal selam tengah dibahas Perancis dan Indonesia. Namun, lebih jauh Chambard mengatakan, hal terpenting dari proses itu bukanlah soal perdagangan atau jual beli alutsista saja. ”Ketika kami menawarkan satu material strategis, termasuk di dalamnya adalah senjata canggih kami. Kami tidak hanya menjual, tetapi juga memperkuat kemitraan strategis dengan Indonesia karena kami tidak menjual senjata ke sembarang negara,” kata Chambard.
Negara yang dipilih, antara lain, memiliki visi bersama dan mampu menjalin kemitraan strategis bersama. Chambard menilai, Indonesia memilikinya. Dalam visi Indo-Pasifik, misalnya, Perancis juga mengangkat isu penghormatan hukum internasional dan kebebasan bernavigasi.
Karena itu, meski alot, pembahasan soal Rafale dan kapal selam yang dilirik Indonesia terus berlanjut. Prosesnya, digambarkan Chambard, masih panjang, kompleks, dan diwarnai kompetisi kuat. ”Kami menawarkan yang terbaik, efisien, dan independen,” katanya.
Yang menarik dari penjelasan Chambard adalah independen. Dalam penjelasannya—saat menjamu Kompas dalam sebuah wawancara khusus—yang dimaksud dengan independen adalah bebas embargo. ”Bila kami telah menawarkan alutsista dan suku cadangnya, kami memastikan bahwa senjata dan suku cadangnya akan selalu tersedia,” kata Chambard.
Bagi Perancis, independensi itu penting. Suatu negara perlu memiliki strategi otonom. Bagi Indonesia, sikap itu ”menguntungkan”. Apalagi, pada masa lalu Indonesia pernah memiliki pengalaman pahit terkait dengan embargo senjata.
Terkait ekspor senjata, Presiden Perancis Emmanuel Macron di sela-sela pertemuan G-20 telah menggelar pertemuan dengan Presiden AS Joe Biden. Mereka membahas isu efisiensi ekspor senjata.
Perancis mencoba untuk ”melunakkan” kontrol ekspor senjata AS yang dikenal sebagai International Traffic in Arms Regulations (ITAR). Regulasi itu memungkinkan Washington memblokir ekspor ulang komponen sensitif produksi AS yang tertanam dalam senjata yang diproduksi negara lain. Sebelumnya, sejumlah perusahaan pertahanan Perancis dan Eropa terganggu dengan ITAR karena menghambat ekspor mereka ke negara-negara ketiga.
”Kami mencapai sejumlah perjanjian kerja sama bilateral, beberapa di antaranya sangat penting menurut saya, pertama tentang ekspor senjata,” kata Macron. ”Mengapa? Karena, kami perlu mengklarifikasi aturan ITAR. Jika tidak, kebijakan kami dapat diblokir sepenuhnya. Jadi, kami membuka proses untuk menghilangkan konflik dan bekerja sama.”
Kemandirian
Pada satu sisi dinamika itu membuka ruang bagi Indonesia untuk lebih leluasa dan memiliki alternatif penyedia senjata selain AS. Selain itu, langkah yang diambil oleh Perancis memberi kesempatan lebih luas bagi Indonesia untuk ”mengegolkan” misinya. Baru-baru ini Perancis meluluskan pembelian 36 Rafale untuk India.
Merujuk pandangan Bondaz, Perancis memang selayaknya memperkuat kemitraannya dengan negara lain di Asia, salah satunya Indonesia. Di sisi lain, bagi Indonesia, dinamika itu semakin memperlihatkan kemendesakan untuk mandiri dan tidak bergantung kepada negara lain.
Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto mengatakan, memenangi pertempuran itu pertama-tama adalah harus berpijak pada diri sendiri. Menurut dia, dengan membeli dari negara lain—meskipun canggih dan maju—kekuatan yang dimiliki sejatinya semu. Karena, teknologi yang terkandung di dalamnya tidak sepenuhnya dikuasai Indonesia.
Proyek pengembangan bersama F-21 Boramae oleh Indonesia dan Korsel, menurut Eris, merupakan langkah positif yang perlu dilanjutkan. Berkaca dari keberhasilan PT PAL mengembangkan kapal selam dan LPD (buah kerja sama Indonesia-Korsel), Indonesia sejatinya mampu.
Kali ini, Perancis pun membuka diri pada kerja sama seperti itu, termasuk teknologi. Semoga peluang ini memberi kesempatan bagi industri pertahanan untuk berkembang. (AP/AFP/REUTERS/MHD/SAM)