Indonesia Prihatin Atas Berlanjutnya Perlombaan Senjata di Kawasan
Indonesia tekankan pentingnya Australia mematuhi kewajibannya soal nonproliferasi nuklir. Sementara Perancis kecewa dengan langkah Australia terkait pembentukan AUKUS.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia prihatin atas keputusan Australia, Amerika Serikat, dan Inggris membentuk aliansi militer di kawasan. Apalagi, aliansi yang disebut AUKUS itu menghadirkan kekuatan nuklir baru di kawasan.
Salah satu tujuan AUKUS adalah membantu Australia memiliki sedikitnya delapan kapal selam bertenaga nuklir. Australia akan menjadi satu-satunya negara tanpa senjata nuklir yang punya kapal selam bertenaga nuklir. Di Asia, hanya India dan China punya kapal selam dan senjata nuklir. Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengklaim, Canberra tidak akan mengejar kepemilikan senjata nuklir.
Baca Juga: Aliansi Militer AS-Inggris-Australia Bisa Merusak Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara
Sejumlah media Australia melaporkan, Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton mengaku menelepon Menhan RI Prabowo Subijanto pada Rabu malam. Lewat percakapan telepon itu, Dutton mengaku menginformasikan kepada Prabowo soal rencana pembentukan AUKUS.
Sementara itu, PM Scott Morrison mengaku menelepon Presiden Joko Widodo dan PM Singapura Lee Hsien Loong pada Kamis. Morrison juga mengaku telah memberi tahu India dan Jepang, yang bersama AS dan Australia tengah menggalang aliansi nonmiliter yang disebut sebagai Quad, soal pembentukan AUKUS.
”Indonesia mencermati dengan penuh kehati-hatian tentang keputusan Pemerintah Australia untuk memiliki kapal selam bertenaga nuklir. Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri RI yang diungkap pada Jumat (17/9/2021).
Jakarta pun menekankan kepada Canberra soal kewajiban pengendalian nuklir. Australia juga didorong memenuhi kewajiban menjaga kedamaian, stabilitas, dan keamanan kawasan. Tidak lupa, Indonesia mengingatkan semua pihak untuk menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982.
Dari tiga trio AUKUS, AS belum menandatangani dan meratifikasi UNCLOS. Meski demikian, AS memanfaatkan ketentuan UNCLOS yang mengatur laut teritorial dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) masing-masing 12 mil laut dan 200 mil laut dari titik surut terendah.
Kapal-kapal perang AS, termasuk yang bertenaga dan mampu membawa senjata nuklir, bolak-balik berlayar di Asia Tenggara. Terakhir, kapal induk AS USS Carl Vinson dilaporkan berlayar dekat Blok Natuna yang terletak di ZEE Indonesia di utara Natuna. Berkali-kali kapal perang AS dan China dilaporkan saling bersitegang di Laut China Selatan. Seperti kapal AS, kapal China juga kerap berada di dekat atau di dalam ZEE Indonesia di utara Natuna.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arie Afriansyah mengatakan, hukum internasional memang membolehkan kapal-kapal asing melintasi ZEE suatu negara. Syaratnya, kapal-kapal itu tidak melakukan aktivitas yang merugikan negara pengklaim ZEE atau yang berdaulat pada suatu perairan.
Arie mengatakan, ZEE Indonesia di utara Natuna didasarkan UNCLOS. Negara lain menerima klaim itu, walau masih ada upaya perundingan untuk menentukan batas ZEE di sana. Komunitas internasional juga mengakui klaim Indonesia yang didasarkan pada UNCLOS itu.
Baca Juga: Adang China, AS-Inggris Bantu Kapal Selam Bertenaga Nuklir untuk Australia
Bukan hanya kapal AS-China terpantau di perairan Asia Tenggara. Kapal induk Inggris, HMS Queen Elizabeth II, melintasi Selat Malaka lalu menuju Jepang pada Agustus lalu. Pengiring kapal induk itu antara lain kapal perang Australia. Jerman juga baru mengerahkan frigatnya ke Laut China Selatan. Beberapa bulan sebelumnya, Perancis lebih dulu mengerahkan sejumlah kapal perangnya ke perairan Asia Tenggara.
Sikap negara lain
Dalam pernyataan Kemlu Singapura, PM Lee disebut berharap AUKUS dapat berkontribusi pada keamanan dan kestabilan kawasan. AUKUS juga diharapkan dapat melengkapi arsitektur kawasan.
Adapun Paris secara terbuka mengungkapkan kemarahan kepada AUKUS. Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menyebut Canberra mengkhianati Paris lewat kesepakatan soal kapal selam yang mengikuti AUKUS. ”Benar-benar menusuk dari belakang. Kami membangun kepercayaan dengan Australia dan kepercayaan ini telah dikhianati. Saya sangat marah. Ini bukan hal yang seharusnya dilakukan terhadap sekutu,” tuturnya.
Ia juga mengarahkan kemarahan kepada Presiden AS Joe Biden. Ia tidak menyangka Biden akan melakukan hal yang diduganya hanya sanggup dilakukan mantan Presiden AS Donald Trump.
Kemarahan Perancis juga ditunjukkan dengan membatalkan acara makan malam di Kedutaan Besar Perancis untuk AS. Sedianya, acara itu digelar untuk memperingati kemenangan aliansi AS-Perancis melawan Inggris dalam perang kemerdekaan AS di abad ke-18.
Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell mengaku tidak diberi tahu soal AUKUS. ”Kami menyesal tidak diberi tahu, tidak dilibatkan dalam pembahasan ini. Saya memahami kekecewaan Pemerintah Perancis,” katanya.
Menlu AS Antony Blinken dan Menlu Australia Marise Payne sama-sama tidak menjawab secara tegas soal keluhan Paris bahwa Perancis tidak diinformasikan terkait AUKUS. Blinken hanya mengatakan, Canberra pasti telah berkomuninasi dengan Paris.
Morrison mengatakan, pasti Perancis kecewa. Meski demikian, ia menyebut keputusan Canberra sebagai upaya menjaga kepentingan nasional. Australia harus membuat keputusan berdasarkan perkembangan situasi.
Pada 2016, Canberra-Paris mengikat kontrak pembelian 12 kapal selam bertenaga diesel. Paris akan mengirimkan kapal selam itu mulai 2034. Kala itu, kontraknya bernilai 66 miliar dollar AS. Setelah aneka penyesuaian, kontraknya melambung sampai 90 miliar dollar AS.
Baca Juga: Darwin Tampung Banyak Marinir AS, Australia Jadi Pangkalan Jet Tempur AS
Di sela pertemuan G-7 di Inggris pada Juni 2021, Morrisson bertemu Presiden Perancis Emmanuel Macron. Morrison mengaku telah memberi tahu Macron soal kemungkinan pembatalan kontrak kapal selam dalam pertemuan itu.
Mantan Duta Besar Perancis untuk AS Gérard Araud mengatakan, Canberra tidak pernah menginformasikan ke Paris soal penghentian kontrak. ”Bahkan, kalau pun anda menganggap program ini harus dihentikan, tidak perlu melakukannya secara brutal,” ujarnya.
Ia tidak melihat peluang hubungan Australia-Perancis bisa diselamatkan di masa mendatang. Ia juga menyebut AUKUS sebagai bentuk permusuhan dari Washington. ”AS menghancurkan kepentingan nasional kami. Tindakan AS pada kepentingan nasional kami adalah bentuk permusuhan,” ujarnya.
Canberra ditaksir akan mengeluarkan hingga 100 miliar dollar AS untuk membeli delapan kapal selam bertenaga nuklir dari AS dan Inggris. Sementara untuk kontrak dengan Perancis, Australia telah membayar hingga 2 miliar dollar AS untuk aneka pekerjaan awal. Australia ditaksir harus membayar denda hingga 355 juta dollar AS gara-gara menghentikan kontrak itu.
Peneliti pada Lembaga Kajian Strategis (FRS) Perancis, Antoine Bondaz, menyebut bahwa AUKUS menyulitkan pengendalian nuklir. Kesulitan tidak hanya akan hadir di Asia Tenggara, tetapi juga ke kawasan lain.
Dalam perjanjian pengendalian senjata nuklir (NPT), negara pemilik teknologi senjata nuklir dilarang membagikan pengetahuan dan teknologinya kepada negara lain yang belum punya. Negara pemilik juga diminta mengurangi persenjataan nuklirnya. (AFP/REUTERS)