Dunia semakin siap menyambut era energi dan ekonomi bersih. Namun, kritikus menyayangkan penolakan negara-negara pemakai batubara sehingga penerapan perjanjian ini nanti tidak bisa maksimal.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GLASGOW, KAMIS — Sebanyak 40 negara beserta 150 perusahaan, organisasi, dan lembaga menandatangani perjanjian menghentikan pemakaian batubara. Ini adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak akan maksimal tanpa rencana aksi yang jelas dan keterlibatan dari negara-negara penghasil batubara secara keseluruhan.
Perjanjian itu ditandatangani di Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow, Skotlandia, Rabu (3/11/2021). Negara-negara pemakai batubara untuk penghasil energi, seperti Maroko, Chile, Vietnam, dan Polandia, menandatanganinya. Akan tetapi, negara pengguna batubara terbesar, yaitu China, Amerika Serikat, Australia, dan India, menolaknya.
”Dunia semakin siap menyambut era energi dan ekonomi bersih. Ini preseden baik yang harus terus kita dorong,” kata Menteri Bisnis dan Energi Inggris Kwasi Kwarteng.
Selain itu, juga ada penggabungan 28 negara baru ke dalam Aliansi Energi Pascabatubara (Powering Past Coal Alliance), termasuk Ukraina. Mereka berkomitmen secara bertahap mengurangi pemakaian batubara.
Perjanjian itu menyebutkan, negara-negara kaya akan sepenuhnya bebas dari pemakaian batubara pada 2030. Adapun negara-negara berkembang diberi tenggat hingga tahun 2040. Perusahaan, organisasi, dan lembaga berjanji tidak akan berinvestasi di proyek-proyek yang menggunakan batubara.
Sejumlah kritik menyayangkan penolakan negara-negara pemakai batubara sehingga penerapan perjanjian ini nanti tidak bisa maksimal. Di samping itu, juga harus mulai dipikirkan peralihan energi minyak dan gas ke energi terbarukan.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa, batubara adalah penghasil 37 persen listrik global. Sejak Kesepakatan Paris tahun 2015, dunia memang mengalami penurunan drastis pemakaian energi batubara. Sebanyak 1.000 gigawatt listrik dari batubara berhasil dihentikan pada periode 2015-2020 atau setara dengan 76 persen pembangkit listrik bertenaga batubara.
Meskipun begitu, negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, China, dan India tetap berencana menambah unit pembangkit listrik bertenaga batubara. Alasannya menyediakan listrik murah dan menjangkau semua warga. Perbedaannya, komitmen investasi di sektor batubara hanya untuk di dalam negeri dan tidak akan mendanai proyek di luar negeri.
Negara-negara berkembang memerlukan bantuan dari negara kaya untuk bisa melakukan transisi ke energi bersih. AS dan Inggris, misalnya, mengutarakan hendak menghibahkan 8,5 miliar dollar AS kepada Afrika Selatan agar bisa membangun infrastruktur energi bersih.
”Butuh 35 miliar dollar AS agar Afrika Selatan bisa sepenuhnya beralih ke energi bersih. Ini juga harus disertai kebijakan pemerintah dan jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang awalnya mencari nafkah di tambang batubara,” kata Andre de Ruyter, Direktur Utama Eskom, perusahaan listrik Afrika Selatan kepada media Bloomberg.
Negara penghasil batubara terbesar kedua setelah Indonesia, yakni Australia, masih terus menghindari berbagai komitmen penurunan emisi secara drastis. Sehari sebelumnya, Australia juga menolak menandatangani perjanjian penurunan gas metana karena di Benua Kanguru itu mayoritas metana dihasilkan oleh peternakan.
Australia juga hanya berjanji menurunkan emisi 26 persen pada tahun 2030. Target ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.
Dilansir dari ABC News, perekonomian Australia secara historis sangat bergantung pada batubara. Melalui pertambangan, negara ini bisa masuk ke jajaran negara kaya. Akan tetapi, sekarang batubara tidak terlalu relevan dalam pembangunan di negara itu. Ketergantungan Australia terhadap batubara sejatinya murni merupakan lobi politik.
Pada tahun 2020, nilai ekspor batubara Australia mencapai 40 miliar dollar AS. Hanya 1 persen yang masuk ke kantong negara, sisanya diambil oleh perusahaan-perusahaan pertambangan. Dari segi ketenagakerjaan, sektor batubara memiliki 40.000 pekerja atau setengah dari pekerja di waralaba restoran cepat saji. Mayoritas pekerja tambang berada di kota-kota kecil dan perdesaan.
”Australia tidak bisa terus menghindar. Justru, kita harus proaktif mengembangkan sektor energi terbarukan. Kalau semua inisiatif ditolak dengan dalih melindungi pertambangan dan peternakan, justru ekonomi kita akan terkena bencana nanti,” kata anggota Dewan Iklim Australia, Will Steffen, kepada media Renew Economy. (REUTERS)