Abu Batubara PLTU Amurang Mulai Dijadikan Bahan Bangunan
Limbah abu batubara dari PLTU Amurang di Sulawesi Utara mulai dimanfaatkan untuk membangun berbagai fasilitas umum. Namun, jumlah yang digunakan masih sangat rendah ketimbang yang dihasilkan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Limbah abu batubara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap Amurang di Sulawesi Utara mulai dimanfaatkan untuk membangun berbagai fasilitas umum. Namun, jumlah yang digunakan masih sangat rendah ketimbang yang dihasilkan. PT Perusahaan Listrik Negara pun tidak akan menarik biaya dari pemerintah daerah dan masyarakat yang ingin mengolahnya menjadi bahan bangunan.
Salah satu fasilitas umum yang dibangun dengan limbah abu batubara terbang dan padat, atau yang lebih dikenal dengan fly ash and bottom ash (FABA), dari PLTU Amurang adalah Gereja Gerakan Pentakosta Bukit Zaitun di Kelurahan Tondangow, Tomohon. Sebagian besar batako yang membentuk gereja itu berbahan dasar FABA yang bertekstur halus.
Kepala Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkit (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu mengatakan, gereja ini juga menjadi salah satu bangunan pertama di Indonesia yang menggunakan semen mortar berbahan dasar FABA sisa PLTU. ”Banyak PLTU di Indonesia yang sudah membuat batako dan batu bata dari FABA, tetapi belum untuk plester dan aci,” katanya dalam peresmian gereja itu, Selasa (26/10/2021).
Jumlah FABA yang digunakan untuk membangun Gereja Bukit Zaitun mencapai 32 ton. Hanya butuh sekitar dua minggu untuk merampungkan bentuk gereja. Sebab, semen mortar yang berbahan dasar FABA lebih cepat kering ketimbang semen mortar biasa.
Biaya konstruksi juga bisa lebih murah karena FABA yang diberikan PT PLN secara cuma-cuma dapat membentuk 45 persen komponen batako, batu bata, semen mortar, dan beton cor. Contohnya, komposisi pasir 75 persen dan semen 20 persen dalam batako kini bisa diturunkan menjadi masing-masing 40 persen dan 15 persen saja.
Kualitas material pun tidak berkurang. Batako berbahan FABA, misalnya, tetap dapat menanggung beban 100 kilogram per peter persegi, setara mutu kelas II. Kekuatan tekan batu bata berbahan dasar FABA juga tetap di kisaran 150 kg per meter persegi, sedangkan beton cor 175 kg per meter persegi.
Selain Gereja Pentakosta Bukit Zaitun di Tomohon, FABA dari PLTU Amurang juga dipakai membangun kawasan Air Terjun Kulung-Kulung di Minahasa Selatan, ruang serba guna Komando Distrik Militer 1302 di Minahasa, sebuah rumah contoh, dan disalurkan ke unit usaha kecil. Semuanya bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT PLN.
Kendati begitu, penyerapan FABA dari PLTU Amurang yang terletak di Minahasa Selatan, 71 kilometer dari Manado, sejauh ini masih tergolong rendah. Untuk semua program CSR tersebut, baru sekitar 1.200 metrik ton yang termanfaatkan. Padahal, abu batubara yang kini tertumpuk di penampungan limbah telah mencapai 50.000 metrik ton.
”Setiap hari alat ESP (electrostatic precipitator) kami menangkap 50 metrik ton FABA dari pembakaran 1.900 metrik ton batubara. Sebulan saja sudah 1.500 metrik ton, lebih banyak yang sudah kami pakai untuk proyek-proyek yang ada sekarang,” ujar Andreas.
Karena itu, ia mengajak pemerintah daerah, masyarakat umum, dan pelaku industri bahan bangunan memanfaatkan FABA untuk berbagai proyek infrastruktur fisik, seperti pembuatan jalan, rumah ibadah, dan obyek wisata. Melalui skema kerja sama, PT PLN akan menggratiskan abu batubara tersebut.
Ke depan, FABA pasti bisa sangat membantu menghemat biaya.
Pemkot Tomohon pun menyambut baik pemanfaatan FABA untuk proyek infrastruktur di daerahnya. Asisten 2 Pemkot Tomohon Enos Pontororing mengatakan, pihaknya akan menjajaki kerja sama dengan PT PLN untuk meningkatkan pemanfaatan FABA. ”Ini hal baru bagi kami, Gereja Bukit Zaitun jadi percontohan. Ke depan, FABA pasti bisa sangat membantu menghemat biaya,” katanya.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tomohon Jean d’Arc Karundeng mengatakan, FABA juga dapat dimanfaatkan dalam beragam program PKK, seperti membangun gedung-gedung bank sampah di seluruh kelurahan. Di samping itu, FABA juga bisa digunakan untuk mempercantik destinasi pariwisata.
”Bahan ini bisa dimanfaatkan untuk membangun tempat wisata, seperti pemandian air panas di Lahendong, rumah kaca bunga-bunga, dan jalan pendakian Gunung Lokon. Minggu depan ada pertemuan antara Pemkot Tomohon dengan PT PLN. Pembicaraan bisa dilanjutkan saat itu,” tuturnya.
Sebelum Maret 2021, FABA digolongkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Namun, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengeluarkan FABA hasil pembakaran selain tungku industri dari kategori tersebut.
Kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020 juga menunjukan, FABA dari PLTU yang ditempatkan dalam suhu 140 derajat Fahrenheit (60 derajat celsius) tidak mudah menyala ataupun meledak. FABA dari PLTU juga tidak reaktif terhadap sianida ataupun sulfida. Kandungan karbon tak terbakar dan zat korosifnya juga rendah sehingga dipastikan tidak beracun.
FABA dari PLTU Amurang pernah menjadi sorotan Komisi IV DPRD Sulut pada awal 2020. Jumlah FABA yang besar diduga menyebabkan pencemaran air bersih bagi warga sekitar. Saat itu, para legislator provinsi mendorong agar FABA dimanfaatkan menjadi bahan bangunan.
Pada 2013, penimbunan FABA juga menyebabkan PLTU Amurang diganjar peringkat hitam atau buruk dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper) KLHK. Pejabat Lingkungan UPDK Minahasa PT PLN Edo Susanto mengatakan, itu disebabkan FABA dibiarkan tertimbun lebih dari setahun di situs PLTU.
”Produksi FABA hari ini harus diangkut ke tempat pengolahan setahun kemudian. Biayanya besar karena harus menggunakan tongkang. Karena kendala biaya saat itu, kami diganjar Proper hitam. Namun, sejak 2019, kami sudah mencapai Proper biru (pengelolaan lingkungan sesuai peraturan perundangan),” tuturnya.
Di lain pihak, berbagai lembaga swadaya masyarakat skeptis terhadap pemanfaatan FABA. Dalam keterangan tertulis, Kepala Divisi Pengendalian dan Pencemaran Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan, terdapat unsur-unsur karsinogenik, neurotoksik, dan beracun bagi makhluk hidup.
Zat-zat logam berat dan radioaktif yang terkandung dalam batubara, seperti arsenik, boron, kadmium, timbal, dan merkuri, akan terkonsentrasi pada FABA pascapembakaran. Ketika berinteraksi dengan air, unsur-unsur itu dapat terlindikan secara perlahan.