Skeptis Melihat Janji 20 Miliar Dollar AS di COP 26
Di Kesepakatan Paris 2015, negara-negara kaya menjanjikan 100 miliar dollar AS untuk mitigasi krisis iklim di negara-negara berkembang dan miskin per tahun 2020. Setelah itu, mereka mengumumkan tidak mampu memenuhinya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
GLASGOW, SELASA — Para kepala negara yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 di Skotlandia, Selasa (2/11/2021), mengeluarkan pernyataan bersama. Isinya mereka berjanji menyisihkan dana 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 285 triliun) untuk mitigasi perubahan iklim. Akan tetapi, komitmen ini ditanggapi secara lesu oleh para pengamat lingkungan.
”Dana ini untuk menghentikan penebangan hutan atau deforestasi per tahun 2030. Hutan adalah paru-paru dunia dan sumber kehidupan kita semua,” kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson selaku tuan rumah. Dalam KTT pada Selasa juga diputar video sambutan dari Ratu Elizabeth II yang mengajak agar semua pemimpin dunia bersatu untuk memperhatikan kelestarian lingkungan serta memikirkan cara memajukan masyarakat tanpa merusak alam.
Kesepakatan dana 20 miliar dollar AS itu ditandangani oleh 100 kepala negara, termasuk dari negara-negara yang memiliki 85 persen hutan dunia, yaitu Indonesia, AS, Kanada, Rusia, China, Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Inggris. Selain itu, 28 negara juga berjanji memastikan deforestasi dihapus dari proses produksi hasil pertanian, perkebunan, dan perhutanan, seperti kelapa sawit, kedelai, dan kakao.
Penghentian deforestasi adalah salah satu upaya penyerapan karbon. Apabila emisi terus meningkat, suhu Bumi akan naik 1,5 derajat celsius yang mengakibatkan pemanasan global parah dan tidak bisa diperbaiki. Permukaan air laut akan naik akibat lelehan gletser dan es, kekeringan parah melanda sebagian besar Bumi yang membuat 255 juta orang terancam kelaparan pada 2050.
Benarkah?
Mengingat mengecewakannya hasil KTT 20 negara berekonomi terbesar dunia atau G-20 pekan lalu dalam komitmen terhadap mitigasi krisis iklim, para pengamat lingkungan tidak berani berharap banyak dari janji COP 26 ini. Direktur Pusat Perkembangan dan Perubahan Iklim Bangladesh Saleemul Haq, yang terus mengikuti COP sejak pertama kali dihelat di Berlin, Jerman, tahun 1995, mengatakan, selama ini tidak ada perubahan yang berarti.
”Di Kesepakatan Paris 2015, negara-negara kaya berjanji menghibahkan 100 miliar dollar AS untuk mitigasi krisis iklim di negara-negara berkembang dan miskin per tahun 2020. Namun, setelah itu, mereka mengumumkan tidak mampu memenuhi komitmen itu hingga tahun 2023. Wajar jika masyarakat skeptis dengan janji kali ini,” ujarnya.
Dana mitigasi ini penting karena industri di negara-negara berkembang berasal dari investasi negara-negara maju. Pabrik-pabrik di negara berkembang umumnya memproduksi barang-barang dari jenama ataupun hak cipta negara maju. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara berkembang bergantung pada tarif listrik murah yang disokong batubara.
Apabila negara berkembang harus menurunkan emisi, butuh investasi dana dan teknologi agar bisa memperbanyak pembangkit listrik ramah lingkungan. Hal ini juga harus didukung dengan kemauan politik dalam negeri serta desakan dunia internasional. Oleh sebab itu, misi dekarbonisasi tidak bisa dilihat sebagai capaian sendiri-sendiri, melainkan saling terkait secara global.
Pada September lalu, di Kongres Konservasi Global di Marseille, Perancis, masyarakat adat dari Brasil, Peru, dan Kolombia meminta agar ada kerja sama konservasi antarnegara di Amerika Selatan untuk menjadikan 80 persen rimba Amazon sebagai hutan lindung. Mereka juga meminta agar masyarakat adat selalu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan pemanfaatan hasil hutan guna memastikan tidak ada tindakan yang merusak alam. Menjadikan Amazon sebagai kawasan dilindungi lebih efektif daripada sekadar menghentikan deforestasi.
Kekhawatiran dan kekecewaan itu ada dasarnya. Presiden AS Joe Biden keras menggaungkan komitmen AS untuk dekarbonisasi pada 2050. Kenyataannya, di dalam negeri sendiri publik meragukan ia bisa menyisihkan 1,75 triliun dollar AS untuk rehabilitasi lahan di tanah air. Hal ini karena beberapa senator pendukung Biden di Partai Demokrat berasal dari negara-negara bagian yang menjadikan pertambangan batubara sebagai pendapatan utama, misalnya di Negara Bagian Virginia.
Demikian juga dengan China dan India. China tetap tidak memberikan cetak biru yang jelas untuk misi pengurangan karbon mereka. Presiden Xi Jinping hanya mengatakan, China akan dekarbonisasi pada 2060 atau satu dekade lebih lama dibandingkan dengan AS, Inggris, dan Uni Eropa.
Perdana Menteri India Narendra Modi di COP 26 mengumumkan, target dekarbonisasi India malah lebih lama lagi, yaitu tahun 2070. ”Patut diperhatikan bahwa walaupun jumlah penduduk India 17 persen dari populasi global, kami hanya menghasilkan 5 persen emisi,” ujarnya.
Modi menyatakan akan meningkatkan produksi listrik bersumber dari energi bersih sebesar 500 gigawatt per tahun 2030. Sebanyak 70 persen listrik dan energi di negara ini berasal dari batubara. India dalam pertemuan G-20 maupun COP 26 sama sekali tidak menyinggung skema pengurangan batubara. (AFP/Reuters)