Di tengah banyak laporan tentang pangan dan perubahan iklim, warga dunia diajak mulai menyadari apa yang tersaji di atas piringnya. Diet sehat dan ramah iklim semakin sering digaungkan demi masa depan Bumi.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·5 menit baca
Beragam laporan terkait pangan dan perubahan iklim menyisakan tanda tanya: bagaimana kita makan, memasak, dan berbelanja bahan makanan agar tidak turut ”memanaskan” Bumi? Tentu tidak serta-merta kita harus menjadi vegan, tetapi bisa dimulai dari memberikan lebih banyak perhatian terhadap sajian di atas piring.
Sekitar dua tahun lalu ramai bermunculan studi dan kajian tentang kaitan makanan dengan pemanasan global. Benarkah makanan yang kita santap sehari-hari berkontribusi pada cuaca buruk yang akhir-akhir ini semakin intens menimpa planet ini.
Tahun 2019, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporan bertajuk ”Global Warming of 1,5˚ C” menyebutkan, lebih dari sepertiga emisi gas rumah kaca berasal dari produksi, distribusi, dan konsumsi makanan. Ini mencakup kegiatan menanam seluruh tanaman dan mengembangbiakkan hewan yang kita makan, dari daging sapi, ayam, ikan, susu, padi, kale, jagung, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya pemrosesan, pengepakan, dan pengiriman makanan ke pasar di seluruh dunia. Jika kita makan makanan itu, artinya kita bagian dari sistem pangan ini.
Menyikapi persoalan tersebut, pada 23 September lalu PBB menggelar KTT Sistem Pangan atau Food System Summit 2021. ”Laporan IPCC jelas menyatakan kita dalam ’kode merah’. Kita tidak bisa mencapai target (pembatasan kenaikan suhu) 1,5 derajat celsius kecuali kita memperbaiki sistem pangan. Bagaimana makanan dikonsumsi membebani kesehatan 3 miliar orang. Hampir 1 miliar orang tidur dengan kelaparan setiap malam,” kata Agnes Kalibata, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk KTT Sistem Pangan.
Seperti disebutkan, konsumsi daging merah dan produk susu, terutama sapi dan domba, meninggalkan jejak karbon terbesar per gram protein. Hewan ternak ini menyumbang 14,5 persen efek gas rumah kaca setiap tahun. Ini secara kasar hampir sama dengan emisi gabungan dari seluruh mobil, truk, pesawat, dan kapal di dunia saat ini.
Artikel Climate change food calculator yang dilansir laman BBC (9/8/2019) bisa menjadi acuan untuk mulai memikirkan ulang makanan di piring kita. Tulisan itu mengutip penelitian oleh Joseph Poore dari University of Oxford dan Thomas Nemecek dari Divisi Riset Agroekologi dan Lingkungan di Zurich, Swiss. Isinya, dampak lingkungan dari 40 jenis makanan yang mayoritas dikonsumsi secara global.
Keduanya menganalisis data dari 40.000 pertanian serta 1.600 pemrosesan dan penjualan makanan untuk menemukan dampak sistem pangan terhadap perubahan iklim. Lewat kalkulator makanan itu, bisa diketahui berapa besar emisi karbon dari jenis dan porsi makanan tertentu.
Contohnya, daging sapi yang dikonsumsi 1-2 kali sepekan. Hasil kalkulator memperlihatkan, daging itu menghasilkan 604 kilogram (kg) pada emisi tahunan seseorang. Itu setara dengan emisi yang dihasilkan dari menyetir 2.482 kilometer (km) atau tanah seluas enam lapangan tenis.
Nasi yang dimakan dua kali sehari akan menyumbang 242 kg emisi tahunan seseorang. Ini setara dengan menyetir 998 km atau pemanas rumah menyala 38 hari atau 1.888 kali mandi selama masing-masing 8 menit.
Daging ayam, telur, dan daging babi memiliki jejak karbon lebih kecil dibandingkan dengan daging merah, bisa jadi alternatif pengganti. Susu, yogurt, dan keju juga meninggalkan jejak karbon menengah. Namun, jenis keju tertentu, seperti cheddar dan mozzarella, memiliki jejak karbon lebih tinggi daripada daging ayam atau babi.
Pangan berbasis tumbuhan cenderung memiliki jejak karbon terkecil. Buah, sayuran, dan kacang-kacangan beserta aneka olahannya sangat disarankan.
Tidak berhenti
Namun, sekali lagi, diet ramah planet ini tidak meminta setiap orang lantas berhenti mengonsumsi daging. Sejumlah pakar, seperti dikutip New York Times dalam artikel ”How to shop, cook, and eat in a warming world” (30/4/2019), mengatakan, sistem pangan berkelanjutan masih bisa memasukkan unsur hewani. Di banyak negara, daging, telur, dan susu sangat vital sebagai sumber gizi, terlebih saat tidak ada alternatif pangan memadai.
Persoalannya, jutaan orang di dunia, terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, makan jauh lebih banyak daging dibandingkan dengan yang diperlukan tubuhnya untuk sehat. Maka, yang disarankan adalah mengurangi porsi makanan, terutama daging sapi, domba, dan keju.
Yang menarik, riset oleh Climate Change Communication, Yale, bertajuk Climate Change and the American Diet pada Februari 2020 menemukan, kini semakin banyak warga AS yang bersedia mengurangi konsumsi daging merah dan mau makan pangan berbasis tumbuhan. Sebelumnya, sebuah riset mengategorikan warga AS dalam enam kelompok berdasarkan keyakinan, perilaku, dan tindakan terkait perubahan iklim. Global Warming’s Six Americas ini terdiri dari warga alarmed (sadar), concerned (khawatir), cautious (hati-hati), disengaged (tidak ingin terlibat), doubtful (ragu-ragu), dan dismissive (mengabaikan).
Catatan dari warga AS yang bersedia untuk diet demi planet ini, 44 persen responden ini tidak menyukai rasa makanan olahan berbasis tumbuhan. Sebanyak 67 persen bersedia menyantap makanan berbasis tumbuhan jika rasanya lebih enak.
Jika mengurangi daging terasa sulit atau enggan menyantap makanan berbasis tumbuhan, salah satu cara simpel untuk diet demi planet ini adalah tidak membuang makanan. Berbelanja makanan yang dibutuhkan dan benar-benar memakannya sampai habis berarti energi yang dipakai untuk memproduksi makanan itu digunakan secara efisien.
Paus Fransiskus pernah menyatakan, membuang makanan berarti membuang orang. Paus memperbarui seruannya tentang tanggung jawab bersama terhadap planet ini menjelang pelaksanaan KTT Perubahan Iklim (COP 26). ”Pemimpin politik harus memberikan harapan konkret kepada generasi mendatang bahwa mereka mengambil langkah radikal yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim saat bertemu di COP 26,” katanya, Jumat (29/10/2021).
Agnes Kalibata juga menekankan, pembahasan tentang sistem pangan harus memainkan peran penting dalam COP 26. ”Lebih dari 160 negara berkomitmen untuk memperbaiki keamanan pangan dan gizi melalui sistem pangan. Ini yang sekarang harus diterjemahkan dalam kebijakan dan tindakan. Pemerintah harus mengubah sistem pangan dengan target dan tenggat yang jelas,” katanya.
Bersantap saat ini tidak sekadar menikmati nasi beserta lauknya. Mengutip Kalibata, ”Makanan lebih dari sekadar yang masuk ke mulut.” Dari mana datangnya, apa dampaknya bagi kita dan lingkungan sekitar, serta bagaimana memperbaiki cara kita memakannya menentukan masa depan.