Masyarakat Adat Amerika Selatan Minta Amazon Jadi Hutan Lindung
Masyarakat adat di berbagai penjuru Bumi selama ini kesulitan untuk membuat aspirasi mereka didengar pada tingkat nasional maupun internasional. Kini mereka dihitung sebagai satu blok agar bisa aktif merancang kebijakan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
MARSEILLE, SENIN — Perwakilan masyarakat adat yang tinggal di lembah Sungai Amazon, Amerika Selatan, meminta agar per tahun 2025 sebanyak 80 persen wilayah tersebut dinyatakan sebagai hutan lindung. Ini pertama kalinya kelompok masyarakat adat ikut serta dalam Kongres Konservasi Global serta terlibat aktif sebagai peramu dan pengambil kebijakan.
Permintaan tersebut disampaikan dalam Kongres Konservasi Global yang diadakan di Marseille, Perancis, Senin (6/9/2021). Kongres yang diadakan setiap empat tahun ini melibatkan 16.000 peserta yang hadir secara langsung maupun daring. Alasan menjadikan wilayah Amazon yang mencakup Peru, Kolombia, dan Brasil ini sebagai hutan lindung lantaran merupakan paru-paru dunia dan rumah bagi keanekaragaman hayati terbanyak di dunia.
Selain itu, masyarakat adat juga menuntut agar mereka dilibatkan oleh pemerintah setempat maupun organisasi-organisasi internasional terkait rencana konservasi maupun pemanfaatan wilayah Amazon. ”Tidak adil jika pendapat yang didengar hanya lembaga-lembaga dari luar negeri, sementara kami yang sudah turun-temurun tinggal di hutan dan hidup dari hutan tidak bisa punya andil dalam menentukan kelestarian sumber kehidupan kami,” kata Jose Gregorio Diaz Mirabal dari COICA, organisasi yang mewakili sembilan suku di Amazon.
Secara sporadis, masyarakat adat Amazon telah memprakarsai berbagai gerakan pelestarian lingkungan. Suku Wachiperi di Peru bagian selatan, misalnya, selama 15 tahun terakhir berhasil melindungi 400.000 hektar hutan Amazon dari pembalakan. Mereka menggaet warga setempat beserta pemerintah daerah untuk mencari cara lain meningkatkan ekonomi lokal.
”Kami mengampanyekan penjualan karbon. Dari hutan yang lestari semestinya bisa disetarakan dengan jumlah emisi karbon yang dicegah terbentuk. Nilai ekonomi ini yang dapat dijual untuk pembangunan daerah,” kata Walter Quertehari, perwakilan suku Wachiperi.
Masyarakat adat di berbagai penjuru Bumi selama ini kesulitan untuk membuat aspirasi mereka didengar pada tingkat nasional maupun internasional. Kongres Konservasi Global, misalnya, diadakan oleh Badan Konservasi Dunia (IUCN), sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bergabung dengan IUCN membutuhkan biaya 300 dollar AS hingga 21.000 dollar AS, bergantung besar dan cakupan organisasi maupun negaranya.
Uang masuk ini sulit dipenuhi oleh masyarakat adat. Selain itu, masyarakat adat bukan sebuah organisasi formal berdasar standar modern. Mereka terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang jika dilihat dari struktur administrasi formal tidak memenuhi syarat memasuki IUCN.
Oleh sebab itu, pada kongres ini dilakukan terobosan, yaitu menghitung masyarakat adat sebagai satu blok. Cara ini membuat mereka bisa aktif merancang kebijakan dan juga diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
Aissatou Dicko, seorang perwakilan masyarakat adat dari Burkina Faso, berharap bergabungnya blok masyarakat adat dalam IUCN ini bisa melancarkan komunikasi dengan pemerintah dan ilmuwan.
”Pengetahuan-pengetahuan tradisional banyak yang tidak digubris oleh ilmuwan karena kami selama ini tidak memiliki akses untuk berdiskusi dengan akademisi ataupun peneliti. Padahal, ini merupakan kekayaan untuk bersama-sama mencapai target keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.
Kekuatan blok masyarakat adat ini harapannya bisa mendorong pemerintah suatu negara untuk aktif melibatkan masyarakat adat. Hal ini merupakan kesulitan, termasuk di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, dan Australia. Tidak jarang masyarakat adat dikriminalisasi dengan alasan menolak pembangunan, padahal konsep pembangunan yang ditawarkan pemerintah lebih banyak merusak alam dibandingkan dengan nilai ekonominya.
Salah satu contohnya ialah di Provinsi New Brunswick, Kanada. Perubahan iklim mengakibatkan pemanasan global yang dalam 30 tahun terakhir meningkatkan suhu 1,1 derajat celsius. Dilansir dari CBC News, masyarakat adat sudah diajak untuk berkerja sama dengan pemerintah provinsi menanggulangi kerusakan alam.
Berbagai tanaman endemik mulai menghilang atau mengandung mineral dan logam berat akibat air yang tercemar. Akibatnya, sejumlah suku terpaksa bepergian hingga 60 kilometer untuk mencari tanaman-tanaman pangan dan obat-obatan yang tumbuh atau dialiri air bersih.
Sophia Sidarious (19), anggota masyarakat adat Metepenagiag Mi’kmaq, merupakan salah satu dari 15 anak muda New Brunswick yang menggugat Pemerintah Kanada ke pengadilan. Mereka meminta agar pelestarian lingkungan dengan melibatkan masyarakat adat ini memiliki payung hukum nasional, bukan sebatas peraturan provinsi. Gugatan mereka kalah di pengadilan negeri dan kini tengah dalam proses naik banding.
Laporan yang dikeluarkan oleh Jaringan Peduli Lingkungan Masyarakat Adat Amerika Utara (Indigenous Environmental Network/IEN) dan Oil Change International pada Agustus 2021 menyebutkan bahwa masyarakat adat Amerika Utara berjuang mencegah pembangunan 400 pembangkit listrik bertenaga batubara, penambangan minyak bumi, serta pemasangan pipa untuk minyak dan gas alam.
Jika ditotal, perjuangan mereka ini bisa menekan produksi seperempat emisi karbon di AS dan Kanada. Sebagai gambaran, AS memproduksi 18 persen karbon dunia dan menduduki peringkat kedua setelah China. (AFP)