Negara-negara miskin dan berkembang masih mengalami kekurangan biaya untuk menurunkan target adaptasi dan mitigasi iklim.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
DOK FRIENDS OF THE EARTH INTERNATIONAL
Aktivis beraksi di lokasi Konferensi Perubahan Iklim Ke-24 di Katowice Polandia atau COP 24 UNFCCC (8/12/2018). Dalam aksi March for Climate ”Wake up! It’s Time to Save Our Home” ini mereka meminta negara-negara untuk menjalankan aksi serius mengingat kondisi Bumi yang sudah darurat akibat pemanasan global.
Kurang tersedianya dana membuat negara-negara berkembang semakin sulit menghadapi perubahan iklim. Meskipun skema bantuan pendanaan dari negara maju telah berjalan, hingga saat ini target pengendalian iklim belum juga tercapai. Tanpa bantuan pendanaan itu, negara berkembang semakin terdampak perubahan iklim.
Tahun ini berbagai bencana berkaitan dengan perubahan iklim terjadi di wilayah yang tidak terduga. Gelombang panas dan kebakaran lahan sempat melanda Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa. Banjir parah terjadi di beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Swiss, Italia, dan Inggris pada pertengahan tahun.
Peristiwa-peristiwa tersebut membuktikan bahwa tidak ada satu negara pun yang selamat dari dampak perubahan iklim. Dampak perubahan iklim semakin nyata.
Tidak berlebihan jika Konferensi Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow pada 31 Oktober hingga 12 November disebut-sebut akan menjadi kesempatan terakhir negara-negara di dunia untuk menahan perubahan iklim. Kesepakatan yang diambil dalam konferensi ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan bagi Bumi di saat kondisinya semakin buruk.
Pertemuan yang akan diikuti sekitar 200 negara ini akan membahas upaya setiap negara dalam mengurangi emisi karbon demi menahan kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat celsius. Sesuai dengan Perjanjian Paris 2015, hampir 200 negara yang menyepakati kemudian membuat Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang berisi target pengurangan emisi karbon.
AP/DAIKI KATAGIRI
Termometer di kota Kumagaya, utara Tokyo, Jepang, 23 Juli 2018, menunjukkan suhu udara mencapai 41,0 derajat celsius. Deraan gelombang panas yang saat itu melanda Jepang dan Korea Selatan mengakibatkan sejumlah warga meninggal dunia.
Target tersebut dapat dicapai dengan beberapa cara seperti mengurangi deforestasi maupun transisi energi terbarukan. Akan tetapi, upaya tersebut membutuhkan dana yang besar. Setidaknya setiap tahun dibutuhkan triliunan dollar AS untuk mencapai target Perjanjian Paris 2015.
Karena itu, hingga lima tahun Perjanjian Paris berlaku, hanya negara-negara maju yang mampu melakukannya dengan lebih optimal. Bagi negara miskin dan berkembang, upaya tersebut terasa berat. Untuk menyediakan kebutuhan dasar saja masih sulit, apalagi menganggarkan dana untuk mengatasi perubahan iklim.
Permasalahannya, negara miskin dan berkembang yang secara umum lebih terdampak perubahan iklim akan semakin terancam karena kurangnya biaya untuk menghadapi krisis global itu. Topik tersebut termasuk dalam poin penting yang akan dibahas dalam Konferensi Perubahan Iklim Glasgow nanti.
Menyadari kondisi itu, sebenarnya pada Pertemuan Iklim PBB di Copenhagen 12 tahun lalu telah disepakati sebuah solusi untuk membantu negara miskin dan berkembang menghadapi perubahan iklim. Sebanyak 23 negara maju sepakat memberikan dana 100 miliar dollar AS per tahun pada 2020 kepada negara-negara miskin dan berkembang. Pendanaan tersebut digunakan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Belum tercapai
Sayangnya, pendanaan tersebut diperkirakan belum mencukupi untuk menurunkan target adaptasi dan mitigasi yang ditetapkan. Negara-negara miskin dan berkembang tetap kekurangan biaya. Padahal, tanpa pendanaan ini, peluang negara-negara miskin dan berkembang bisa menghadapi perubahan iklim sangat kecil.
Melihat data selama beberapa tahun terakhir yang tercatat di OECD, pendanaan belum pernah mendekati target yang ditentukan. Data terakhir pada 2019 menyebutkan, pendanaan yang telah disalurkan hanya 79,6 miliar dollar AS atau 80 persen dari target. Pendanaan tersebut berasal dari hibah atau pinjaman publik secara bilateral maupun multilateral, kredit ekspor, dan pembiayaan privat.
Dari jumlah itu, 50,8 miliar dollar AS digunakan untuk program mitigasi. Sisanya digunakan untuk proyek adaptasi (20,1 miliar dollar AS) serta program ganda mitigasi dan adaptasi (8,7 miliar dollar AS).
Nilai pendanaan itu memang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai pembanding, pada 2016, jumlah dana yang disalurkan hanya 58,5 miliar dollar AS.
AFP/DENE CHEN
Anak-anak sekolah di Bangkok berpartisipasi dalam “Global Climate Strike” (20/9/2019). Hal serupa terjadi juga di banyak kota di Asia Pasifik, seperti Sydney, Mumbai, Manila, menjadikannya unjuk rasa terbesar anak-anak menuntut komitmen yang lebih besar dari pengambil kebijakan dunia dan perusahaan multinasional terhadap perubahan iklim.
Akan tetapi, peningkatan itu tidak menjamin tercapainya target awal 100 miliar dollar AS pada 2020. Apalagi karena Covid-19, menurut data Bank Pembangunan Multilateral (MDB), pendanaan diperkirakan menurun pada 2020. Lembaga Oxfam juga memperikirakan, dana yang akan disalurkan pada 2025 hanya mencapai 93 sampai 95 miliar dollar AS.
Memang tidak ada kesepakatan formal yang menetapkan nilai pendanaan yang wajib diberikan oleh setiap negara-negara maju. Pendanaan didasarkan pada kemampuan dan kemauan setiap negara dengan harapan negara lain akan mengikuti langkahnya. Sisi buruknya, tidak ada yang menjamin target 100 miliar dollar AS itu akan terpenuhi.
Lemahnya komitmen negara-negara maju menjadi akar masalah dari gagalnya capaian target ini. Melalui perbandingan berbagai permodelan yang dilakukan WRI, seharusnya sejumlah negara mampu dan mau mengeluarkan lebih banyak dana agar target tercapai.
Semakin terdampak
Lemahnya komitmen bantuan pendanaan ini juga dapat dilihat sebagai lemahnya tanggung jawab negara-negara maju atas kontribusinya terhadap perubahan iklim. Jika dilihat secara historis, negara-negara maju berkontribusi lebih besar terhadap perubahan iklim dibandingkan saat ini karena menyumbang emisi karbon dalam periode yang lebih lama.
Data dari IMF menyebutkan, jika dilihat dari kumulatif emisi karbon, AS menyumbang 25 persen dari total. Uni Eropa berkontribusi 22 persen dari total emisi karbon.
Saat ini memang negara-negara miskin dan berkembanglah yang menjadi penyumbang terbanyak emisi karbon. Akan tetapi, secara kumulatif, emisi karbon yang dihasilkan tidak sebesar negara-negara maju.
Sementara justru negara-negara miskin dan berkembang inilah yang paling terdampak saat ini. Pertama, karena mereka masih bergantung pada sektor-sektor yang memanfaatkan sumber daya alam. Perubahan iklim sedikit saja akan sangat berpengaruh pada sektor-sektor itu. Akibatnya, perekonomian terganggu.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Foto aerial areal persawahan yang mengering di Desa Sirnajati, Kecamatan Cipamingkis, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (22/8/2019). Saat musim kemarau, kekeringan melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Bekasi.
Kedua, mereka juga harus berhadapan pada semakin terbatasnya akses terhadap kebutuhan dasar seperti air, tempat tinggal, dan pangan karena perubahan iklim. Sebelum kondisi Bumi bertambah parah saja, negara-negara ini harus berjibaku memenuhi kebutuhan dasar itu bagi warganya.
Dapat dibayangkan, dengan kekeringan yang melanda di wilayah miskin dan kering, air semakin diperebutkan. Permukaan air laut yang semakin naik merendam permukiman penduduk yang didominasi kelompok ekonomi bawah. Mereka yang mengandalkan hasil pangan dari hasil tanamnya sendiri karena tidak memiliki biaya untuk membeli juga semakin terdampak dengan cuaca yang tidak menentu. Jika dibiarkan, krisis alam akan berkembang menjadi krisis kemanusiaan.
Tidak hanya itu, perubahan iklim juga akan memperparah ketimpangan antarnegara. Karena sektor-sektor usaha terdampak perubahan iklim, perekonomian terancam. Negara yang bergantung pada sektor ini akan semakin tertinggal. Upaya untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklimpun terabaikan.
Besarnya pembiayaan untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sangat membebani perekonomian negara miskin dan berkembang. Sebab, biaya yang dibutuhkan sering kali lebih besar dari kemampuan pendanaan suatu negara.
Contoh kasus di perdesaan Bangladesh menunjukkan keluarga miskin di wilayah itu harus menghabiskan biaya dua miliar dollar AS per tahun untuk mengantisipasi dan memperbaiki dampak bencana yang terkait perubahan iklim. Jumlah tersebut lebih besar dari pendanaan pemerintah dan 12 kali lebih banyak dari pendanaan iklim internasional melalui skema multilateral yang diterima Bangladesh.
Karena itulah, skema pendanaan iklim internasional menjadi sangat penting bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk menghadapi perubahan iklim. Inilah yang perlu didorong dalam pembahasan Konferensi Perubahan Iklim Glasgow nanti.
Hal ini dimulai dengan memperjelas dan memperkuat komitmen pendanaan dari negara-negara maju. Kemudian, perlu juga menyamakan dasar perhitungan pendanaan iklim. Sebab selama ini terdapat perbedaan skema pendanaan yang telah disalurkan.
Misalnya, sebagian negara pemberi dana menganggap dana pinjaman termasuk dalam pembiayaan iklim. Sementara lembaga Oxfam berpendapat hanya hibah saja yang terhitung bukan dana pinjaman. Hal ini berdampak pada pelaporan data pendanaan.
Perubahan iklim menjadi bencana global yang harus dihadapi bersama. Tidak ada negara yang tidak terdampak. Namun, kemampuan untuk menghadapinya berbeda-beda. Karena itu, dibutuhkan solidaritas demi bertahan sekaligus mengantisipasi dampak yang lebih parah. (LITBANG KOMPAS)