COP 26 Tumpuan Harapan untuk Aksi Nyata Mitigasi Perubahan Iklim
Meskipun COP 26 disebut-sebut menjadi harapan akan masa depan Bumi, mayoritas pakar lingkungan telanjur pesimistis. Ini karena sejumlah pemimpin negara penghasil karbon utama tidak hadir secara langsung.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GLASGOW, SENIN — Pemimpin dari 120 negara berkumpul di Glasgow, Skotlandia, pada hari Senin (1/11/2021) untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26. Kegiatan ini menjadi tumpuan harapan masyarakat global mengenai rencana aksi nyata negara-negara untuk menurunkan suhu Bumi 1,5 derajat celsius setelah hasil yang mengecewakan di KTT G-20 pekan lalu.
Acara dibuka oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang mengatakan bahwa apabila COP 26 gagal memberi solusi, seluruh pemimpin dunia akan menghadapi kemarahan generasi muda. Merekalah yang akan menanggung beban akibat tumpukan emisi yang dihasilkan oleh era industri. Anak-anak muda harus menghadapi kenyataan bahwa tempat tinggal mereka rentan terkena bencana alam akibat perubahan iklim yang mengakibatkan kehilangan tempat tinggal, nafkah, sumber pangan, dan keanekaragaman hayati.
Sebelumnya, pada KTT 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G-20) di Roma, Italia, Johnson mengungkapkan bahwa Inggris memiliki target paling ambisius dibandingkan dengan semua negara di dunia. Ia mengatakan bahwa per tahun 2030 negara itu tidak akan lagi memproduksi kendaraan yang memakai energi fosil. ”Kami juga membidik di tahun 2035 sama sekali tidak ada pemakaian hidrokarbon,” ujarnya.
Pesimistis
Meskipun COP 26 adalah harapan, mayoritas pakar lingkungan telanjur pesimistis. Pasalnya, para pemimpin negara-negara penghasil karbon terbesar mayoritas tidak hadir. Presiden China Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador tidak datang ke Glasgow. Mereka direncanakan hadir secara virtual.
Erdogan batal datang ke Glasgow dengan alasan keamanan. Menurut keterangan dari Ankara, Pemerintah Inggris menolak jumlah delegasi Turki yang hendak ke Glasgow. Akibatnya, Erdogan memilih tidak jadi datang. Selain Amerika Serikat, pemimpin dari negara penghasil karbon terbesar dunia yang datang ke COP 26 adalah Perdana Menteri India Narendra Modi.
Sekretaris Urusan Iklim untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Christiana Figueres memaparkan, butuh tindakan drastis dari semua negara di dunia untuk mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius. Kesepakatan Paris 2015 memang telah menghasilkan Kontribusi Determinasi Nasional (NDC) tiap-tiap negara. Akan tetapi, seiring bertambahnya emisi, target NDC ini tidak akan bisa menurunkan suhu Bumi dalam lima tahun ke depan.
Permasalahannya, antara negara maju dan negara berkembang, termasuk para anggota G-20 sekalipun, belum mencapai persepsi yang sama untuk menangani masalah iklim. China, Rusia, dan Arab Saudi, misalnya, menargetkan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau satu dekade lebih lama dibandingkan target AS, Inggris, dan Uni Eropa. Australia bahkan belum memberikan target apa pun karena mereka merupakan pengahsil batubara.
Arab Saudi mengatakan bahwa mereka akan mencapai puncak emisi di tahun 2030. Selama sembilan tahun ke depan, mereka akan meningkatkan produksi minyak meskipun Menteri Energi Pangeran Abdulaziz bin Salman menuturkan, perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, akan memaksimalkan pemakaian teknologi penangkapan karbon. China juga mengatakan akan mencapai puncak emisi di tahun 2030, tetapi mereka sama sekali tidak menyinggung upaya meminimalkan emisi untuk sembilan tahun ke depan.
Selain itu, juga ada persoalan kegagalan negara-negara maju membayar 100 miliar dollar AS untuk mitigasi iklim di negara-negara miskin. Tanpa dana ini, negara berkembang dan miskin akan sukar menurunkan emisi karena tidak memiliki teknologi memadai. Salah satu contohnya ialah Benua Afrika. Menurut data PBB, benua ini hanya menghasilkan 3 persen emisi global. Akan tetapi, kajian terbaru Bank Dunia menyebutkan bahwa di tahun 2050 negara-negara di Afrika bagian timur akan mengalami kemarau parah yang berisiko membuat 38 juta orang menjadi pengungsi.
Ada pula negara-negara kepulauan yang terancam tenggelam akibat terus menaiknya permukaan air laut. ”Dana 100 juta dollar itu jangan dilihat sebagai derma, tapi ini hidup dan mati manusia,” kata perwakilan Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil (Alliance of Small Island States) Lia Nicholson. (AFP/AP/REUTERS)