Mencari Akur Lewat Infrastruktur
Pertarungan kekuatan-kekuatan besar di Asia Tenggara sulit dihindari. Cara terbaik meredam rivalitas itu: merangkul mereka untuk berkontribusi positif. Indonesia menyodorkan pelantar kerja sama infrastuktur.
Rangkaian pertemuan para pemimpin ASEAN dengan para sejawatnya pada 26-28 Oktober 2021 selesai dengan salah satu kesimpulan: persaingan kekuatan besar amat nyata di kawasan. Sebagai yang terdampak, ASEAN berkepentingan mengelola persaingan di kawasan.
Presiden Joko Widodo secara terbuka menunjukkan kegelisahan atas persaingan itu. Bahkan, Presiden menyesalkan fakta persaingan semakin meruncing di tengah pandemi Covid-19. Padahal, kehadiran pandemi seharusnya menjadi kesempatan bersejarah untuk menunjukkan kerja sama dan solidaritas global.
Baca juga: KTT ASEAN Tak Jawab Sebagian Persoalan Konkret Kawasan
Alih-alih menjadi pendorong kerja sama, pandemi justru menjadi salah satu bahan persaingan sengit. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda persaingan yang terus melebar hingga perlombaan senjata itu akan mereda. "Tidak ada yang diuntungkan dari berlanjutnya situasi ini dan kita harus segera mengakhirinya," kata Presiden.
Bagi pengamat internasional, Dewi Fortuna Anwar dan Aaron Connelly, rangkaian KTT ASEAN tetap menunjukkan sisi positif. Lewat East Asia Summit (EAS) pada Rabu (27/10), ASEAN mempertemukan pemimpin Australia, Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, hingga Rusia di satu forum.
Memang ada sedikit kegelisahan sejumlah pihak di luar kawasan karena Presiden China Xi Jinping tidak hadir pada pertemuan virtual itu. Walakin, hal itu dimaklumi mengingat sudah hampir dua tahun Xi tidak terlibat dalam berbagai forum internasional secara langsung maupun virtual. Xi juga melewatkan KTT G-20 di Roma, Italia, dan Pertemuan Para Pihak (COP 26) tentang Iklim di Glasgow, Skotlandia. Selain itu, di KTT ASEAN, China juga kerap diwakili PM Li Keqiang.
Fakta Presiden AS Joe Biden mau hadir di EAS, menurut Connelly, menunjukkan AS mau menghormati pihak lain yang relatif lebih kecil. “Hal itu amat langka dalam konteks AS,” kata Connelly dari International Institute for Strategic Studies (IISS).
Baca juga: Tiga Tantangan Serius ASEAN
Dewi mengatakan, EAS kembali menunjukkan ASEAN masih bisa menjadi penyedia forum bagi kekuatan yang tengah bersaing. Meski mungkin pernyataan di EAS hanya sebatas perkataan, menurut profesor riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu, setidaknya para pemimpin negara besar yang tengah bersaing itu mau bertemu dalam satu forum. Hal ini selaras dengan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik yang menyebut penerapan sentralitas ASEAN akan memanfaatkan forum-forum yang telah ada, termasuk EAS.
EAS, menurut Dewi dalam diskusi dengan Kompas, Jumat lalu, bisa jadi penyeimbang bagi pelantar kerja sama yang ekslusif, seperti AUKUS atau Quad. EAS menawarkan inklusivitas, dan ini penting guna mendorong semua pihak terlibat.
“Biasanya East Asia Summit adalah kesempatan besar untuk menganalisis siapa yang hadir dan gara-gara itu AS telah lama disorot kurang memberi perhatian dibandingkan Eropa atau Timur Tengah,” kata Julian Ku, pengajar hukum internasional pada Hofstra University, New York, AS.
Aliansi AUKUS
Ku mengatakan, memang biasanya EAS tidak secara terbuka menunjukkan polarisasi di kawasan. Isu-isu yang dibahas di forum itu lebih ke kerja sama atau yang skala ketegangannya lebih rendah bagi kawasan.
Soal kerja sama, kehadiran AUKUS jelas menunjukkan isu keamanan dan politik akan sulit dicari titik temu atau cara kerja sama inklusif di kawasan. Bahkan, di dalam ASEAN sekalipun, ada perpecahan gara-gara aliansi militer AS bersama Inggris dan Australia itu.
Baca juga: ASEAN Harus Curi Kesempatan
Indonesia dan Malaysia secara terbuka merisaukan peluang perlombaan senjata dan peningkatan ketegangan kawasan gara-gara AUKUS. ”Indonesia tidak ingin kawasan ini menjadi ajang perlombaan senjata dan menjadi power projection yang dapat mengancam stabilitas,” kata tegas Presiden Joko Widodo, yang menyatakan kekhawatiran Indonesia atas pembentukan AUKUS, dalam KTT ASEAN-Australia.
Filipina dan Singapura lebih positif menerima AUKUS. Ada pun anggota ASEAN lainnya tidak secara terbuka menunjukkan sikap soal aliansi itu.
Politisi Barisan Nasional Malaysia, Ong Tee Keat, menyebut AUKUS adalah penghinaan serius pada pada ASEAN. AUKUS secara jelas menantang deklarasi ASEAN tentang Asia Tenggara sebagai zona damai (ZOPFAN) 1971 dan zona bebas nuklir (SEANWFZ) 1995.
Menurut peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, William Choong, AUKUS punya dua sisi. Dari sisi positif, AUKUS menjadi penyeimbang China di kawasan. Beijing memang terus memperkuat kehadiran militernya di kawasan. Di sisi lain, kehadiran kelompok seperti AUKUS akan meningkatkan peluang salah paham yang memicu konflik terbuka. Kondisi itu menyulitkan ASEAN yang terus berusaha menjaga netralitasnya. “ASEAN tidak akan berpihak pada AS maupun China. Akan tetap seimbang,” kata dia.
Dewi menyebutkan, sebagian negara ASEAN memang sanggup tidak berpihak dan malah bisa meningkatkan daya tawarnya di tengah persaingan kekuatan besar. Namun, sebagian lain tidak punya kemampuan untuk itu.
Ekonomi
Pakar Asia Tenggara pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) AS, Greg Poling mengatakan, hal lain yang patut dicatat dari EAS dan KTT ASEAN-AS adalah janji AS meningkatkan kontribusi ekonominya di kawasan. Hal itu menunjukkan, pemerintahan AS di bawah Joe Biden menyadari salah satu kelemahan negaranya di kawasan.
“Bagi siapa pun, inisiatif ekonomi yang ditawarkan (Biden) adalah yang terbaik mengingat kondisi di Washington,” kata Poling.
Baca juga: Pemimpin ASEAN Pastikan Komitmen pada Multilateralisme
Dalam KTT ASEAN-AS dan EAS, Biden mengumumkan inisiatif 102 juta dollar AS untuk meningkatkan kemitraan stra- tegis AS dengan Indo-Pasifik. Dibandingkan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang dikucurkan China dengan nilai ratusan miliar dollar AS, pengumuman Biden nyaris tidak ada apa-apanya. Meski demikian, menurut Poling, setidaknya Biden mengakui kelemahan AS dan mencoba memperbaikinya.
Bagi Indonesia, kerja sama infrastruktur dan ekonomi menjadi salah satu peluang untuk mempertemukan semua pihak yang bersaing di kawasan. China dengan BRI dan AS dengan sejumlah rencananya bisa dipertemukan lewat beragam proyek infrastruktur yang dibutuhkan kawasan.
Dalam rangkaian KTT ASEAN pekan lalu, Jokowi mengumumkan rencana Indonesia menggelar KTT Infrastruktur Indo-Pasifik pada 2023. KTT itu bagian dari kegiatan Indonesia sebagai ketua bergilir ASEAN pada 2023. Lewat KTT itu, Indonesia mengajak pihak-pihak yang bersaing untuk berkompetisi dan berkontribusi secara positif bagi kawasan.
Undangan telah disampaikan kepada para mitra wicara ASEAN. Mereka diajak kembali terlibat lebih dalam di kawasan alih-alih hanya mengomeli inisiatif pihak lain. Undangan antara lain disampaikan ke Jepang, negara yang sudah lama hadir di kawasan, tetapi sedang menurun pengaruhnya di Asia Tenggara. Undangan juga ditawarkan ke Rusia, negara yang sebenarnya sudah ada di kawasan secara terbatas selama puluhan tahun. AS dan China tentu saja diundang. Apalagi, mereka punya inisiatif masing-masing.
Baca juga: Peran Sentral ASEAN Vital di Kawasan
Seperti disampaikan Jokowi, belum ada tanda persaingan kekuatan besar akan mereda. Di sisi lain, seperti disampaikan banyak pihak, ASEAN tidak berdaya untuk mencegah persaingan yang bisa memicu konflik terbuka di halaman rumahnya itu. Karena itu, pilihan logis bagi ASEAN adalah menyediakan pelantar seperti KTT Infrastruktur Indo-Pasifik.
Pelibatan berbagai pihak dalam inisiatif infrastruktur kawasan bisa menguntungkan kawasan. Bagi negara penerima, akan ada lebih banyak pilihan sumber pendanaan. Sementara bagi kekuatan besar yang tengah bersaing, ada pelantar untuk hadir di kawasan selain pengerahan aneka persenjataan. Lewat infrastruktur, setidaknya bisa ditemukan cara agar semua pihak bisa akur. (AFP/REUTERS)