Masyarakat adat sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka harus dilibatkan dalam penanganan perubahan iklim. Sebab, merekalah yang memiliki pengetahuan turun-temurun dari nenek moyangnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak masyarakat adat yang berani datang ke pengadilan untuk menggugat pemerintah negara masing-masing. Mereka memanfaatkan sistem pengadilan untuk mencambuk pemerintah agar segera menerapkan mitigasi iklim guna mencegah bencana yang mengakibatkan jutaan penduduk menjadi pengungsi. Tak hanya tempat tinggal hilang, identitas budaya suatu masyarakat, bahkan bangsa, akan ikut sirna.
Penduduk Kepulauan Selat Torres, sebuah wilayah bagian Australia, menggugat pemerintah federal karena lalai melakukan mitigasi perubahan iklim. Wilayah ini terdiri dari 274 pulau yang dihuni 5.000 jiwa. Mereka semua terancam tenggelam apabila pemanasan global tidak dihentikan. Selain itu, ikan dan biota laut yang biasa menjadi sumber pangan mereka juga kian berkurang.
”Kalau kami menjadi pengungsi akibat krisis iklim, bukan hanya akan mendatangkan kemiskinan. Budaya Kepulauan Torres juga akan punah, demikian juga identitas suku bangsa kami,” kata Paul Kabai, salah satu anggota gugatan perwakilan kelompok itu.
Pada September, negara di Kepulauan Pasifik, Vanuatu, menggugat perihal krisis iklim ke Pengadilan Internasional (ICJ). Mereka meminta pada Sidang Ke-77 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2022 sudah ada aksi nyata mitigasi krisis iklim, terutama di negara-negara miskin dan berkembang yang langsung merasakan dampak cuaca ekstrem.
Pada Mei lalu, pengadilan federal Australia memenangkan gugatan delapan remaja yang menolak pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara di luar kota Sydney. Mereka menyajikan bukti-bukti bahwa emisi batubara akan lebih banyak mendatangkan kerugian seperti penyakit dan kerusakan alam, walaupun listrik yang dihasilkan pembangkit listrik itu banyak dan murah.
Krisis iklim mengancam ekonomi serta tradisi turun-temurun. Di Georgia, misalnya. Di negara yang terletak di Eropa bagian timur ini budaya membuat wine, yaitu perasan anggur yang difermentasi, berdasarkan bukti-bukti arkeologis telah berlangsung selama 8.000 tahun. Bahkan, anggur dan wine menyumbang 9 persen dari ekspor Georgia.
Namun, pada Agustus, panen yang telah berbulan-bulan dinantikan para petani dan penyuling anggur habis hanya dalam 30 menit. Penyebabnya hujan es akibat dari cuaca ekstrem. Pemerintah telah berusaha mencegah dengan cara menembakkan roket berisi senyawa perak iodida ke langit guna mencairkan es agar turun sebagai hujan reguler, tetapi sia-sia.
Kelangkaan pangan
Masyarakat adat sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sumber pangan mereka adalah tumbuhan dan hewan-hewan dari sekitarnya. Di Finlandia, suku Inari Sami sangat bergantung pada migrasi rusa kutub (Rangifer tarandus) dan ikan sebagai sumber makanan.
Krisis iklim membuat tundra dan hutan yang menjadi sumber makanan rusa kutub berkurang sehingga jadwal migrasi mereka terganggu. Demikian pula kenaikan suhu air laut dan sungai yang mengurangi populasi ikan. Akibatnya, masyarakat adat ini semakin sering mengonsumsi makanan kemasan.
”Konsumsi makanan kemasan mendatangkan masalah sampah dan pengolahannya yang tidak maksimal karena selama ini masyarakat adat tidak mengenal sampah,” kata Kepala Unit Masyarakat Adat di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Fernandez de Larrinoa.
Ia menjelaskan, jika masyarakat adat kehilangan sumber pangan, budaya pertanian maupun budidaya ternak berkelanjutan yang menjadi tradisi mereka turut punah. Budaya ini akan digantikan budaya konsumsi modern. Artinya, produk-produk impor dalam kemasan akan merambah ke wilayah masyarakat adat. Ini mengakibatkan meningkatnya emisi akibat produksi komoditas serta distribusinya.
Di Indonesia, masyarakat adat selain terancam perubahan iklim juga rentan terimbas konflik dalam upaya penurunan emisi. Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Iqbal Damanik, memaparkan, sistem rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia berbentuk izin kepengelolaan seperti layaknya hutan produksi.
Sistemnya adalah perusahaan meminta izin kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, untuk melakukan restorasi di hutan ataupun lahan. Permasalahannya, hutan atau lahan itu kemudian diberi batas formal sehingga masyarakat adat yang berada di wilayah tersebut tidak bisa mengaksesnya untuk mencari pangan maupun obat-obatan.
”Selain minimnya dialog dengan masyarakat, ini juga soal keinginan politik dan persepsi politik mengenai mitigasi iklim. Hal-hal yang dipermasalahkan seperti harga teknologi untuk energi bersih dan peluasan rehabilitasi lahan sejatinya masalah yang relatif bisa diselesaikan dengan pelibatan berbagai pihak,” ujar Iqbal.
Manis di bibir
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, yang dimulai pada Minggu (31/10/2021) ini, perwakilan berbagai masyarakat adat menyerukan agar pemerintah tidak hanya ”manis di bibir” dalam menyikapi dampak perubahan iklim.
”Kami ingin perubahan kebijakan nyata yang benar-benar mengakui dan menghormati keyakinan kami,” kata Ron Turney, perwakilan kelompok suku White Earth Nation di Amerika Serikat.
Banyak perwakilan masyarakat adat yang kesulitan untuk datang ke Glasgow dan menyuarakan keprihatinannya dalam KTT tersebut.
Masyarakat adat harus menjadi bagian dari solusi perubahan iklim. Sebab, merekalah yang memiliki pengetahuan turun-temurun dari nenek moyangnya. Nilai semacam ini yang sering kali tidak bisa dipahami oleh ilmu modern.
”Ada kesempatan bagi masyarakat adat untuk diakui dalam COP26, hanya jika negara dan pemangku kepentingan bersedia mendengarkan mereka dan bertindak,” ujar Kristen Carpenter, profesor dan Direktur American Indian Law Program di University of Colorado. (AFP/Reuters)