Responden rela membayar biaya tambahan per bulan untuk mengatasi krisis iklim. Sebanyak 43 persen anak muda rela merogoh kocek maksimal Rp 30.000 per bulan untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei terhadap 4.020 responden menunjukkan, pemilih muda di Indonesia peduli dengan masalah krisis iklim yang dinilai bisa semakin serius. Mereka juga rela merogoh kocek untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah (Cerah) pada 9-16 September 2021 ini dipresentasikan secara daring pada Rabu (27/10/2021). Dalam survei ini, jumlah sampel sebanyak 4.020 responden terdiri atas 3.216 responden usia 17-26 tahun dan 804 responden usia 27-35 tahun. Kedua kelompok ini, yaitu Gen Z dan milenial, merupakan proporsi terbesar dari populasi Indonesia.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, sampel ini berasal dari semua provinsi di Indonesia yang terdistribusi secara proporsional dan mewakili lebih dari 80 juta penduduk pada Pemilu 2024. Survei dilakukan secara tatap muka dengan metode stratified multistage random sampling.
”Sangat penting memotret pendapat dan memetakan isu perubahan iklim dan politik anak muda. Jika politisi dapat menyerap aspirasi anak muda, demokrasi Indonesia akan membaik,” ujarnya.
Politisi tidak paham isu atau tidak paham bagaimana menjangkau pemilih pemula dan muda untuk memilih isu dan selanjutnya mengomunikasikan isu tersebut.
Direktur Eksekutif Cerah Adhityani Putri berharap hasil survei ini dapat membuka mata para politisi dan pengambil kebijakan agar menjadikan krisis iklim sebagai agenda politik utama di Indonesia. ”Sebagaimana krisis iklim menjadi isu politik di beberapa negara besar di dunia,” katanya.
Sadar krisis
Survei ini mengungkap, mayoritas atau 82 persen responden anak muda di Indonesia mengetahui isu perubahan iklim. Mayoritas responden, yaitu 61 persen, juga mengetahui bahwa perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia dan karenanya kita perlu mengatasinya.
Menurut mayoritas responden, perubahan iklim merupakan masalah serius yang dampaknya terhadap Indonesia hingga komunitas dan individu telah mereka rasakan. Sebanyak 63 persen responden setuju bahwa cuaca yang lebih panas pada musim kemarau merupakan peristiwa yang paling dirasakan, diikuti perubahan cuaca mendadak 60 persen, dan 35 persen hujan serta banjir yang lebih sering terjadi.
Hasil survei juga mengungkapkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab perubahan iklim di Indonesia, yaitu penggundulan hutan (deforestasi) sebagai faktor terbesar, sumber emisi gas rumah kaca, seperti gas buang sektor transportasi dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara serta pertambangan, termasuk dalam 10 besar penyebab perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim yang telah dirasakan tersebut, menurut 53 persen responden, telah mendatangkan kerugian bagi warga Indonesia.
Dengan pemahaman ini, mayoritas responden mengatakan, semua pihak harus ambil bagian dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan pemerintah diminta mendorong upaya ini. Pemerintah disebut harus berinvestasi mengembangkan sumber energi terbarukan, seperti angin dan surya. Mayoritas responden juga meminta agar emisi dari industri dan perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil harus dikurangi.
Tak hanya menyatakan khawatir dan mendesak pemerintah mengambil tindakan, responden juga rela membayar biaya tambahan per bulan untuk mengatasi krisis iklim. Sebanyak 43 persen anak muda rela merogoh kocek maksimal Rp 30.000 per bulan untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Jumlah ini setara dengan nilai pajak karbon bagi 1 ton karbon apabila menilik UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru-baru ini disahkan oleh DPR beberapa waktu yang lalu.
Partisipasi politik
Sebanyak 78 persen responden anak muda dalam kajian ini menyatakan, mereka berpartisipasi pada Pemilu 2019 dan sebanyak 84 persen menyatakan akan ikut dalam Pemilu 2024. Sebagaimana diketahui, terdapat 42 juta pemilih muda dan milenial pada Pemilu 2019.
Jumlah ini berpotensi meningkat dua kali lipat dengan kehadiran pemilih pemula Gen Z tahun 2024. Mayoritas responden berpendapat, partai politik belum punya perhatian serius soal perubahan iklim dan belum menjadikannya sebagai agenda politik, dengan hampir semua partai hanya meraih nilai di bawah 5 persen.
Wali Kota Bogor sekaligus politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto yang hadir pada acara itu mengatakan, hingga saat ini isu-isu lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan perubahan iklim belum menjadi isu populis bagi para politisi saat pemilu dan pilkada.
”Kemungkinannya dua, yaitu politisi tidak paham isu atau tidak paham bagaimana menjangkau pemilih pemula dan muda untuk memilih isu dan selanjutnya mengomunikasikan isu tersebut. Jadi, lebih banyak menjadikannya sebagai gimmick. Padahal, anak muda suka yang substansial dan isu climate change seksi di mata anak muda,” ujar Bima.
Anggota DPR Komisi X dan Politisi PDI Perjuangan Putra Nababan mengatakan, kesadaran tentang krisis iklim belum merata di DPR, pemerintahan, partai politik, media, dan masyarakat. ”Ini calling kita sebagai anak bangsa untuk bergerak,” ujar Putra.