Perubahan iklim tidak hanya memicu peristiwa iklim ekstrem di bumi ini. Perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan manusia penghuni bumi ini.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Kita telah menyaksikan bagaimana perubahan iklim mendatangkan malapetaka di planet ini. Temperatur global yang terus meningkat memicu kebakaran hutan, hujan ekstrem, mencairkan es dan menaikkan muka air laut, serta beragam bencana lain yang mematikan. Lebih dari itu, krisis iklim juga mengancam kesehatan kita.
Laporan Khusus Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Perubahan Iklim dan Kesehatan yang diluncurkan bulan ini menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 26) di Glasgow minggu depan menyebutkan, perubahan iklim telah menjadi ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi manusia.
Laporan WHO ini menegaskan bahwa bahan bakar fosil yang telah memicu perubahan iklim juga membunuh kita. Sebaliknya, upaya untuk menekan laju perubahan iklim juga bisa menyelamatkan kesehatan kita.
Polusi udara, yang terutama disebabkan pembakaran bahan bakar fosil, menyebabkan 13 kematian per menit di seluruh dunia. Dengan menurunkan polusi udara ke tingkat pedoman WHO, kita akan mengurangi jumlah kematian global akibat polusi ini hingga 80 persen sekaligus secara dramatis mengurangi emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim.
Pergeseran ke pola makan nabati yang lebih bergizi sesuai dengan rekomendasi kesehatan, sebagai contoh lain, dapat mengurangi emisi global secara signifikan, memastikan sistem pangan yang lebih tangguh, dan menghindari hingga 5,1 juta kematian terkait pola makan per tahun pada 2050.
Laporan WHO ini diluncurkan bersamaan dengan surat terbuka yang ditandatangani oleh lebih dari dua pertiga tenaga kesehatan global dari 300 organisasi yang mewakili setidaknya 45 juta dokter dan profesional kesehatan di seluruh dunia. Mereka menyerukan para pemimpin nasional dan delegasi negara yang menghadiri COP 26 untuk meningkatkan komitmen terhadap iklim.
”Di mana pun kami memberikan perawatan, di rumah sakit, klinik, dan komunitas kami di seluruh dunia, kami sudah menanggapi bahaya kesehatan yang disebabkan oleh perubahan iklim,” bunyi surat dari para profesional kesehatan itu. ”Kami menyerukan para pemimpin setiap negara dan perwakilan mereka di COP 26 untuk mencegah bencana kesehatan yang akan datang dengan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius dan menjadikan kesehatan dan kesetaraan manusia sebagai pusat dari semua tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.”
Laporan dan surat terbuka datang saat peristiwa cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dampak iklim lainnya mengambil korban yang meningkat pada kehidupan dan kesehatan masyarakat. Peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti gelombang panas, badai, dan banjir, membunuh ribuan orang dan mengganggu jutaan nyawa sekaligus mengancam sistem dan fasilitas perawatan kesehatan saat dibutuhkan.
Kode merah
Laporan terbaru di jurnal medis The Lancet pada Rabu (20/10/2021) mempertegas ancaman krisis iklim terhadap kesehatan. Dalam ”Countdown on health and climate change” tahunannya ini, Lancet menilai bahwa tren iklim telah menjadi ”kode merah” bagi kesehatan manusia.
Lebih dari selusin ukuran paparan manusia terhadap cuaca ekstrem yang mengancam kesehatan meningkat sejak laporan serupa tahun lalu. Selama periode 6 bulan pada 2020, sebanyak 51,6 juta orang yang tengah berjuang melawan pandemi Covid-19 juga harus berhadapan dengan 84 bencana terkait iklim, mulai dari banjir, kekeringan, hingga badai.
Kami menyerukan para pemimpin setiap negara dan perwakilan mereka di COP 26 untuk mencegah bencana kesehatan yang akan datang dengan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
Perubahan iklim juga berkontribusi pada gelombang panas yang memecahkan rekor di Pasifik Barat Laut Amerika Serikat yang menyebabkan lebih dari 1.000 kematian. Pada Juni 2021, suhu di wilayah Pasifik Barat Daya di Amerika dan Kanada mencapai rekor tertinggi sebesar 40 derajat celsius.
Laporan ini juga menyebutkan, kekeringan merusak produksi pangan dan kenaikan suhu akan mendorong penyebaran patogen berbahaya, seperti malaria. Jumlah bulan penularan malaria telah bertambah sejak tahun 1950-an. Selain itu, potensi epidemi yang disebabkan virus, termasuk demam berdarah dan zika, meningkat secara global.
Bersama dengan mobilitas global dan urbanisasi, perubahan iklim merupakan pendorong utama peningkatan jumlah infeksi virus dengue, yang meningkat dua kali lipat setiap dekade sejak 1990. Arbovirus penting lainnya yang muncul atau muncul kembali, ditularkan oleh nyamuk, kemungkinan memiliki respons serupa terhadap perubahan iklim.
Meningkatnya suhu telah mendorong serangga pembawa penyakit tropis telah berkembang biak dan menyebar ke arah kutub. Sebaliknya, mencairnya es di kutub juga bisa menyingkap beragam mikroba berbahaya yang selama ini terperam dalam suhu beku, sebagaimana terjadi dengan munculnya wabah antraks di kawasan Siberia, Rusia, pada 2016.
Pemanasan global juga meningkatkan konsentrasi serbuk sari tanaman di udara, memperburuk asma dan kondisi pernapasan lainnya. Sementara itu, banjir ekstrem dan badai tropis telah meningkatkan risiko kolera dan penyakit yang ditularkan melalui air lainnya. Demikian halnya, asap dari kebakaran hutan dan lahan yang menghebat menyusup ke paru-paru dan aliran darah.
Deretan persoalan ini menjadi alarm bagi urgensi untuk menekan laju perubahan iklim. Upaya ini pada dasarnya juga untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia di muka bumi.