Vanuatu Bawa Isu Krisis Iklim ke Pengadilan Internasional
Vanuatu menghadapi berbagai dampak krisis iklim karena banyak pulaunya terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Bagi negara kecil di Kepulauan Pasifik, isu krisis iklim berkelindan dengan pembangunan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
PORT VILA, SABTU — Vanuatu, salah satu negara di Kepulauan Pasifik, memasukkan dokumen resmi ke Pengadilan Internasional atau ICJ guna meminta dikeluarkannya pendapat resmi terkait hak generasi sekarang dan masa depan yang terancam akibat krisis iklim. Pendapat resmi memang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti keputusan, tetapi tetap memiliki kekuatan untuk memengaruhi pemikiran dan pengambilan kebijakan di taraf internasional.
Niat itu diumumkan oleh Juru Bicara Pemerintah Vanuatu Yvon Basil di Port Vila, Sabtu (25/9/2021). ”Kami menargetkan pada Sidang Ke-77 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2022, pendapat ICJ ini sudah keluar sehingga bisa menjadi pertimbangan di setiap diskusi mengenai mitigasi krisis iklim,” ucapnya.
Basil mengatakan, Vanuatu juga akan membawa topik ini dalam Konferensi Para Pihak (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November nanti. Menurut rencana, pertemuan itu akan fokus mendengar masukan dari negara-negara berkembang terkait pengurangan emisi dan penanganan perubahan iklim. Saat ini, bumi memasuki masa kritis. Jika suhu naik 1,5 derajat celsius saja, terjadi bencana alam yang tidak akan bisa dihentikan.
Vanuatu merupakan negara yang terdiri atas 80 pulau. Jumlah penduduknya 280.000 jiwa. Mereka menghadapi berbagai dampak krisis iklim karena banyak pulaunya terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Dalam lima tahun belakangan, negara ini lima kali diterjang puting beliung akibat pemanasan global.
”Sejauh ini belum ada solusi yang bersifat mitigasi. Semua adalah solusi reaktif, yaitu baru dikeluarkan setelah bencana terjadi dan lebih berupa perbaikan infrastruktur. Bukan dibuat untuk mencegah bencana,” kata Ketua Ikatan Mahasiswa Kepulauan Pasifik Melawan Perubahan Iklim Caleb Pollard.
Pemerintah Vanuatu melihat pola solusi serupa di negara-negara Kepulauan Pasifik. Oleh sebab itu, Vanuatu juga berniat memprakarsai koalisi dengan negara-negara di Pasifik, negara-negara berkembang, serta negara yang bakal terdampak perubahan iklim terparah. Harapannya, melalui koalisi ini, suara mereka akan semakin didengar di forum global.
Dilansir dari media Radio New Zealand, total ada 1.500 gugatan melawan krisis iklim di seluruh dunia. Pada Agustus, sebuah pengadilan negeri di Belanda memutuskan bahwa perusahaan energi Shell wajib mengurangi emisi mereka. Di Jerman, April lalu, mahkamah konstitusi menyatakan bahwa undang-undang dan peraturan pemerintah di negara itu sangat lemah komitmennya terhadap mitigasi krisis iklim.
Bagi negara-negara kecil di Kepulauan Pasifik, isu krisis iklim berkelindan dengan pembangunan ekonomi. Pasalnya, mereka seolah terperangkap dalam sistem yang menyetir bahwa mempercepat pembangunan dan menyejahterakan masyarakat hanya bisa dengan eksploitasi alam secara besar-besaran.
Dalam rubrik opini di surat kabar The Herald Scotland, peneliti The Outlaw Ocean Project, Marta Montojo dan Ian Urbina, mencontohkan kasus di Nauru. Ini adalah negara di Mikronesia dengan jumlah penduduk 12.000 jiwa. Laut negara ini kaya dengan nodul polimetalik, yakni bebatuan yang padat oleh kobalt, nikel, tembaga, dan mangan.
Pemerintah Nauru telah membuat perjanjian kerja sama dengan perusahaan-perusahaan dari Rusia, Kanada, Inggris, China, dan India untuk mengambil batu-batuan itu dengan kontrak selama 15 tahun. Mineral-mineral ini sangat dibutuhkan dalam pembangunan teknologi modern, seperti untuk membuat baterai kendaraan listrik dan turbin pembangkit listrik bertenaga angin.
Permasalahannya, kandungan terbanyak berada pada kedalaman 4.000-6.000 meter. Ini harus ditambang dan disedot dengan pipa-pipa berukuran raksasa. Penambangan nodul yang berada di dekat permukaan dilakukan dengan mesin-mesin yang ukurannya 30 kali lebih besar dari buldozer biasa.
”Dampak kerusakan alam ini akan menghilangkan keanekaragaman hayati yang berujung kepada kelangkaan pangan, tidak hanya bagi penduduk setempat, tetapi juga warga dunia,” papar artikel itu.
Ini baru dampak dari penambangan fisik, belum menghitung akibat dari sedimentasi ataupun risiko racun yang dihasilkan dari proses pengolahan hasil tambang. Ini adalah paradoks usaha manusia untuk hidup yang lebih baik. Beberapa konsep energi baru dan terbarukan sekalipun membutuhkan komponen yang pembuatannya berakibat kerusakan alam pada suatu wilayah di bumi. (AFP/REUTERS)