IPCC berkeyakinan bahwa tanpa ada upaya adaptasi yang lebih ambisius dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan saat ini, kerusakan banjir rob tahunan pada 2100 bisa jadi akan lebih parah 100 hingga 1.000 kali lipat.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Rumah yang tenggelam dan ditinggalkan warga di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (2/9/2019). Abrasi, pasang air laut dan perubahan iklim yang terus terjadi menjadi persoalan utama di pesisir utara Jawa Tengah.
It is unequivocal that human influence has warmed the atmosphere, ocean and land.
Sudah tegas dan jelas bahwa perilaku manusia telah menimbulkan pemanasan atmosfer, lautan, dan daratan. Itu adalah kalimat pertama dalam pernyataan yang menyertai penerbitan segmen pertama dalam paket Laporan Penilaian Keenam (Sixth Assessment Report/AR6) dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), Senin (9/8/2021).
IPCC secara periodik menerbitkan laporan penilaian. Pertama kali tahun 1990 (First Assesment Report/FAR), lalu kedua pada 1995 (Second Assessment Report/SAR), laporan ketiga (Third Assesment Report/TAR) diterbitkan pada 2001, keempat (AR4) pada 2014, dan kelima (AR5) tahun 2015.
Ada tiga segmen utama dalam laporan penilaian IPCC. Segmen pertama dikerjakan oleh Working Group 1 atau Kelompok Kerja I (WG1) yang menangani terkait dengan basis ilmiah. Segmen inilah yang baru saja dirilis.
Lalu, ada segmen kedua, yang dikerjakan oleh WG2 mengenai dampak, adaptasi, dan kerentanan. Menurut rencana, ini akan dirilis pada Februari 2022. Lalu, segmen laporan ketiga yang diluncukan pada Maret 2022 akan membahas tentang langkah mitigasi perubahan iklim.
Laporan penilaian ini membahas dan menyarikan beragai penelitian iklim terbaru, selain menilai kondisi bumi, juga untuk membantu menemukan langkah mitigasi dan adaptasi yang tepat.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas pabrik yang mengeluarkan asap di kawasan industri Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020). Secara global, pandemi Covid-19 yang diikuti pembatasan sosial tak serta-merta membersihkan polusi udara di kota-kota dunia.
Selama tujuh tahun terakhir, sejak peluncuran AR5, negara-negara di dunia sepakat untuk menggunakan representative concentration pathway (RCP) untuk menjelaskan sejumlah skenario yang dapat ditempuh Bumi terkait dengan besaran polusi yang dihasilkan secara global dan implikasinya dengan kenaikan suhu yang dihasilkan pada akhir abad ke-21 atau tahun 2100.
Pada dasarnya ada empat RCP, yakni RCP 2.6, RCP 4.5, RCP 6.0, dan RCP 8.5. Angka RCP ini menjelaskan besarnya energi panas yang diterima oleh Bumi per meter persegi pada 2100 (radiative forcing). RCP 2.6 artinya pada 2100 setiap permukaan atmosfer bumi menerima 2,6 Watt/m2. RCP 4.5 berarti 4,5 Watt/m2, RCP 6 artinya 6 Watt/m2, dan RCP 8.5 adalah 8,5 Watt/m2. Semakin besar energi panas yang diterima, ya artinya semakin panas.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Grafik proyeksi kenaikan air laut pada masa depan menurut pakar iklim Rutgers University Amerika Serikat, Robert E Kopp (2014).
IPCC juga telah menerjemahkan setiap skenario dengan dampak kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi pada 2100. RCP 2.6, misalnya, pada 2100 dapat mengalami kenaikan suhu antara 0,9 dan 2,4 °celsius (°C), lalu RCP 4.5 akan berdampak 1,7-3,3 °C, RCP 6.0 mengakibatkan kenaikan suhu sebesar 2,0-3,8 °C, dan RCP 8.5 pada angka 3,2-5,4 °C.
Dengan setiap RCP menjelaskan tingkat pemanasan global yang berbeda-beda, setiap skenario juga menggambarkan pencairan es dan gletser di kutub dan efeknya pada kenaikan air laut yang berbeda pula.
Hingga seribu kali lebih parah
Laporan Khusus IPCC tahun 2018 berjudul Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate menyebutkan bahwa kenaikan rata-rata air laut global pada 2100 untuk skenario RCP 2.6 adalah 29-59 cm.
Jika polusi tidak terkendali seperti yang digambarkan RCP 8.5, kenaikan air laut bisa mencapai hampir dua kali lipat pada 2100, yakni 61-110 cm. Artinya, jika ada daerah yang elevasinya kurang dari 1 meter di atas permukaan laut (mdpl), pada 2100 lokasi tersebut telah berada di bawah permukaan laut.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Anak-anak bermain air dari sisa limpasan pasang air laut di halaman rumahnya di Tambaklorok, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (24/7/2021). Selain persoalan lingkungan, warga juga dihadapkan dengan masalah kesehatan.
Kenaikan air laut ini juga dipastikan akan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem. Dengan keyakinan tinggi, para ilmuwan IPCC memprediksikan bahwa berbagai cuaca ekstrem yang biasanya hanya muncul satu abad sekali akan menjadi kejadian tahunan. Hal ini tidak hanya akan terjadi di skenario terburuk, yakni RCP 8.5, tetapi juga RCP 2.6.
Berbagai ancaman bencana pesisir lainnya, seperti badai siklon dan gelombang tinggi, juga akan semakin parah dengan meningkatnya suhu serta ketinggian air laut. Jika kenaikan suhu mencapai 2 °C pada 2100, intensitas bencana akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya curah hujan dan skala magnitude badai.
Secara umum, para peneliti IPCC berkeyakinan bahwa tanpa adanya upaya adaptasi yang lebih ambisius dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan saat ini, kerusakan banjir rob tahunan pada 2100 bisa jadi akan lebih parah 100 hingga 1.000 kali lipat (2-3 orders of magnitude).
Perubahan iklim dan pemanasan global juga diyakini akan mengancam mata pencarian nelayan akibat berkurangnya biomassa hewan laut dan tangkapan ikan. Efeknya diyakini akan lebih terasa jika dunia berada dalam skenario polusi RCP 8.5 dibandingkan dengan RCP 2.6. Berbagai dampak ini bahkan belum menyebut efek perubahan iklim di daratan, seperti kelangkaan air, erosi tanah, kebakaran hutan, dan penurunan produksi pertanian.
Dalam laporan AR6, IPCC juga menyebutkan bahwa kemunculan cuaca ekstrem, seperti yang sudah terjadi, misalnya gelombang panas (heatwave), kekeringan, curah hujan tinggi, badai siklon tropis, juga semakin erat kaitannya sebagai dampak dari perilaku manusia.
Saat ini sejumlah dampak ini sudah dirasakan oleh sebagian warga pesisir Indonesia. Sejumlah kampung dan desa, seperti di Demak dan Bekasi, telah ditinggalkan karena terendam air. Juga angin kencang yang terjadi di sejumlah tempat di wilayah Indonesia akhir tahun lalu, seperti di NTT dan NTB.
Lalu, apa yang bisa dilakukan bagi mereka yang saat ini mulai terancam dan bagaimana mencegah lebih banyak orang menjadi pengungsi iklim pada 50-80 tahun ke depan?