Perubahan Iklim, Genetik, dan Masa Depan Komodo
Leluhur komodo di Pulau Komodo dan Rinca paling tidak telah terpisah sejak 55 juta tahun. Saat ini, perubahan iklim membuat komodo terancam punah.
Komodo telah ditetapkan sebagai fauna yang terancam punah. Selain karena dampak perubahan iklim, data genetik pun menunjukkan tingkat keragaman genom komodo sangat rendah, membuatnya secara alami sangat rentan.
Badan Konservasi Dunia (IUCN) telah memasukkan komodo (Varanus komodoensis) dalam Daftar Merah fauna yang terancam punah (endangered) dalam kongres di Perancis, 4 September 2021. Ini berarti, komodo berada satu tingkat di bawah status sangat kritis (critically endangered) atau dua tingkat sebelum dinyatakan punah di alam (extinct in the wild).
Dalam rilisnya, IUCN menyebutkan, spesies komodo semakin terancam oleh dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut diperkirakan akan menggerus habitat dan populasi komodo.
Direktur Global Kelompok Konservasi Keanekaragaman Hayati IUCN Jane Smart menyebutkan, pesan penting dari Kongres IUCN yang berlangsung kemarin yaitu menghilangnya spesies dan kehancuran ekosistem merupakan ancaman yang sejalan dengan perubahan iklim. Spesies yang terancam ini terutama hewan dan tumbuhan endemik yang hidup di pulau-pulau kecil atau di titik-titik keanekaragaman hayati tertentu.
Komodo di Pulau Komodo memiliki garis keturunan ibu yang berbeda dengan pulau lainnya, termasuk dengan yang di Pulau Rinca. Jadi, paling tidak leluhur mereka sudah berpisah sejak 55 juta tahun lalu.
Komodo telah bertahan selama ribuan tahun, termasuk selamat dari perubahan habitat yang disebabkan perubahan lingkungan ekstrem selama zaman glasial terakhir pada 36.000-17.000 tahun lalu, yang kemudian diikuti era Holosen dan pemanasan yang menyebabkan kenaikan muka air laut hingga 100 meter.
Namun, perubahan iklim yang disebabkan faktor antroposen dikhawatirkan bakal menyebabkan habitat komodo di sekitar Flores mengalami tingkat kenaikan suhu dan penurunan curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya (Diffenbaugh & Giorgi, Climatic Change, 2012).
Situasi ini mengarah ke musim kemarau berkepanjangan dengan peningkatan frekuensi kebakaran dan penurunan kelembaban tanah, yang akan mengubah tutupan vegetasi dan ketersediaan mangsa. Pada akhirnya, hal ini bakal memengaruhi kelangsungan hidup dan reproduksi komodo yang merupakan predator puncak di kawasan ini.
Naiknya permukaan laut juga akan menggenangi lembah dataran rendah yang saat ini mendukung kepadatan tertinggi komodo. Mengacu kajian Purwadana dari Komodo Survival Program di The Science of Nature (2016), hilangnya habitat komodo dataran rendah secara permanen karena perubahan iklim jika dikombinasikan dengan hilangnya habitat karena ulah manusia, misalnya kegiatan pertanian dan wisata, hal ini bisa menjadi bencana bagi komodo.
Dengan latar belakang ini, studi yang ditulis Alice R Jones dari University of Adelaide dan tim di Ecology and Evolution (2020), habitat komodo akan berkurang 8-87 persen pada 2050 akibat perubahan iklim. Berikutnya akan terjadi penurunan hunian habitat 25-97 persen dan menurunkan kelimpahan populasi sebesar 27-99 persen di seluruh rentang spesies.
Genetik komodo
Tanpa ancaman perubahan iklim, populasi komodo sebenarnya juga sudah sangat rentan. Peneliti genetika komodo yang juga kurator herpetologi di Museum Zoologi Bogor, Evy Ayu Arida, mengatakan, komodo memiliki mekanisme untuk membatasi perkembangan populasi dengan kanibalisme. ”Biasanya anak-anak komodo akan dimakan pejantannya sehingga yang bisa survive (bertahan) hingga dewasa sedikit,” katanya.
Sebaran hidup komodo cenderung menyempit seiring waktu. Kajian Scott A Hocknull dari Queensland Museum, Australia, dan tim di jurnal PLOS ONE (2009) menyebutkan, fosil leluhur komodo ditemukan di Australia bagian timur dengan umur 300.000 hingga 4 juta tahun lalu. Salah satunya Megalania (Varanus priscus), sepanjang 5 meter, yang punah 40.000 tahun lalu. Setelah berevolusi di Australia sebelah timur, nenek moyang komodo kemudian menyebar ke arah barat dan mencapai kepulauan Flores dan sekitarnya sekitar 900.000 tahun lalu.
Baca juga: Tangis dari TN Komodo
Sejumlah kajian menunjukkan, fosil komodo dulu ditemukan di Pulau Flores bagian tengah, seperti di Liang Bua, Kabupaten Manggarai. Penggalian arkeologi di Lembah Soa, Kabupaten Ngada, juga menemukan kelimpahan fosil komodo di masa lalu. Bahkan, fosil komodo juga ditemukan di Pulau Timor.
Bahkan, menurut Evy, ada temuan fosil menyerupai komodo di Trinil, Jawa Timur. ”Namun, sekarang komodo hanya ada di beberapa pulau kecil sekitar Flores, yang terbesar populasinya di Pulau Komodo dan Pulau Rinca serta beberapa pulau kecil lain, termasuk juga dulu ada di pesisir Pulau Flores. Jadi, sebaran komodo secara alami sangat kecil,” kata Evy.
Beberapa tahun terakhir, Evy melakukan penelitian tentang genetika komodo. Salah satu penelitiannya bersama tim internasional tentang struktur populasi dan keragaman genom komodo diterbitkan di jurnal Molecular Ecology-Wiley pada Agustus 2021. Kajiannya termasuk yang menjadi pertimbangan IUCN dalam penentuan status komodo.
Dalam kajian ini, Evy dan tim memeriksa genom utuh dari 24 komodo dari dua pulau terbesar yang dihuni komodo, yaitu Pulau Komodo (seluas 311,5 km persegi) dan Rinca (204,8 km persegi) serta dua pulau kecil lain, yaitu Gili Motang (9,5 km2) dan Nusa Kode (7,8 km persegi).
”Hasil penelitian kami, komodo di Pulau Komodo memiliki garis keturunan ibu yang berbeda dengan pulau lainnya, termasuk dengan yang di Pulau Rinca. Jadi, paling tidak leluhur mereka sudah berpisah sejak 55 juta tahun lalu,” kata Evy.
Temuan ini menunjukkan, komodo di pulau-pulau kecil sekitar Flores ini sudah terisolasi satu sama lain. ”Setidaknya dari jalur ibu tidak pernah saling menyeberang. Entah bapaknya,” katanya.
Sedangkan dari keragaman genomnya, menurut Evy, populasi komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang berada di Taman Nasional Komodo memiliki variasi genetik yang masih cukup tinggi sehingga keberlangsungan populasinya dianggap masih relatif baik. Namun, populasi komodo di pulau-pulau kecil lain, seperti Gili Motang dan Nusa Kode, sangat kecil.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah komodo pada 2018 sebanyak 2.897 individu dan pada 2019 bertambah menjadi 3.022 individu atau bertambah 125 individu. Konsentrasi populasinya terutama di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Hanya sebanyak 7 individu di Pulau Padar, 69 individu di Gili Motang, dan 91 individu di Nusa Kode.
Baca juga: Pemerintah Jangan Sepelekan Peringatan UNESCO Terkait Pembangunan di Taman Nasional Komodo
”Di pulau-pulau lain selain Komodo dan Rinca, keragaman genom komodo sangat kecil karena populasinya juga sangat kecil sehingga terancam mengalami genetic drift dan rentan terhadap penyakit dan kepunahan,” kata Evy.
Menurut Evy, komodo yang berada di Taman Nasional Komodo sudah relatif terpantau dan terlindungi. Namun, komodo yang berada di luar wilayah konservasi ini cenderung tak terpantau. ”Dulu komodo ada juga di beberapa pulau kecil di sebelah utara Flores, termasuk juga di pesisir Pulau Flores, tetapi sekarang sulit ditemui,” katanya.
Kini, dengan dimasukkannya komodo dalam daftar fauna terancam punah oleh IUCN, Evy menyarankan adanya pendataan dan perlindungan terhadap komodo yang berada di luar wilayah konservasi Taman Nasional Komodo. ”Perlindungannya harus diperluas, tidak hanya di dalam kawasan,” ujarnya.
Penelitian geolog dari Badan Geologi, Sutikna dkk, di jurnal Nature (2016) menyebutkan, kepunahan Homo floresiensis terjadi 50.000 tahun lalu, bersamaan dengan punahnya gajah kerdil, bangau marabou raksasa, dan burung nazar dari Flores. Namun, komodo yang merupakan predator puncak di kawasan ini ternyata sanggup bertahan.
”Salah satu keistimewaan komodo adalah kemampuan beradaptasi dengan mangsa berbeda. Saat rusa semakin jarang, mereka bisa makan monyet, bahkan kelelawar,” kata Evy.
Namun, seperti dicatat Sutikna, kepunahan beragam fauna purba di Flores di masa lalu diduga berhubungan dengan kedatangan migran manusia modern (Homo sapiens) ke kawasan ini. Akankah kita kini bisa menyelamatkan fauna purba terakhir yang tersisa di kawasan ini?