Atasi Perubahan Iklim, Presiden Tekankan Pentingnya Aksi Konkret
Selain aksi konkret, Presiden Joko Widodo saat berbicara pada pertemuan Major Economies Forum on Energy and Climate 2021 menekankan pentingnya kemitraan global.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Mengatasi perubahan iklim dan mendorong transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan perlu kemitraan global dan aksi konkret. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi. Salah satunya, pemerintah telah mencanangkan transformasi menuju energi baru dan terbarukan, serta akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau, Agustus lalu.
Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo pada pertemuan Major Economies Forum on Energy and Climate 2021 melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/9/2021).
”Kredibilitas, khususnya aksi konkret, sangat krusial,” kata Presiden, yang dalam pertemuan ini didampingi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar.
Untuk transisi energi ini, Presiden menyatakan bahwa kemitraan global sangat diperlukan karena transisi energi bagi negara berkembang membutuhkan pembiayaan dan teknologi yang terjangkau. ”Kami membuka peluang kerja sama dan investasi bagi pengembangan bahan bakar nabati, industri baterai litium, kendaraan listrik, teknologi carbon capture and storage, energi hidrogen, kawasan industri hijau, dan pasar karbon Indonesia,” kata Presiden Jokowi.
Indonesia memiliki komitmen kuat untuk berkontribusi dalam menghadapi situasi darurat akibat perubahan iklim dan sektor energi. Di sektor energi, pemerintah telah mencanangkan transformasi menuju energi baru dan terbarukan, serta akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau pada Agustus lalu.
”Untuk mewujudkan transformasi ini, kami telah menyusun strategi peralihan pembangkit listrik dari batubara ke energi baru terbarukan, mempercepat pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan yang didukung pelaksanaan efisiensi energi, meningkatkan penggunaan biofuels, dan mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik,” tambah Presiden Jokowi.
Indonesia, lanjut Presiden, juga telah menargetkan netral karbon (Net Zero) pada tahun 2060 dengan kawasan percontohan yang masih terus dikembangkan.
”Termasuk pembangunan Green Industrial Park seluas 20.000 hektar, terbesar di dunia, di Kalimantan Utara,” ujarnya.
Sepuluh kepala negara
Dalam Major Economies on Energy and Climate 2021 yang digelar secara virtual tersebut, Presiden Joko Widodo menjadi satu dari sepuluh kepala negara atau kepala pemerintahan yang berbicara. Selain itu, dalam forum yang berisi negara-negara utama dalam pembahasan energi dan perubahan iklim tersebut, hadir pula Presiden Komisi Eropa, Presiden Dewan Eropa, serta Sekretaris Jenderal PBB.
Pertemuan Major Economies Forum bertujuan menggalang kerja sama negara-negara utama untuk menghasilkan langkah-langkah konkret dan mewujudkan target yang disepakati dari pertemuan Conference of Parties (COP26) di Glasgow, November mendatang.
Tujuan pertemuan ini, secara spesifik, menurut Mahendra, memastikan perubahan suhu dunia tidak melebihi satu setengah derajat celsius.
Karenanya, fokus utama dalam pertemuan ini adalah komitmen masing-masing negara yang disampaikan dalam kerangka rencana program dan tujuan untuk mengatasi perubahan iklim (Nationally Determined Contribution/NDC). Secara khusus, terkait dengan transisi ke energi baru dan terbarukan.
Dalam konteks Indonesia, penurunan gas metana sudah dicakup di dalam NDC Indonesia. Dokumen ini sudah diperbarui dan disampaikan kepada PBB ataupun Kerangka Kerja Sama PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
UNFCCC dalam keterangan pers yang dipublikasi diportal resminya, Jumat (17/9/2021), menilai, kendati emisi gas rumah kaca mulai berkurang, semua negara sangat perlu menggandakan upayanya untuk mencegah kenaikan suhu sesuai tujuan yang disepakati dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement), yakni di bawah 2 derajat celsius dan idealnya 1,5 derajat celsius di akhir abad ini.
Sebab, dari NDC yang tersedia dari 191 negara, diperkirakan ada peningkatan 16 persen emisi gas rumah kaca tahun 2030 dibandingkan dengan 2010. Dengan demikian, tanpa tindakan segera, kenaikan suhu sekitar 2,7 derajat celsius bisa terjadi akhir abad ini.
Selain itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga mengundang para peserta yang hadir untuk mendukung kesepakatan bersama untuk mengatasi emisi gas metana (global methane pledge). Kesepakatan ini bertujuan mengurangi emisi metana global 30 persen pada 2030.
”Terkait dengan global methane pledge yang merupakan usulan dan permintaan dukungan dari Presiden Biden, Bapak Presiden menyampaikan secara umum mendukung langkah tadi dengan menyarankan agar seluruh prosesnya dilakukan secara terbuka, melalui mekanisme yang transparan dan bersifat partisipatif,” kata Mahendra.
Amerika Serikat juga meminta kerja sama negara-negara ekonomi utama ini terus berlanjut, bahkan setelah COP26 diselenggarakan di Glasgow. Dengan demikian, upaya mengatasi perubahan iklim bisa dilakukan secara berkesinambungan.