Pandemi memaksa realokasi dan ”refocusing” dalam APBN. Ini berdampak pada anggaran perubahan iklim yang menurun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Porsi anggaran perubahan iklim dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN selama kurun waktu tiga tahun terakhir menurun. Seiring meningkatnya dampak perubahan iklim yang kian terasa, perlu penguatan komitmen dalam rencana kerja kementerian dan lembaga negara ke depan.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Dian Lestari mengemukakan, upaya menanggulangi perubahan iklim membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim per sektor hingga 2030 mencapai Rp 3.461 triliun.
”Dengan publikasinya peta jalan NDC (dokumen kontribusi nasional) mitigasi, kebutuhan anggaran ini menjadi lebih tinggi, yaitu Rp 3.779 triliun atau per tahun mencapai Rp 200 triliun-Rp 300 triliun. Energi dan transportasi sebagai sektor yang padat modal memiliki estimasi pembiayaan tertinggi,” ujarnya dalam diskusi daring Pojok Iklim, Rabu (4/8/2021).
Kementerian Keuangan sedang mempersiapkan instrumen pembiayaan berkelanjutan lainnya, yakni SDG Bond yang ditargetkan diluncurkan pada 2021.
Meski tergolong tinggi, anggaran perubahan iklim dalam APBN mengalami tren penurunan sejak 2018-2020. Pada 2018, anggaran kementerian/lembaga untuk perubahan iklim mencapai Rp 132,4 triliun. Anggaran ini kemudian turun menjadi Rp 97,66 triliun pada 2019 dan Rp 77,81 triliun pada 2020.
”Tren penurunan ini dipicu oleh adanya realokasi dan refocusing untuk merespons dampak pandemi. Akan tetapi, seiring pemulihan ekonomi dapat diperkuat dan konsolidasi fiskal bisa dicapai, diharapkan kinerja anggaran perubahan iklim bisa membaik,” tuturnya.
Berdasarkan penandaan anggaran iklim yang dilakukan BKF, rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim dalam APBN 2018-2020 sebesar Rp 102,65 triliun per tahun. Sementara rata-rata anggaran untuk mitigasi Rp 62,7 triliun per tahun dan Rp 40,4 triliun per tahun untuk upaya adaptasi.
BKF juga menyebutkan, 88 persen anggaran perubahan iklim digunakan untuk membiayai infrastruktur hijau. Sementara 12 persen lainnya digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung, seperti regulasi dan kebijakan, riset dan pengembangan, peningkatan kapasitas, serta pemberdayaan masyarakat.
Meski demikian, kata Dian, Indonesia memiliki potensi karbon biru karena luas kawasan mangrove yang mencapai 3,2 juta hektar dan luas padang lamun 3 juta hektar. Semua potensi tersebut dapat menyimpan hingga 17 persen cadangan karbon biru dunia.
”Karbon biru juga memiliki potensi ekonomi yang sangat menjanjikan karena mampu menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi ekonomi lokal. Jadi mangrove bisa dikembangkan untuk ekowisata, mendukung perikanan sehat, dan memberikan perlindungan kawasan pesisir,” ujarnya.
Di sisi lain, pembiayaan sektor kawasan pesisir dan kelautan baru mendapat alokasi 0,2 persen dari APBN. Kegiatan ini terpusat untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kegiatan tidak langsung seperti penelitian dan riset masih mendominasi.
”Selain melalui green sukuk, Kementerian Keuangan juga sedang mempersiapkan instrumen pembiayaan berkelanjutan lainnya, yakni SDG Bond yang ditargetkan diluncurkan pada 2021. Ini bisa digunakan untuk berbagai proyek atau program yang terkait dengan lingkungan, energi terbarukan, efisiensi energi, maupun untuk kegiatan sosial,” katanya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Subdirektorat Sumber Daya Pendanaan Direktorat Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional KLHK Agus Rusly mengatakan, pada periode 2007-2014, pendanaan perubahan iklim baik untuk adaptasi, mitigasi, maupun kegiatan pendukung lainnya mencapai 17,48 miliar dollar AS. Sementara pada 2015-2019, dana yang disediakan meningkat menjadi 55 miliar dollar AS.
”Pada 2020 hingga 2030, Indonesia juga akan menyisihkan keuangan untuk implementasi aksi mitigas dan adaptasi untuk mencapai NDC. Ini menunjukkan pemerintah berkomitmen mengatasi perubahan iklim dengan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk melakukan aksi-aksi tersebut,” katanya.
Agus juga mengakui sampai saat ini masih terdapat tantangan pembiayaan dan investasi perubahan iklim. Tantangan ini salah satunya terkait dukungan karena aksi iklim membutuhkan kebijakan strategi dan kolaborasi pembiayaan antar-pemangku kepentingan di tingkat lokal dan global, seperti pemerintah, badan usaha, organisasi non-pemerintah, hingga masyarakat.