Skandal Joe Ferrari dan Ujian Citra Polisi di Thailand
Publik Thailand menanti kepastian dan keberanian pemerintah mereka menjatuhkan sanksi berat terhadap anggota polisi, yang dijuluki "Joe Ferrari", dalam penganiayaan seorang tahanan .
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Joe Ferrari, polisi dari Thailand, dan enam anak buahnya masih mendekam di penjara menunggu jadwal persidangan atas kasus pembunuhan yang mereka lakukan. Publik di negara itu menanti kepastian dan keberanian pemerintah menjatuhkan sanksi yang berat bagi mereka. Ini kasus yang menjadi penentu, apakah era polisi saling melindungi kesalahan sesama bisa berakhir atau tetap langgeng di Negeri Gajah Putih.
Kasus Joe Ferrari viral sejak video yang dibocorkan oleh salah satu anggota kepolisian Thailand beredar di media sosial. Joe sebenarnya bernama Thitisan Utthapon (41), seorang perwira polisi berpangkat kolonel. Sampai awal Agustus lalu, ia menjabat sebagai kepala di kepolisian tingkat distrik di Provinsi Nakhan Sawan. Julukan Joe Ferrari diberikan kepada Utthapan ketika publik menemukan bahwa seorang polisi dengan gaji 1.300 dollar Amerika Serikat (AS) per bulan ternyata bisa memiliki koleksi 29 mobil mewah dengan total harga mencapai 3 juta dollar AS.
Skandal bermula pada tanggal 5 Agustus lalu ketika sebuah video yang diambil melalui telepon genggam beredar di internet. Di video itu, tampak Joe dan enam anak buahnya sedang menyiksa tahanan, yakni seorang pengedar narkoba yang bernama Jeerapong Thanapat. Kepalanya dibekap dengan kantong plastik hingga ia tidak bisa bernapas.
Sambil menganiaya Jeerapong, terdengar suara Joe meminta tahanan itu untuk membayar uang sebesar 2 juta baht atau sekitar 61.000 dollar AS jika mau dibebaskan. Jeerapong dengan tangan diborgol juga dipukuli hingga jatuh ke lantai. Ketika ia tidak bergerak, Joe memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa.
Para polisi ini kemudian mencoba memberi napas buatan dan menyiram air ke wajah Jeerapong. Tetapi, tidak ada reaksi. Diketahui, Jeerapong sudah tewas. Joe kemudian menyuruh agar jenazah Jeerapong dibawa ke rumah sakit dengan keterangan bahwa korban tewas kelebihan dosis narkoba.
Setelah peristiwa itu, Joe sempat menghilang dan dikabarkan mengurus perpindahan ke provinsi lain dengan bantuan calon mertuanya yang juga perwira polisi. Namun, video itu kemudian menyebar di internet dan ia pun menjadi buronan. Media lokal mengatakan, pengunggah video adalah salah satu dari anggota kepolisian. Setelah sepekan bersembunyi, Joe menyerahkan diri pada tanggal 26 Agustus.
Selama ia bersembunyi, polisi merazia kediamannya dan menemukan koleksi 13 kendaraan mewah, termasuk Lamborghini dan Ferrari. Media-media lokal kemudian mengusut dan menemukan bahwa sesungguhnya ada 29 mobil mewah yang terdaftar atas nama Joe. Tuduhan korupsi pun santer menyebar di masyarakat. Berbagai media setempat menulis, baru kali ini ada polisi korup yang norak dan terang-terangan memamerkan kekayaannya. Ini bagaikan sentilan bagi Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha yang kerap berkoar-koar hendak memberantas korupsi.
Menanggapi hal itu, Joe membuat pernyataan pers bahwa ia memperoleh mobil-mobil itu dari lelang barang sitaan. Harian Bangkok Post melaporkan, pada periode 2011-2017, Joe memang salah satu petugas penyita di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Thailand. Tercatat, ia menyita 368 unit kendaraan yang diimpor ilegal. Kendaraan- kendaraan ini kemudian dilelang dan Joe sebagai petugas penyita berhak atas 25 persen komisi dari hasil lelang setiap unit.
Lebih menggemparkan masyarakat lagi, Joe mengaku tidak melihat ada masalah dari caranya “menginterogasi” tahanan. “Saya memasangkan kantong plastik hitam ke kepala tahanan agar ia tidak melihat wajah saya. Saya hanya melaksanakan kewajiban sebagai penegak hukum,” tuturnya.
Kepala Polisi Thailand Suwat Jangyodsuk belum memerinci hukuman yang menanti Joe serta kaki tangannya. Ia menjanjikan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi yang adil dan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Pernyataan ini membuat masyarakat mencibir komitmen kepolisian Thailand yang dikenal lebih banyak menutup mata jika anggotanya melakukan kesalahan. Jika pun tidak ditutup-tutupi, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa anggota polisi yang bersalah hanya diberi hukuman tidak sepadan.
“Kasus ini ujian bagi polisi mampukah mereka mengubah sistem kerja semua anggotanya? Jika Joe dan anak buahnya dijatuhi hukuman berat, pertanyaan berikutnya apakah ini sekadar pencitraan untuk kasus yang disorot publik atau memang menjadi komitmen untuk selamanya?” kata Thitipol Phakdeewanich, Dekan Fakultas Ilmu Politik Universitas Ubon Ratchathani. (AP/AFP/REUTERS)