Meskipun pelaku kekerasan oleh anggota Polri di Solok, Sumatera Barat, dan Balikpapan, Kalimantan Timur, diberi sanksi, penyiksaan dikhawatirkan terus berulang. Karena itu, selain pengawasan efektif, juga akuntabilitas.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku kekerasan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara RI di Solok, Sumatera Barat, dan Balikpapan, Kalimantan Timur, diberi sanksi. Meski demikian, penyiksaan yang terus berulang dilakukan kepolisian menunjukkan pengawasan tidak efektif. Karena itu, perlu ada perbaikan akuntabilitas pada aparat keamanan, khususnya kepolisian, agar peristiwa serupa tak terulang.
Sebelumnya diberitakan, tewasnya Deki Susanto pada 27 Januari 2021, diduga dilakukan anggota Polri di Solok Selatan, Sumatera Barat. Selain itu, ada juga Herman (39) yang meninggal dengan tubuh penuh luka pada Desember 2020 setelah dijemput paksa oleh tiga orang tak dikenal ke Polresta Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, dalam kasus penembakan tersangka daftar pencarian orang di Solok, Sumatera Barat, pelaku penembakan diberikan sanksi pidana dan sanksi kode etik. Pelaku penembakan, yaitu Brigadir KR, dipidana dengan pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
”Saat ini yang bersangkutan, tersangka Brigadir KR, sudah ditahan sejak 31 Januari 2021,” kata Argo, Selasa (9/2/2021).
Saat ini yang bersangkutan, tersangka Brigadir KR, sudah ditahan sejak 31 Januari 2021.
Penangkapan tersebut dilakukan lima orang sebagai satu tim. Untuk saat ini, keempat rekan yang lain telah diberi sanksi kode etik oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat.
Untuk kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur, lanjut Argo, tim yang berjumlah 6 anggota kepolisian telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan kematian. Tim tersebut dipimpin seorang kepala unit atas nama Iptu RH.
Setelah kejadian tersebut, keenam orang itu dimutasi ke Pelayanan Masyarakat (Yanma) Polda Kaltim untuk memudahkan pemeriksaan pada 4 Desember lalu. Mereka juga dikenai sanksi kode etik. Hingga saat ini terdapat 7 orang yang telah dimintai keterangan terkait kasus tersebut.
”Kami transparan, apa yang dilakukan oleh Propam dari Polda Kaltim yang di-backup Propam Mabes Polri untuk mengawasi, di Sumbar juga sama,” kata Argo.
Pelanggaran aturan internal Polri
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk penyiksaan berujung kematian yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap masyarakat sipil. Bentuk pelanggaran ini merupakan pelanggaran terhadap aturan internal kepolisian, yakni Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Selain itu, ada beberapa peraturan perundang-undangan lain yang dilanggar, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.
Andi Rezaldy dari Divisi Hukum Kontras mengatakan, penggunaan cara-cara penyiksaan dalam memaksa pengakuan terduga tindak pidana merupakan praktik kejam peninggalan masa otoriter yang seharusnya telah lama ditinggalkan oleh Polri secara kelembagaan.
Menurut Andi, penyiksaan masih menjadi permasalahan sistemis pada tubuh Polri yang berakar dari tidak efektifnya mekanisme pengawasan secara internal oleh Propam Polri ataupun secara eksternal oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan lembaga pengawas lainnya.
”Impunitas juga masih menjadi salah satu isu faktor yang memengaruhi awetnya angka penyiksaan, dengan ditunjukkan oleh tidak transparannya aparat kepolisian dalam melakukan proses, baik secara internal melalui Kode Etik Profesi Polri (KEPP) maupun secara hukum pidana,” kata Andi.
Impunitas juga masih menjadi salah satu isu faktor yang memengaruhi awetnya angka penyiksaan, dengan ditunjukkan oleh tidak transparannya aparat kepolisian dalam melakukan proses, baik secara internal melalui Kode Etik Profesi Polri (KEPP) maupun secara hukum pidana.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, pekerjaan rumah dan tantangan Polri adalah memperbaiki akuntabilitas. Kegagalan akuntabilitas ini membuat pelanggaran hukum dan HAM oleh anggota kepolisian terus berulang.
”Yang paling mengkhawatirkan adalah otoritas tertinggi negara kerap memberikan pemakluman atas brutalitas polisi,” kata Usman.
Menurut Usman, agar kasus kekerasan ini tidak terus berulang, perlu keseriusan adanya akuntabilitas aparat keamanan, khususnya kepolisian. Siapa pun anggota yang terlibat, harus dipastikan bahwa perbuatannya tersebut dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ia menuturkan, selama ini hal tersebut cenderung dipandang remeh. Misalnya, hanya diselesaikan dengan cara permintaan maaf, pemberian uang, atau penghukuman yang sangat ringan. Selain itu, kata Usman, perlu perbaikan pelaksanaan hukum acara pidana yang lebih memenuhi standar peradilan yang adil.
Meratifikasi OPCAT
Sementara itu, di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta, Menko Polhukam Mahfud MD mengadakan pertemuan dengan lima lembaga dalam Koalisi untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP).
Kelima lembaga dalam KuPP itu meliputi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman RI.
Hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Ketua LPSK Hasto Atmojo, Ketua Komnas Perempuan Andy Yetriyani, Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, dan anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pertemuan tersebut membahas upaya untuk mengatasi tindakan penyiksaan atau tindakan yang mengarah pada kerendahan martabat manusia.
”Kami datang menemui Pak Menko Polhukam karena kami tahu beliau punya komitmen tinggi soal penegakan hukum sekaligus juga sangat concern dengan persoalan hak asasi manusia,” ujar Ahmad.
Ahmad menjelaskan, kelima lembaga dalam KuPP sangat peduli terhadap rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, dan lembaga lain, termasuk panti rehabilitasi, karena di sana kerap terjadi tindakan yang mengarah pada kerendahan martabat manusia atau penyiksaan.
Untuk mencegah tindakan yang melanggar hukum itu, lanjut Ahmad, sejak awal KuPP sebenarnya telah membuat nota kesepahaman dengan Ditektorat Jenderal Pemasyarakatan dan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Hal serupa tengah dirintis dengan Polri.
Namun, KUPP mengharapkan agar Indonesia segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan (Optional Protocal Convention Against Tortutre/OPCAT).
”Peran Kemenko Polhukam sangat diharapkan untuk melakukan akselerasi dan memastikan hal ini bisa tertangani dengan baik, terutama di pihak Kementerian Hukum dan HAM yang selami ini kami sudah ada kerja sama,” tutur Taufan.
Peran Kemenko Polhukam sangat diharapkan untuk melakukan akselerasi dan memastikan hal ini bisa tertangani dengan baik, terutama di pihak Kementerian Hukum dan HAM yang selami ini kami sudah ada kerja sama.
Sandra Moniaga, Koordinator KuPP dan juga komisioner Komnas HAM, menambahkan, realita saat ini masih cukup banyak penyiksaan terjadi. ”Kami sampaikan agar tidak lagi terjadi penyiksaan dari proses awal penyelidikan,” katanya.
Ia pun menyampaikan bahwa pihaknya sedang berproses dengan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham dan Mabes Polri untuk melaksanakan pelatihan pelatih (training of trainer).
Menko Polhukam Mahfud MD berjanji akan menindaklanjuti peningkatan perlindungan HAM, terutama dengan meratifikasi OPCAT.
”Saya setuju kita tindak lanjuti kesadaran bahwa perlindungan HAM jauh lebih baik meski belum memuaskan. Kita sudah punya Komnas HAM, LPSK, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman, dan Polri yang semakin sadar akan pentingnya HAM, tetapi tentu ini semua perlu kita tingkatkan,” ujar Mahfud.