Indonesia adalah pemain kunci di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik sehingga diharapkan memanfaatkan potensi itu untuk memastikan stabilitas di Afghanistan.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
Kebangkitan Taliban tampil sebagai penguasa Afghanistan sejak 15 Agustus 2021 kembali menjadi perhatian serius kawasan Indo-Pasifik. Negara-negara di kawasan memiliki kewaspadaan karena rekam jejak Taliban yang buruk, dengan dominasi sistem patriarki yang keras dan afiliasinya dengan teroris Al Qaeda, pada pemerintahan jilid I mereka (1996-2001).
Dua dekade lalu, Taliban memerintah Afghanistan dengan tangan besi. Televisi dilarang, perempuan tak diperbolehkan bekerja, dan anak perempuan diharamkan sekolah. Mereka juga mengeksekusi pelanggar hukum syariah dan penjahat dengan keras. Pada 11 September 2001, saat Al Qaeda menyerang Amerika Serikat, beritanya menyebar dari radio ke lorong-lorong gelap di Kabul seakan Taliban merayakannya.
Negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia, memahami betul bahaya dan kesulitan masing- masing ketika Afghanistan menjadi sarang teroris karena ada warga dua negara itu yang dilatih di sana. Warga yang ikut pelatihan di Afghanistan diperkirakan kembali untuk melancarkan serangan teror di tanah air mereka.
Saat memimpin rapat terbatas soal nasib foreign terrorist fighters (FTF), 21 Januari 2020 di Jakarta, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut 660 WNI diduga ada di sejumlah negara, termasuk Afghanistan. Indonesia menghadapi dilema: prinsip konstitusi mengatur hak mendapatkan kewarganegaraan bagi setiap warga, tetapi jika dipulangkan, mereka bisa menjadi virus teroris baru.
Kini, ketika Taliban kembali dan membentuk pemerintahan jilid II, masyarakat internasional pun kecewa lagi. Ekspektasi dunia bahwa Taliban akan memenuhi janji sebelumnya tentang pembentukan pemerintahan yang inklusif tidak terwujud. Semua anggota kabinet Taliban terdiri atas laki-laki, tak ada perempuan, dan beberapa petingginya masuk daftar hitam PBB dan AS.
Alih-alih merangkul kubu lawan dan membangun dialog, Taliban justru mengeksekusi mati orang-orang yang dianggap musuh. Taliban, dilaporkan Reuters, Sabtu (11/9/2021), telah mengeksekusi mati Rohullah Azizi, kakak laki-laki mantan Wakil Presiden Amrullah Saleh. Saleh diketahui bergabung dengan oposisi anti-Taliban di wilayah Panjshir.
Sehari sebelum merebut Kabul, Taliban mengeksekusi Fawad Andarabi, penyanyi sekaligus pemusik tradisonal di Provinsi Baghlan, Afghanistan timur. Taliban membunuh Andarabi setelah dia mengunggah video nyanyiannya yang antara lain berisi kata-kata ”lembah kita yang indah... tanah nenek moyang kita... tidak tunduk pada kebrutalan Taliban”.
Lebih dari seminggu setelah merebut Kabul, Taliban mengeksekusi secara keji Kepala Kepolisian Provinsi Badghis, dekat Herat, Afganistan, yang menyerahkan diri kepada kelompok tersebut. Mantan jurnalis BBC, Nasrin Nawa, mengunggah video mengerikan yang memperlihatkan Haji Mullah Achakzai, kepala polisi tersebut. Video ini menganggu banyak pihak karena Taliban ingkar janji.
Padahal, penguasa baru Afghanistan ini telah menjanjikan amnesti bagi para pejabat dan siapa saja yang bekerja untuk pemerintah terguling.
Taliban juga mengeluarkan larangan keras yang sangat memukul perempuan, seperti melarang berolahraga meski menjanjikan perempuan dapat mengejar pendidikan hingga ke universitas. Namun, Taliban juga menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi protes perempuan di Kabul, yang menuntut persamaan hak atau emansipasi baru-baru ini.
Di dalam toko bagi kalangan perempuan kelas atas di Karte Se, barat Kabul, seorang atlet taekwondo, yakni Marzia Hamidi yang berambisi menjadi juara nasional, mengatakan bahwa kembalinya Taliban menghancurkan mimpinya. Dia termasuk di antara perempuan yang diserang Taliban dan disebut ”agen Barat” dalam aksi protes baru-baru ini di Kabul, seperti dilaporkan AP, Minggu (12/9/2021).
Ketika AS memperingati 20 tahun serangan 11 September, Sabtu (11/9/2021), banyak petinggi Taliban tidak menyukainya. Direktur Pendidikan Tinggi Taliban, Maulvi Mohammad Daoud Haqqani, mengatakan peringatan 9/11—sebutan atas peristiwa serangan 11 September 2001 di AS—adalah saat bagi ”dunia memulai propaganda melawan kami, menyebut kami teroris, dan menyalahkan kami” atas serangan itu.
Mullah Mohammad Hassan Akhund, perdana menteri interim Taliban, mengibarkan bendera sebagai tanda pemerintah baru resmi mulai bekerja, tepat di saat Amerika memperingati 20 tahun serangan Al Qaeda. Beberapa pembicara yang tampil di auditorium Universitas Kabul membacakan naskah pidato merayakan kemenangan Taliban atas Barat yang dituduh anti-Islam.
Kementerian pertahanan dari pemerintahan terguling pernah menyebut, selalu ada milisi Al Qaeda di antara milisi Taliban yang tewas dalam penyerbuan pasukan dan milisi pro-pemerintah. Sebagian milisi Al Qaeda dan kelompok teror lain diketahui sebagai warga asing. Fakta ini mengisyaratkan adanya hubungan Taliban dan Al Qaeda, walau beberapa pakar meragukan hubungan itu.
Dunia internasional, termasuk Indo-Pasifik, masih khawatir terhadap Taliban saat ini yang dinilai tidak berbeda dengan Taliban jilid I. Di Indonesia, misalnya, Badan Intelijen Negara (BIN) pun mulai melacak kelompok mana saja di Tanah Air yang dekat dengan Taliban. BIN mulai mengkaji dan menilai secara khusus kemenangan Taliban itu agar tidak menimbulkan persoalan baru di Indonesia.
Masalah Taliban juga merupakan isu strategis bagi kawasan Indo-Pasifik. Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne, dalam pidato daring untuk Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), 9 September lalu, mendorong Indonesia agar berperan besar di Afghanistan. Canberra melihat Indonesia merupakan pemain penting di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.
Kita tentu menyambut baik dukungan Australia, salah satu dari empat anggota Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad) itu. Indonesia harus memanfaatkan potensi itu untuk memastikan keamanan dan kestabilan di Afghanistan. Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, perlu mendorong pemerintahan Taliban yang damai, moderat, dan menghormati HAM.
Apalagi Indonesia telah memiliki rekam jejak hubungan yang baik dengan Afghanistan. Baik pada masa kekuasaan Presiden Hamid Karzai (7/12/2004-29/9/2014) maupun masa Ashraf Ghani (29/9/2014-15/8/2021). Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden periode 2014-2019, Jusuf Kalla, masing-masing pernah berkunjung ke Afghanistan.
Indonesia juga aktif terlibat mengembangkan pemahaman Islam moderat, demokratis, serta mengusung hak-hak perempuan dan anak. Saran Payne agar pengalaman Indonesia itu bisa digunakan sebagai alat untuk mendekati Taliban dan mendorong mereka membentuk pemerintahan yang inklusif dan memberdayakan perempuan perlu disambut.
Hanya dengan pemerintahan yang inklusif dan moderat, Taliban akan diakui komunitas internasional. Jika hal itu terwujud, bantuan dan investasi asing akan mengalir lagi; cadangan devisa dan aset Afghanistan yang diblokir di luar negeri bisa dibuka lagi. Taliban pun bisa menekan tingkat kemiskinan yang kini mencapai 70 persen dan di ambang kemiskinan universal, serta membangun lagi negeri Afghanistan yang hancur akibat perang.